"Pendidikan tidak menciptakan kemampuan, melainkan hanya mengembangkan kemampuan"
-Voltaire-
Terima kasih untuk Bapak Priadi Tri Handoko, guru Bimbingan Konseling
SMA Negeri 8 Jakarta yang telah memberi pencerahan kepada saya apa itu guru,
maknanya, serta segalanya. Maaf jikalau saya menambahkan, mengurangi, dan
mengubah kalimat bapak.
Bukit Duri, Jakarta Selatan, 15
Juli 2014, pukul 10.30 WIB.
Dengan bermodalkan secarik kertas
dan sebatang pena, saya mencari masukan yang bertujuan:
1. menjawab
hasil evaluasi mengajar selama satu semester yang lalu,
2. menjadi
guru yang lebih baik,
3. berkomunikasi
lebih baik.
Ya, pengajaran bukanlah sekadar
tergantung pada banyak atau tidaknya ilmu seseorang, tetapi juga tekniknya,
yakni bagaimana strategi dalam berkomunikasi dengan baik.
Narasumber yang saya datangi ini
merupakan guru Bimbingan Konseling (BK) di sekolah saya, SMA Negeri 8 Jakarta,
yakni Pak Priadi Tri Handoko.
Awalnya, saya bertanya,
“Bagaimana sebenarnya menjadi guru yang baik itu? Kami kemarin mendapat kritik
bahwa kami mengajar terlalu cepat, bahasa tingkat
dewa, serta sikap kurang baik lain dari kami selama mengajar satu semester
belakangan. Adakah saran dan solusinya?”
Beliau menjelaskan, bahwa guru
yang baik itu ada tiga kriteria:
1. Membumi.
Janganlah menggunakan
bahasa alien yang tidak dimengerti oleh murid. Gunakan bahasa paling dasar,
sangat dasar, sehingga orang normal yang awam pun memahaminya. Cobalah untuk
menyetarakan derajat anda dengan murid. Manusia dilengkapi kewaspadaan ketika
menghadapi orang yang baru dalam hidupnya (termasuk guru), masukilah jarak
personal murid dengan sedikit gurauan dan intermezzo
sebelum belajar, jangan to the point,
langsung belajar secara serius. Contohnya, anda bisa mengikuti gaya bahasa anak
alay zaman sekarang, walaupun itu agaknya menggelikan, tapi itu cukup membuat
mereka percaya bahwa anda adalah bagian dari mereka dan akan menjadi bagian
penting dari kehidupan si murid. Dekatkanlah. Tidak ada teknik khusus untuk
bisa memahami tingkat bahasa suatu kelompok anak berdasarkan jenjang
pendidikan, pengalaman saja.
Selain itu,
buatlah pula agar murid-murid anda tertarik dengan ilmu yang anda ajarkan,
sadar bahwa ilmu yang anda ajarkan bukanlah sebuah teori hafalan semata, tapi ada manfaatnya. Misalkan, ketika anda
sedang mengajarkan konsep tekanan hidrostatik, berilah pertanyaan, misal: “Saya
punya dua pohon kelapa, A dan B, pohon A lebih tinggi dari pohon B, pohon
manakah yang memiliki air kelapa lebih banyak?”, tentu, ini bukan pelajaran
biologi atau terka-terkaan jenaka yang sudah umum: ini fisika. Beri mereka
waktu untuk berpikir. Dengan berpikir, mereka akan memikirkan apa yang mereka
ingat, tentang pelajaran yang mereka pelajari, saat itulah, konsep pemahaman
mereka akan tumbuh, dengan cara yang sederhana ini. Berilah contoh yang mudah
dibayangkan, tak perlu memikirkan jauh-jauh.
2. Pemahaman
Materi yang cukup.
Tidak semua guru
di Indonesia sebenarnya memahami apa yang diajarkannya. Banyak, sebenarnya,
guru yang berharap “semoga ada murid saya yang lebih mengerti dari saya”. Maka
dari itu, banyak guru yang belum memberi pemahaman dasar tapi sudah memberikan
PR yang banyak dengan tujuan, katanya, “agar murid aktif membaca”, itu tidak
sepenuhnya benar.
Guru-guru yang
kurang berkualitas, seringkali, disebabkan oleh dosen-dosen yang kurang
berkualitas pula di universitas keguruan tempat mereka menimba ilmu. Calon guru
yang mendapat pengajaran kuliah yang kurang berkualitas akan menjadi guru yang
kurang kualitasnya pula, ogah-ogahan
mengajar, terlambat ke sekolah, sering mangkir dari pekerjaan, dll.
