Total Tayangan Halaman

Sabtu, 25 Januari 2014

The Lone-"Greget" Journey bag I: Mengawali dengan Mengawal Diri.

Sabtu sore, 04 Januari 2014, saya menginjakkan kaki di Terminal Pulo Gadung, Jakarta Timur. Bermodal satu tas 45 liter dan satu tiket bus malam, saya menunggu bus. Menunggu hingga maghrib menjelang, kepercayaan dirilah yang harus ditegakkan. Saya berpikir buruk sekali, punya firasat buruk akan "kecacatan" yang timbul pada rencana perjalanan saya, takut juga: Perjalanan soliter dari Jakarta, menuju Semarang, dilanjutkan ke Yogyakarta selama tujuh malam ke depan, tanpa keluarga.
Setelah sekian lama yang membosankan sehingga saya lupa persisnya berapa lama saya menunggu, seorang petugas memanggil saya dan memintanya untuk mengikutinya menuju pool bus, sekitar satu kilometer kurang dari terminal. Ketika saya tiba di pool, saya kaget dan bingung, saya ternyata mendapatkan bus AC Ekonomi, bukan eksekutif seperti yang saya pesan. Oke lah, mungkin saya bodoh, saya akui itu, namun saya maklumi pula kebodohan ini, karena saya miskin pengalaman akan perjalanan dengan menggunakan bus AKAP lintas-dua-provinsi.
Dari sifat saya pribadi, saya cenderung akan lebih marah kepada diri sendiri daripada menyalahkan "orang yang berperan sebagai kriminal di dunia ini". Saya terdiam di bus. Cemberut. Tidak ada keinginan untuk melakukan apapun. Sejenak berpikir, "Saya tidak bisa memutar arah apalagi memutar waktu. Mundur itu kerugian yang lebih besar. Saya percaya bahwa di ujung perjalanan ini, sesuatu yang menyenangkan, jauh lebih dari apa yang saya harapkan dapat mengobati kekecewaan saya malam ini. Saya sendiri, berdiri di atas kaki sendiri, dipimpin oleh pikiran sendiri, menanggung resiko sendiri. Maju adalah pilihan satu-satunya, walaupun terasa 'pincang'. Kebahagiaan memang terasa murah kalau hanya menjalankan apa yang kita rencanakan". Saya tersenyum sendiri, merasa optimis.
Bus memasuki Gerbang Tol Pulo Gadung pukul 21.00. Saya tidak bisa tidur dan memang tidak biasa tertidur dalam kendaraan yang melaju. Bus kemudian keluar dari tol pada Gerbang Tol Karawang Timur, bukan Gerbang Tol Cikampek. Adalah cukup membosankan ketika melalui ruas jalan Cikampek - Pamanukan (56 km) dan Pamanukan - Lohbener (46 km): Sepi dan monoton. Rasanya seperti jalan tak berujung, seperti ruas jalan Banjar - Wangon di jalur selatan. Sepanjang jalan yang sepi dan panjang itu terdapat banyak sekali warung remang-remang dan sejenisnya di pinggiran. Tempat-tempat itu, di pantura, tidak di tempat yang tersembunyi lagi, terang-terangan malah.
Setelah sekian jam, sampai di Palimanan. Saya heran, busnya tidak masuk ke tol Palimanan, melainkan ke arah Plumbon. Bus memasuki tol dari Plumbon, Cirebon. Keluar pun bukan dari Pejagan, melainkan Tanjung. "Namanya juga bus Ekonomi", dengus saya, berpikir. GPS saya tetap standby untuk mengamati letak dan posisi.
Saya menikmati terbitnya sang fajar di kota Pekalongan, Jawa Tengah. Sudah sembilan jam ternyata. Pegal dalam diam, capek dalam diam. Dua jam kemudian, pukul 07.30, saya tiba di Terminal Mangkang, sendirian, sepi, bersih. Seperti entah bandara atau stasiun. Bingung harus kemana. Saya akhirnya istirahat dulu, duduk, menikmati kue-kue bekal yang saya bawa dari Jakarta.
Pukul 09.00 saya meninggalkan Terminal Mangkang dengan Bus Trans Semarang. Saya menuju Pangakalan travel Cipaganti untuk memesan tiket travel Semarang - Yogyakarta yang jam 16.00 dan menitipkan tas bawaan saya di sana (ya susah kan kalau jalan-jalan tapi bawa tas besar). Memulai perjalanan di Semarang pun, saya bingung, karena keterbatasan wawasan akan Semarang, keterbatasan waktu dan keterbatasan biaya. Saya akhirnya "cari aman" dengan hanya berkeliling di sekitaran Tugu Pemuda, Lawang Sewu, dan Pandanaran.
Lawang Sewu, sebuah objek wisata kota Semarang yang merupakan bekas kantor perusahaan kereta api pada zaman kompeni dulu. Untuk seukuran saya dan seukuran sebuah museum, saya pikir cukup mahal tarifnya: Rp10k per orang dan Rp30k untuk tour guide. Belum lagi jika ingin ke lantai bawah tanah dan menyewa sepatu boot. Oke lah, merogoh kocek Rp10k saja sudah cukup membuat saya menikmati sejarah Lawang Sewu dan sejarah kereta api di Indonesia. Cukup menarik tempat ini, memang, mulai dari pintu yang banyak, pameran kereta api, hingga suasana angker menyelimuti bangunan tua ini. Sebuah lokomotif uap menghiasi halaman Lawang Sewu ini dan tak pernah sepi dari pengunjung yang ingin berfoto.
Pukul 14.00, saya keluar dari Lawang Sewu, selanjutnya ke Pandanaran. Sepanjang jalan ini dipenuhi oleh toko-toko dan pedagang yang menjual penganan khas Semarang seperti lumpia, wingko babat, bandeng, dll. Awalnya, saya ingin membeli lumpia mentah untuk keluarga di Jakarta, namun ternyata batas kadaluarsanya hanya seminggu. Akhirnya saya beli lima buah lumpia untuk Bayu Siwi Farma Putra, seorang kawan saya yang menunggu di Yogyakarta dan keluarga. Ternyata harga lumpia naik jika dibanding harga saya membelinya lima tahun lalu. Dulu saya membelinya dengan harga Rp4500 per buah, sekarang mencapai Rp8000 per buah.
Hari mulai sore, saatnya pergi ke pangkalan travel Cipaganti. Berat rasanya. Baru delapan jam saya di Semarang, sudah berpindah lagi. Pukul 16.15, saya meninggalkan kota Semarang, menuju kota Yogyakarta yang berjarak 134 km ke selatan jauhnya.
-Bersambung-