Total Tayangan Halaman

Jumat, 25 November 2016

Selamat Hari Guru Nasional!

Selamat Hari Guru Nasional!

Mungkin terkesan tidak kreatif karena saya meletakkan judul sebagai kalimat pembuka di postingan pertama di tahun 2016 ini, jadi ya mohon maaf.
 
Hari guru nasional sebenarnya merupakan hari dimana Kongres Guru Indonesia diadakan pada tahun 1945. Awalnya, pada tahun 1912, didirikan PGHB (Persatuan Guru Hindia Belanda) sebagai organisasi perjuangan guru-guru pribumi pada zaman penjajahan Belanda. Perjuangan PGHB untuk memperjuangkan nasib anggotanya terbilang sulit disebabkan oleh perbedaan latar belakang pendidikan dan status sosial dari anggotanya. Oleh karena itu, PGHB kemudian berkembang menjadi beberapa organisasi guru yang terpisah berdasarkan status sosial, latar belakang pendidikan, bahkan agama, seperti Perserikatan Guru Desa (PGD), Perserikatan Guru Ambachtsschool (PGA), Perserikatan Normaalschool (PNS), Persatuan Guru Bantu (PGB), Hogere Kweekschool Bond (HKSB), Christelijke Onderwijs Vereneging (COV), Katolieke Onderwijs Bond (KOB), Vereneging Van Muloleerkrachten (VVM), Nederlands Indische Onderwijs Genootschap (NIOG), dan lain-lain. Pada tahun 1932, PGHB diubah namanya menjadi PGI (Persatuan Guru Indonesia). Tentu saja ini membuat pihak pemerintah kolonial Belanda tidak senang atas digantinya nama "Hindia Belanda" dengan kata "Indonesia". Pada zaman penjajahan Jepang (1942-1945), semua organisasi dilarang, termasuk PGI, sehingga organisasi ini harus vakum. Tepat 100 hari sejak diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia, yaitu tanggal 24-25 November 1945, diadakan Kongres Guru Indonesia di Solo, Jawa Tengah. Dalam kongres ini, semua organisasi-organisasi guru yang berdasarkan status sosial, latar belakang pendidikan, dan agama sepakat dihapuskan. Semua guru di Indonesia sepakat untuk bersatu dalam satu wadah yang disebut Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).

Itu ringkasan sejarah PGRI, dari wikipedia (sumber mainstream saya selama 10 tahun terakhir), cuma sebagai intro kok.

------------------------oOo------------------------

Untuk guru pertama dalam kehidupan saya,
Untuk semua guru yang telah membentuk saya,
Untuk calon guru pertama dalam kehidupan calon anak-anak saya kelak,
Untuk murid-murid saya yang saya banggakan,

Dalam kepercayaan yang saya yakini beberapa tahun terakhir, saya sadari bahwa sebenarnya pendidikan itu bukanlah suatu hak, melainkan suatu kewajiban yang harus diemban oleh setiap warga negara. Ya, setiap masyarakat, menurut saya harus memperjuangkan dirinya agar jadi manusia yang terdidik. Jika pendidikan hanyalah sebuah hak, maka jika tidak diambil, orang tidak akan mendapat konsekuensi apapun. Namun, pada kenyataannya, jika orang tidak belajar, mendidik dirinya, serta memperjuangkan pendidikannya, orang tersebut akan merasakan pahitnya kebodohan, minimnya etika, serta kurangnya kesejahteraan dalam hidupnya. Selain setiap orang wajib memperjuangkan dirinya agar menjadi manusia yang berilmu dan terdidik, harus ada sinkronisasi dengan kewajiab setiap orang lainnya yang terdidik dan lebih berilmu, untuk mengajari orang lain. Anda tidak salah membaca, mengajar itu menurut saya wajib bagi setiap orang berilmu. Oleh karena itu, setiap orang itu merupakan guru bagi orang lain, idealnya.

Namun, apa yang terjadi di dunia pendidikan sekarang di negara ini? Saya melihat, pendidikan formal sekarang tidak lebih dari sekadar mesin cetak angkatan kerja, bukan sebagai tempat untuk mengasah dan membentuk potensi yang terpendam sejak lahir. Ini membuat murid-murid tidak memahami tujuan besar dari pendidikan formal yang mereka jalani selama kurang lebih dua belas tahun. Beberapa kali saya menanyakan hal yang sama kepada murid-murid saya mengenai sistem pendidikan di Indonesia. Mereka mengaku tidak memahami sama sekali tentang sistem pendidikan yang mereka jalani. Ya, mereka berada di sistem pendidikan, mereka mengalami pendidikan, mereka sangat berpengalaman di dunia pendidikan, namun mereka tidak memahami apa yang mereka jalani. Bukankah ini aneh? Apakah ketika mereka berumur 6 tahun mereka memasuki sekolah dasar atas dasar disuruh orang tua semata lalu tidak pernah menyadari esensi dari apa yang mereka jalani selama ini selama 12 tahun? Bukankah ini berarti sekolah hanya menjadi ladang pekerja yang ditanam, diperlakukan sama, lalu dipanen tiap tahun?

Lebih lagi, saya melihat banyak orang yang telah menjadikan dunia pendidikan sebagai ladang bisnis, itu kenyataannya. Ketika dunia pendidikan dijadikan bisnis, maka akan ada beberapa keburukan yang terjadi (dan mungkin sudah terjadi).

Pertama, ilmu menjadi tidak berharga. Kapitalisasi pendidikan menjadikan ilmu sebagai komoditas yang berharga untuk dijual, seperti barang dagangan. Dalam pendidikan formal, institusi pendidikan sebagai perusahaan, murid sebagai raw material, angkatan kerja sebagai produk, ilmu sebagai zat untuk mentransformasikan murid menjadi angkatan kerja, dan guru sebagai proletar. Sedangkan dalam pendidikan nonformal, terkadang institusi pendidikan sebagai toko, murid sebagai pembeli, dan guru sebagai penjual. Ilmu bukan lagi disadari sebagai sesuatu hal yang harus dituntut oleh murid untuk menjadikannya lebih baik, bukan sebagai cara untuk beribadah (menuntut ilmu adalah ibadah), melaikan sebagai alat untuk mencapai nilai. Ya, nilai. Jika nilai murid tinggi, mereka lulus. Sesederhana itu. Akibat sistem pendidikan yang lebih mengutamakan nilai kuantitatif inilah yang menyebabkan murid merasa dituntut oleh ilmu, bukan sebaliknya. Tidak sedikit yang akhirnya yang malas belajar, bahkan membenci beberapa ilmu tertentu yang mereka anggap sulit. Padahal pada zaman dulu, orang harus menempuh perjalanan jauh hanya untuk menemui seorang yang memiliki ilmu yang ia butuhkan, yang ia cari. Ilmu sangat berharga pada saat itu.

Kedua, guru menjadi tidak berharga. Sekali lagi saya kembali tuliskan di paragraf ini agar anda tidak perlu repot scroll ke atas, menjadi guru (mendidik dan mengajarkan orang lain) itu seharusnya menjadi kewajiban bagi setiap orang yang memiliki ilmu kepada orang yang membutuhkan ilmu. Dari prinsip ini dapat diartikan bahwa seharusnya menjadi guru janganlah dijadikan profesi yang dapat menguntungkan secara materiil kepada anda. Jadikanlah mengajar sebagai pemberian terbaik kepada murid, bukan sebagai tuntutan profesi atau mata pencaharian. Namun, saya sadari bahwa kewajiban guru di sekolah untuk standby di sekolah selama 40 jam per pekan rasanya membuat hal itu menjadi sulit dijalankan. Selain itu, rasa terpaksa murid dalam menuntut ilmu akibat tidak menyadari betapa vitalnya pendidikan bagi kehidupannya berakibat pada rendahnya rasa hormat kepada guru. Etika murid menjadi sangat minim, kurang disiplin, cenderung seenaknya, kurang memiliki adab ketika menuntut ilmu. Demoralisasi ini menurut saya juga disebabkan oleh prinsip bisnis "pelanggan adalah raja". Banyak murid yang menganggap dirinya sebagai pelanggan yang "membayar" guru untuk membuatnya mendapat nilai tinggi (bukan menjadikan dirinya cerdas). Guru dijadikan "sapi perah" yang menghasilkan nilai yang baik di ijazah bagi sang murid. Padahal, bisa jadi, murid yang menyakiti gurunya menjadi salah satu sebab suatu ilmu menjadi tidak bermanfaat bagi sang murid.

Setidaknya, itu yang saya lihat dan saya rasakan selama ini, tidak hanya ketika mengajar, melainkan juga ketika saya belajar (di sekolah atau kampus). Jika anda seorang guru, jadilah emas di antara lumpur: jadilah guru yang sebenar-benarnya guru walaupun anda berada di dalam sistem pendidikan yang buruk. Jika anda seorang murid, introspeksi niat anda kembali, tanyakan kepada diri anda, "selama anda lebih kurang 12 tahun mengenyam bangku pendidikan, apa yang anda dapat selain bertambah tua?"

Mohon maaf jika ada yang kurang atau salah kata, nanti saya edit, jika sempat.

1 komentar:

  1. Casino Player Reviews - Get Up To $5000 In Bonuses
    At the moment, casino players are 텍사스 홀덤 룰 looking for an exciting mobilebet365 gambling platform 더굿 토토 with 바카라 검증사이트 the potential for tons of ayadamha.com bonuses. At casinos today, there are several

    BalasHapus