Sebenarnya,
menjadi sarjana pendidikan itu bukan syarat mutlak untuk menjadi seorang guru
(walaupun sarjana pendidikan dibekali teknik tertentu untuk berkomunikasi dalam
mengajar). Contohnya, di sekolah saya, ada beberapa guru yang bukan sarjana
pendidikan, yaitu guru matematika saya yang mengenyam ilmu statistika di IPB,
dan guru fisika saya (yang saya dengar beliau menjadi guru matematika sekarang)
yang merupakan lulusan Fisika ITB. Mereka, awalnya, diprotes oleh banyak murid
karena “ngejelasinnya ngejelimet; terlalu
cepet; gak ngerti; bahasanya aneh; Cuma anak OSN yang bisa ngerti omongannya”.
Ya memang, mereka tidak mendapat pelatihan khusus sebelum bertugas mengajar
sebagai guru honorer, tapi, mereka belajar dari sana, bagaimana guru itu
sebenarnya, perjuangan seorang guru itu bukan rutinitas yang bersifat monoton.
3. Memahami
metode mengajar, khususnya berdasarkan tingkat penangkapan informasi muridnya.
Jika anda
mendapati murid anda kurang dalam menangkap informasi, jangan menggunakan
metode soal à
teori, untuk “brainstorming” si
murid. Kembali ke tujuan. Tujuan pengajaran formal (guru) dan informal (bimbel)
cukuplah berbeda. Tujuan pengajaran formal ialah menanamkan cara berpikir,
sedangkan tujuan pengajaran informal ialah memenuhi target pelanggan (lulus UN,
lulus SBMPTN, nilai rapor bagus, lulus SNMPTN, dll), yang kadang
“menghancurkan” logika dan pemahaman murid dengan berbagai cara cepat, cara
kedip-kedip, cara kilat, atau apapun namanya.
Jikalau ada salah
satu murid yang kurang tanggap, sedang yang lain lebih baik, sebaiknya
dipisahkan. Murid yang kurang namun digeneralisasi oleh gurunya, seringkali
terjadi dua hal: ketergantungan dengan temannya (malas) atau minder (kurang
percaya diri). Murid yang kurang percaya diri akan merasa tersisihkan dari
teman-temannya dan berpikir “ah, gue bukan bagian dari mereka, gue gak nyambung
sendiri”. Contoh nyatanya, coba lihat anak-anak yang setiap hari nongkrong di
warung untuk merokok dan hanya tidur ketika di kelas. Ini juga tidak lepas dari
kesalahan guru yang menggeneralisasi murid-murid di kelasnya.
Susah? Memang. Siapa bilang jadi
guru hanya ongkang-ongkang kaki di kelas menyuruh murid mengerjakan ini-itu
sambil bertutur kata hingga mulut berbusa di depan kelas? Setidaknya ada dua
tantangan untuk menjadi guru:
1. Memahami
kemampuan dan tingkat pemahaman setiap murid. Sudah dijelaskan di atas.
2. Waktu,
dimana dalam paling dua jam, guru ditantang untuk “kejar setoran”, tanpa
mengabaikan nilai mangkus dan sangkil dalam proses kegiatan belajar mengajar
tersebut.
Selain mengajar, tugas guru
terpenting adalah mendidik, dalam artian penanaman nilai-nilai karakter
positif, yang wajib tercermin oleh perilaku guru itu sendiri –keteladanan,
mungkin itu kata yang tepat untuk hal ini-. Misalnya, guru olahraga saya,
beliau bercerita setelah saya mendapat masukan dari pak Priadi, akan merasa
malu sekali untuk masuk ke kelas jikalau ia sedang flu, karena guru olahraga,
baginya, haruslah tetap sehat di mata murid-muridnya, “Bagaimana mungkin saya mendidik anak murid saya agar tetap sehat jika
saya sendiri kurang sehat?”, katanya. Nilai lain yang harus selalu ada pada
guru (idealnya) adalah cinta pada ilmu pengetahuan, semangat, dan disiplin
dengan waktu serta aturan dasar pada sekolah.
Sekali lagi,
Bukit Duri, Jakarta Selatan, 15
Juli 2014, pukul 10.30,
Muhammad Iqbal Tawakkal