Status: Thinking
Terima kasih untuk Bapak Sugiantoro, yang telah membuat saya berpikir untuk menuliskan apa yang telah kita diskusikan di hari ini.
Terima kasih untuk Bapak Sugiantoro, yang telah membuat saya berpikir untuk menuliskan apa yang telah kita diskusikan di hari ini.
Hari ini, Senin, 15 Juni 2015, gue berkesempatan kembali mengunjungi SMA Negeri 8 Jakarta, sekolah tercinta, rumah kedua gue selama kurun periode 2009-2012, tempat yang menyebabkan siklus pencernaan gue bergeser dua jam lebih awal dari orang normal (Sarapan: dari jam 07.00 bergeser menjadi jam 05.00, Makan siang: dari jam 12.00 bergeser menjadi jam 10.00, Makan malam: dari jam 19.00 bergeser menjadi jam 17.00), tempat menumpahkan dan mendapatkan segala emosi dan pikiran. Mulai dari kebahagiaan, kesedihan, kemarahan, hingga cinta (?).
Kunjungan dibuka dengan menyapa lapak soto ayam somad ujang yang ternyata pindah lapak. Awalnya dia jualan di sisi "belakang" sekolah, di atas trotoar. Namun gue ngeliat dia jualan soto ayam di sebuah halaman rumah orang lain. Tapi gak apa-apa, all is ok.
Memasuki gerbang utama sekolah, ngeliat adek-adek angkatan 2016 dan 2017 kelayap-kelayap nyiapin pekan remed. Huhuhuhu. Ah jadi kangen masa-masa empat tahun silam....
Lalu ketemu beberapa guru: Bu Elly, Bu Nanie, Pak Sugiyanto, Pak Wangsa, Pak Bin, Pak Teguh, Bu Sa'adiah, Pak Saepudin, Pak Edi, Bu Desi, Bu Ferry, Pak Sugiantoro, dll.
Gue juga mampir-mampir ke kantin smandel, tapi tutup semua, padahal pengen makan ayam keju :(, yaudah mampir aja deh ke kelas XI IPA B, kelas gue dulu, tahun ajaran 2010-2011. Aroma kelasnya sangat khas, mengingatkan gue akan kenangan yang tersimpan dalam atmosfer kelas ini....
Makan siang gue hari ini di Soto Ayam Somad, bareng beberapa angkatan 2016 dan alumni yang kebetulan lagi mampir juga. Udah langganan anak-anak smandel sih nih tempat, sudah turun temurun huehuehue. Gue pesen nasi soto ayam + ekstra telur + ekstra kulit ayam. Lengkap dengan minuman Es Jesus (Es Jeruk Susu).
Oke itu tadi intronya, sebenarnya yang mau gue tekankan dari postingan-di-bawah-standard ini adalah nasehat Pak Sugiantoro, Guru Fisika gue (walaupun belom pernah diajar beliau), tentang beberapa hal. Beliau menyampaikan itu ketika duduk bareng gue di kursi panjang depan selasar masjid daarul irfan (masjid sekolah gue).
Pertama, tentang kaderisasi. Beliau berpendapat bahwa kaderisasi atau Masa Orientasi Siswa di sekolah dengan metode agitasi, bahkan "ngerjain adek kelas" itu sebenarnya boleh-boleh aja, asalkan esensinya nyata dan tidak dilandaskan oleh emosi dendam dari tahun sebelumnya. Misalnya nyuruh adek kelas ngambil sesuatu di lantai satu dari lantai tiga, dengan kondisi: mata ditutup, atau tangan terikat, atau berjalan ngesot. Semua itu kan beresensi agar kita lebih mensyukuri apa yang kelebihan yang kita punya dibandingkan oleh orang-orang yang kurang beruntung, bukan? (walaupun agak ngerjain sih hehehe)
Kedua, gue menanyakan kepada beliau tentang Kurikulum 2013 yang sedang ngetrend di kalangan insan pendidikan formal. Gue nyeritain tentang murid gue di Bandung yang dikasih PR sama gurunya tapi dasar-dasar teorinya belom dikasih sama gurunya di sekolah. Beliau menanggapi, "Analoginya, gimana jadinya kalo ada beberapa anak yang saya kasih kunci mobil dan mobilnya? Apa yang bakal kamu lakukan? Tentu akan ada anak yang nanya 'ini buat apa pak? gimana caranya pak?', ada juga yang kebingungan, ada juga yang mencari petunjuk di manual book atau internet, dan lain-lain. Sebenarnya saya berharap yang pertama dan ketiga: Bertanya atau mencari tahu. Yah, tapi begini, dari mindset kurikulum sebelumnya atau dari keluarga sang anak, mungkin sudah ada anggapan bahwa yang bertanya adalah yang bodoh, sehingga anak menjadi tertekan. Bertanya menjadi hal yang tabu. Coba kamu bayangkan, di sekolah kita, nilai setiap anak dipajang di mading umum. Gimana gak tertekan anak-anak itu? Dia akan merasa malu, tertekan, hingga akhirnya menutup diri". Namun menghilangkan mindset itu butuh waktu yang tak sedikit, metodenya pun harus tepat. Metode mengapresiasi pun tak cukup.
Ketiga, menyambung dari topik sebelumnya, yakni mengenai passion. Beliau berkomentar bahwa niatkan belajar itu untuk mencari tahu, timbulkan rasa penasaran. Jika itu telah muncul, maka nilai akademik akan mengikuti. Namun jika sebaliknya, yang ada hanyalah beban dalam hati yang akan terus mengganggu jiwa. Anak-anak itu, harus mempunyai jiwa bebas dalam belajar, bukan terikat oleh tuntutan (nilai). Ibarat kata seorang seniman, seorang seniman akan membuat karya seni tanpa menghiraukan apakah karyanya itu akan diapresiasi oleh orang lain atau tidak, berapa nilai jualnya kelak, dia tidak peduli. Dia mengerjakan itu semata-mata karena kepuasan batin semata.
"Orang yang punya passion/minat,", lanjutnya, "akan selalu menghadapi masalah, dan ingin menghadapi masalah. Coba kamu lihat murid-murid yang punya passion dan yang tidak punya passion. Murid yang punya passion ketika dia menerima masalah (karena punya passion pada masalah tersebut), dia menerimanya dengan senang hati. Mereka banyak bepengalaman dalam mengatasi masalah, berbeda dengan mereka yang tidak punya passion, dia akan selalu lari dari masalah, bagaimana pun caranya".
"Maka dari itu, saya tidak pernah mendo'akan murid saya agar hidupnya selalu lancar tanpa hambatan dan masalah, tapi saya selalu do'akan mereka agar hidupnya selalu menghadapi masalah, dan selalu mempunyai solusi dan jalan keluar bagi masalah tersebut" -Pak Sugiantoro-Kemudian gue nanya tentang ada murid gue yang dipaksa orang tuanya masuk jurusan tertentu, bagaimana solusinya? Beliau menjawab, "Kalo saya jadi anaknya, saya akan jawab, 'bapak dulu jurusan apa? dipaksa orang tua gak? coba deh, gimana rasanya kalo belajar tapi dipaksa dan gak sesuai dengan minat? Gak enak kan', kalo saya sih begitu".
Kemudian gue kembali bertanya, "Gimana kalo sebaliknya pak? ada orang yang ngebet banget pengen masuk jurusan A, tapi ketika takdirnya di jurusan B, dia malah jeblok nilainya". Beliau menjawab, "Benarkah itu terjadi di kenyataan? Saya khawatir, itu artinya, dia menginginkan jurusan A bukan karena minat dari dalam dirinya, tetapi dari faktor luar. Ada motivasi lain dari luar yang menekannya. Uang misalnya, tuntutan orang tua (seperti kasus sebelumnya), jabatan yang tinggi, dan lain-lain. Passion/minat itu tidak pernah memaksa pemiliknya untuk mengikutinya, tidak pernah menekan. Jadi, jika ada orang yang saking ngebetnya jurusan A dan ketika nggak dapet malah gak semangat, itu namanya bukan minat/passion".
Salam,
Muhammad Iqbal Tawakkal
Bukit Duri, 15 Juni 2015