Total Tayangan Halaman

Jumat, 01 Agustus 2014

Satu Ajaran Tentang Mengajar

Status: Thinking - Sensing



"Pendidikan tidak menciptakan kemampuan, melainkan hanya mengembangkan kemampuan"
-Voltaire-

Terima kasih untuk Bapak Priadi Tri Handoko, guru Bimbingan Konseling SMA Negeri 8 Jakarta yang telah memberi pencerahan kepada saya apa itu guru, maknanya, serta segalanya. Maaf jikalau saya menambahkan, mengurangi, dan mengubah kalimat bapak.
Bukit Duri, Jakarta Selatan, 15 Juli 2014, pukul 10.30 WIB.
Dengan bermodalkan secarik kertas dan sebatang pena, saya mencari masukan yang bertujuan:
1.       menjawab hasil evaluasi mengajar selama satu semester yang lalu,
2.       menjadi guru yang lebih baik,
3.       berkomunikasi lebih baik.
Ya, pengajaran bukanlah sekadar tergantung pada banyak atau tidaknya ilmu seseorang, tetapi juga tekniknya, yakni bagaimana strategi dalam berkomunikasi dengan baik.
Narasumber yang saya datangi ini merupakan guru Bimbingan Konseling (BK) di sekolah saya, SMA Negeri 8 Jakarta, yakni Pak Priadi Tri Handoko.
Awalnya, saya bertanya, “Bagaimana sebenarnya menjadi guru yang baik itu? Kami kemarin mendapat kritik bahwa kami mengajar terlalu cepat, bahasa tingkat dewa, serta sikap kurang baik lain dari kami selama mengajar satu semester belakangan. Adakah saran dan solusinya?”
Beliau menjelaskan, bahwa guru yang baik itu ada tiga kriteria:
1.       Membumi.
Janganlah menggunakan bahasa alien yang tidak dimengerti oleh murid. Gunakan bahasa paling dasar, sangat dasar, sehingga orang normal yang awam pun memahaminya. Cobalah untuk menyetarakan derajat anda dengan murid. Manusia dilengkapi kewaspadaan ketika menghadapi orang yang baru dalam hidupnya (termasuk guru), masukilah jarak personal murid dengan sedikit gurauan dan intermezzo sebelum belajar, jangan to the point, langsung belajar secara serius. Contohnya, anda bisa mengikuti gaya bahasa anak alay zaman sekarang, walaupun itu agaknya menggelikan, tapi itu cukup membuat mereka percaya bahwa anda adalah bagian dari mereka dan akan menjadi bagian penting dari kehidupan si murid. Dekatkanlah. Tidak ada teknik khusus untuk bisa memahami tingkat bahasa suatu kelompok anak berdasarkan jenjang pendidikan, pengalaman saja.
Selain itu, buatlah pula agar murid-murid anda tertarik dengan ilmu yang anda ajarkan, sadar bahwa ilmu yang anda ajarkan bukanlah sebuah teori hafalan semata, tapi ada manfaatnya. Misalkan, ketika anda sedang mengajarkan konsep tekanan hidrostatik, berilah pertanyaan, misal: “Saya punya dua pohon kelapa, A dan B, pohon A lebih tinggi dari pohon B, pohon manakah yang memiliki air kelapa lebih banyak?”, tentu, ini bukan pelajaran biologi atau terka-terkaan jenaka yang sudah umum: ini fisika. Beri mereka waktu untuk berpikir. Dengan berpikir, mereka akan memikirkan apa yang mereka ingat, tentang pelajaran yang mereka pelajari, saat itulah, konsep pemahaman mereka akan tumbuh, dengan cara yang sederhana ini. Berilah contoh yang mudah dibayangkan, tak perlu memikirkan jauh-jauh.
2.       Pemahaman Materi yang cukup.
Tidak semua guru di Indonesia sebenarnya memahami apa yang diajarkannya. Banyak, sebenarnya, guru yang berharap “semoga ada murid saya yang lebih mengerti dari saya”. Maka dari itu, banyak guru yang belum memberi pemahaman dasar tapi sudah memberikan PR yang banyak dengan tujuan, katanya, “agar murid aktif membaca”, itu tidak sepenuhnya benar.
Guru-guru yang kurang berkualitas, seringkali, disebabkan oleh dosen-dosen yang kurang berkualitas pula di universitas keguruan tempat mereka menimba ilmu. Calon guru yang mendapat pengajaran kuliah yang kurang berkualitas akan menjadi guru yang kurang kualitasnya pula, ogah-ogahan mengajar, terlambat ke sekolah, sering mangkir dari pekerjaan, dll.
Sebenarnya, menjadi sarjana pendidikan itu bukan syarat mutlak untuk menjadi seorang guru (walaupun sarjana pendidikan dibekali teknik tertentu untuk berkomunikasi dalam mengajar). Contohnya, di sekolah saya, ada beberapa guru yang bukan sarjana pendidikan, yaitu guru matematika saya yang mengenyam ilmu statistika di IPB, dan guru fisika saya (yang saya dengar beliau menjadi guru matematika sekarang) yang merupakan lulusan Fisika ITB. Mereka, awalnya, diprotes oleh banyak murid karena “ngejelasinnya ngejelimet; terlalu cepet; gak ngerti; bahasanya aneh; Cuma anak OSN yang bisa ngerti omongannya”. Ya memang, mereka tidak mendapat pelatihan khusus sebelum bertugas mengajar sebagai guru honorer, tapi, mereka belajar dari sana, bagaimana guru itu sebenarnya, perjuangan seorang guru itu bukan rutinitas yang bersifat monoton.
3.       Memahami metode mengajar, khususnya berdasarkan tingkat penangkapan informasi muridnya.
Jika anda mendapati murid anda kurang dalam menangkap informasi, jangan menggunakan metode soal à teori, untuk “brainstorming” si murid. Kembali ke tujuan. Tujuan pengajaran formal (guru) dan informal (bimbel) cukuplah berbeda. Tujuan pengajaran formal ialah menanamkan cara berpikir, sedangkan tujuan pengajaran informal ialah memenuhi target pelanggan (lulus UN, lulus SBMPTN, nilai rapor bagus, lulus SNMPTN, dll), yang kadang “menghancurkan” logika dan pemahaman murid dengan berbagai cara cepat, cara kedip-kedip, cara kilat, atau apapun namanya.
Jikalau ada salah satu murid yang kurang tanggap, sedang yang lain lebih baik, sebaiknya dipisahkan. Murid yang kurang namun digeneralisasi oleh gurunya, seringkali terjadi dua hal: ketergantungan dengan temannya (malas) atau minder (kurang percaya diri). Murid yang kurang percaya diri akan merasa tersisihkan dari teman-temannya dan berpikir “ah, gue bukan bagian dari mereka, gue gak nyambung sendiri”. Contoh nyatanya, coba lihat anak-anak yang setiap hari nongkrong di warung untuk merokok dan hanya tidur ketika di kelas. Ini juga tidak lepas dari kesalahan guru yang menggeneralisasi murid-murid di kelasnya.
Susah? Memang. Siapa bilang jadi guru hanya ongkang-ongkang kaki di kelas menyuruh murid mengerjakan ini-itu sambil bertutur kata hingga mulut berbusa di depan kelas? Setidaknya ada dua tantangan untuk menjadi guru:
1.       Memahami kemampuan dan tingkat pemahaman setiap murid. Sudah dijelaskan di atas.
2.       Waktu, dimana dalam paling dua jam, guru ditantang untuk “kejar setoran”, tanpa mengabaikan nilai mangkus dan sangkil dalam proses kegiatan belajar mengajar tersebut.
Selain mengajar, tugas guru terpenting adalah mendidik, dalam artian penanaman nilai-nilai karakter positif, yang wajib tercermin oleh perilaku guru itu sendiri –keteladanan, mungkin itu kata yang tepat untuk hal ini-. Misalnya, guru olahraga saya, beliau bercerita setelah saya mendapat masukan dari pak Priadi, akan merasa malu sekali untuk masuk ke kelas jikalau ia sedang flu, karena guru olahraga, baginya, haruslah tetap sehat di mata murid-muridnya, “Bagaimana mungkin saya mendidik anak murid saya agar tetap sehat jika saya sendiri kurang sehat?”, katanya. Nilai lain yang harus selalu ada pada guru (idealnya) adalah cinta pada ilmu pengetahuan, semangat, dan disiplin dengan waktu serta aturan dasar pada sekolah.
Sekali lagi,
Bukit Duri, Jakarta Selatan, 15 Juli 2014, pukul 10.30,


Muhammad Iqbal Tawakkal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar