Total Tayangan Halaman

Selasa, 08 Desember 2015

Dari Sebuah Kiriman

pripun perasaan kamu ?

Saya tergelitik dengan obrolan sesama lelaki di sebuah forum FB.

Lelaki pertama bertanya ke lelaki kedua, kenapa sampai sekarang betah melajang, sementara umur sudah 35 thn.

Lelaki kedua menjawab santai, "Belum ketemu yang cocok. Jaman sekarang perempuan banyak maunya. Gak ada yang mau diajak susah. Gue maunya sih nyari istri, gak mau pacar-pacaran, tapi ya itu dia, gue mau istri yang bisa mengurus rumah tangga, beres-beres rumah, masak, dsb. Susah bro nyari perempuan yang begitu sekarang2 ini."

Dan jawaban dari lelaki pertama membuat saya nyesss...

Lelaki pertama membalas, "Bro. Sekedar masukan aja buat kita para lelaki nih, gue dulu juga maunya begitu. Dapet bini yang bisa ngurusin gue dan anak-anak. Pengennya dapat istri yang mau diajak susah. Tapi makin ke sini gue mikir lagi bro.

Perempuan mana sih yang mau diajak susah? Elo aja deh bro, kalau elo ada di posisi perempuan, ada yang mau ngelamar elo nih, tapi syaratnya elo mau diajak susah. Gue yakin elo gak bakal terima lamarannya kan? Mendingan sama laki-laki lain yang bisa menjamin masa depannya. Gak susah-susahan.

Kita laki-laki juga kadang egois banget. Istri harus bisa masak, nyuci, nyetrika, beres2 rumah, dsb dsb. Karena kita anggap itu tugas istri. Sekarang kalo dibalikin nih, kita bisa gak benerin genteng bocor, atau bikin pagar di halaman, atau apalah itu pekerjaan cowok lainnya. Elo bisa bro? Kalo gue ngaku aja sih, gue gak bisa.. Hahaha.. Padahal itu seharusnya tugas suami kan?

Berhubung kita gak bisa, trus kita sisihkan uang lebih untuk bayar orang lain yang bisa kerjakan semuanya. Gak adil banget kita ya bro.. Istri kita suruh kerjain apa-apa yang kita pikir itu tugasnya, sementara kita bayar orang utk kerjain tugas-tugas kita..

Harusnya  jangan bebankan tugas itu ke istri. Kita harus kerja keras supaya bisa bayar asisten rumah tangga yang bisa kerjain itu semua.

Istri adalah ratu. Dia yang mengandung anak kita. Yang ikhlas selama 9 bulan kemana2 bawa anak kita yang masih di dalam perut.
Yang rela bentuk badannya jadi tidak seindah dulu karena proses hamil dan melahirkan. Rela menyusui, rela mencurahkan kasih sayang untuk anak-anak kita.

Dan tau gak bro? Ini hal yang paling parah. Istri juga rela ikut kerja cari nafkah lhoo kalau kita gak mampu memenuhi semua kebutuhan rumah tangga. Dia kerja buat bantuin kewajiban kita bro. Supaya masa depan anak kita terjamin.

Jadi gimana bro?
Masih mau cari perempuan yang mau diajak susah?
Mendingan elo susah sendiri aja bro.. Jangan bawa-bawa anak orang.



(Sumber: Dari sebuah kiriman nyasar di Line saya)

Jumat, 30 Oktober 2015

Surat

Status: Feeling

Ada sebuah rasa, yang tidak pernah saya katakan, sekalipun itu dikatakan dalam hati, tidak.
Saya tidak berani mengatakannya, sekalipun kepada diri sendiri, terlebih lagi secara verbal kepada orang lain, tidak saya katakan.

Saya tidak mengatakan bahwa rasa itu adalah "cinta", karena saya tidak dapat membuktikan apa-apa kepadamu. Saya meyakini bahwa tidak ada yang namanya cinta sebelum sebuah pernikahan terjadi.

Bukan, bukannya saya tidak yakin, saya hanya takut, hanya khawatir, jika rasa itu saya katakan kepada diri sendiri ini, itu akan mengubah saya, sedikit demi sedikit.
Saya tidak mau itu terjadi. Namun percayalah, kepribadian saya ini tidak seganda yang kamu pikirkan.

Saya ingin mengunci rapat-rapat perasaan kepadamu itu, sebenarnya, walaupun terkadang berat.

Seandainya kamu tahu, mengapa saya tidak mendekatimu, itu karena semata-mata aku ingin menjagamu, membantumu menjaga dirimu, termasuk menjaga dirimu dari diriku. Ya, jika saya mendekatimu, saya khawatir itu akan merusak dirimu, merusak diriku juga, seperti sang surya yang akan merusak sang pertiwi jika ia mendekat. Kamu akan memahaminya jika kamu mengerti bahwa cinta sejati, yang hakiki, tidak pernah membuat orang yang dicintainya menjauh dari Allah, dengan cara yang diridhai-Nya. Semoga kamu mengerti.

Mungkin, kita bagaikan dua buah garis linear dengan nilai gradien yang sangat dekat. Ya, terkesan sangat dekat, padahal titik temunya sangat jauh, sangat jauh.

Lebih baik kita menjalani peran kita masing-masing, di lingkungan masing-masing, tak perlu memikirkan hal ini. Aku ingin menjaga diriku sebagaimana aku menginginkan kamu tetap terjaga hingga kita dipertemukan, semoga kamu juga demikian. Semoga.

Senin, 21 September 2015

Responsif

Dalam berkegiatan di kampus, dewasa ini banyak mahasiswa yang menggunakan gadget sebagai sarana komunkasi dan koordinasi. Baik itu urusan akademik maupun non akademik. Namun, disadari atau tidak disadari, disamping keuntungannya yaitu membuat penyebaran informasi menjadi lebih cepat dan praktis, ada juga dampak negatifnya: Kurang responsif.

Tidak, jangan anda menyangkal dengan kalimat "Ah tergantung orangnya", tapi itulah kenyataannya yang sering terjadi. Sejak orang-orang mengandalkan gadget dan telepon genggam, pertemuan secara fisik menjadi tidak penting ("toh hasil pertemuan bakal dishare di grup"). Orang bisa membatalkan perjanjian seenaknya dengan cepat dan tiba-tiba. Respon mereka lambat ketika mendapat pesan yang seringkali bersifat mendadak dan penting. Alasan pun terinvensi: Gak ada pulsa, gak ada paket internet, gak tiap waktu orang ngebuka grup, dan hal-hal remeh lainnya yang terkadang bikin kita "geregetan".

Coba bandingkan dengan tahun 1980an ke atas. Saya ambil contoh ketika momen ospek jurusan. Saat itu, belum ada handphone atau alat komunikasi lain selain telepon rumah yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari dalam satu kelurahan. Mahasiswa-mahasiswa saat itu mendapat informasi hanya dari pertemuan terakhir dengan teman-teman seangkatan mereka, tidak lebih. Keadaan seperti itu membuat mereka benar-benar memasang telinga mereka ketika suatu informasi penting datang dari ketua angkatan maupun senior mereka. Dan ketika pulang ke kosan masing-masing pun, mereka benar-benar komitmen dan mengingat-ingat apa yang harus dilakukan selanjutnya, kapan dan dimana pertemuan berikutnya, dan lain-lain. Mereka sadar, informasi itu mahal.

Lihatlah apa yang terjadi sekarang, gumaman ketika ada pengumuman "Ah selow, nanti juga ada reminder H-3, H-2, H-1, dan J-12". Informasi tidak seberharga dulu. Itu pun, ketika dijarkom dan diminta konfirmasi, mereka banyak yang ogah-ogahan dalam merespons, ah tepatnya: lamban, dengan berbagai alasan yang sudah diutarakan di atas. Atau karena ketidakpedulian semata? Saya tidak paham.

Saya paham kesibukan kuliah atau di tempat lain terkadang membuat orang jarang membuka media sosial sehingga tidak responsif. Namun untuk sebuah urusan yang membutuhkan respon cepat, kesibukan bukan alasan untuk tidak merespons dengan cepat. Sekali lagi, bukan

Benarkah media sosial merupakan sarana paling efektif dan efisien dalam berkoordinasi dengan orang banyak? Saya sangsi. Namun saya pikir bisa dijadikan alternatif dengan syarat: responsif.

Tolonglah.

Kamis, 27 Agustus 2015

Pengunduran

Status: Feeling - Judging

Selasa, 25 Agustus 2015 adalah hari yang buruk buat saya, terutama di sore hari. Hari itu adalah hari pertama pengajaran di panti pada semester ini setelah sebelumnya libur panjang selama hampir tiga bulan lamanya. Saya datang dengan bekal cukup niat dan beberapa buku sepeninggal SMA saya yang telah usang dan robek. Disambut oleh anak-anak SD yang telah menunggu kami, saya masuk ke dalam panti itu. Masih sepi. Jam menunjukkan pukul 15.50. Saya menanti.

Singkatnya, pukul 16.30, saya sudah dapat "jatah" murid, beberapa anak kelas XII SMA, yang di semester sebelumnya mereka kelas XI SMA. Entah mengapa, saya tidak menikmati pengajaran hari itu. Bukan, bukan karena tidak tersedianya papan tulis, melainkan lebih kepada ketidaknyamanan mereka (murid-murid) terhadap cara mengajar saya. Saya mengajar dengan cara seperti biasa, namun sepertinya tidak cocok untuk mereka, tidak seperti murid kelas XII di semester lalu yang cukup nyaman dengan cara mengajar saya. Sejujurnya, saya tidak punya cara lain dalam mengajar, begitu saja, apa adanya. Saya selama ini hanya nyaman mengajar SMA kelas XI atau XII, tidak di luar itu. Itulah sebabnya tadi saya diminta mengajar kelas XII SMA.

Ketika murid-murid itu dialihkan ke pengajar lain, mereka terlihat senang dan lega. Terdengar kata "yes!" dari salah satu mulut mereka. Saya cukup sedih. Ditambah lagi dengan keberadaan teman-teman saya yang lain yang semakin banyak, saya semakin tidak merasa dibutuhkan dan tidak dihargai lagi dalam agenda rutin mingguan ini.

Di sisi lain, saya juga bersyukur acara mingguan ini semakin ramai, semakin maju. Pengurus tahun ini lebih baik daripada periode sebelumnya, yaitu saya sendiri. Di tahun lalu, ketika saya mengurus agenda ini, teman-teman yang datang bisa dikatakan sepi, dengan rata-rata sekitar 8-9 orang saja, termasuk saya dan teman-teman sesama pengurus. Namun sekarang sepertinya lebih ramai. Orang-orang yang tadinya jarang datang, menjadi sering ikut datang. Entahlah, saya tak tahu mengapa tahun lalu begitu sepi.

Saya hanya menahan kesedihan dengan bermain dengan kucing-kucing di sekitar panti itu. Saya memikirkan hal itu dalam-dalam. "Sudah saatnya pindah pekerjaan". Itu keputusan saya ketika saya pulang. Ingin mengundurkan diri. Pindah tempat mengajar yang lebih membutuhkan saya. Walaupun, saya cukup mencintai agenda rutin dan panti ini, setelah tertanam dalam hati selama hampir dua tahun terakhir, sebuah waktu yang cukup untuk menanamkan ikatan emosional terhadap sesuatu. Namun, mau bagaimana lagi, merasa tidak dibutuhkan lagi, tidak dihargai lagi, adalah alasan logis mengapa sesuatu yang dicintaipun harus kita tinggalkan, sesegera mungkin.

Jika kamu mencintai seseorang atau sesuatu, lalu ia bersikap tidak membutuhkanmu dan tidak menghargaimu lagi, maka tinggalkanlah. Kamu hanya akan menjadi pengganggu baginya.

Meskipun begitu, meninggalkan seseorang atau sesuatu yang kamu cintai dengan alasan tersebut tidak akan mengobati sesuatu yang tertinggal: kerinduan.

Saya sadari itu, lekat-lekat.

Jumat, 14 Agustus 2015

Idolatri Tribus dan Idolatri Specus

Menurut Francis Bacon (1561-1626), ada dua jenis kesalahan yang dilakukan manusia: Kesalahan Umum (Idolatri Tribus) dan Kesalahan Individu (Idolatri Specus).

IDOLATRI TRIBUS
Kesalahan umum yang dilakukan manusia dibedakan atas:
1. Dramatisasi (melebih-lebihkan kenyataan). Hal yang dilebih-lebihkan: Frekuensi, kuantitas, tempat, waktu, aksi, dan pelaku/aktor.
2. Generalisasi (menyamaratakan). 'Beberapa', dianggap 'semua'.
3. Pemenuhan harapan (wishfulfilment). Harapan kita tentang sesuatu atau seseorang, acap kali membuat kita tidak berpikir jernih lagi.
4. Pembenaran diri. Biasanya terjadi saat kita melakukan kesalahan, diikuti usaha-usaha untuk mencari kambing hitam dan membuat alibi.
5. Reduksi & simplifikasi (menyederhanakan & mengecil-ngecilkan). Contoh: Faktor ekonomi sering dianggap sebagai akar berbagai masalah.
6. Primordialisme. Kesetiaan atau fanatisme dan pembenaran kelompok di mana kita termasuk di dalamnya. Padahal kelompok kita belum tentu benar.

IDOLATRI SPECUS
Berikut adalah hal-hal yang berkaitan dengan kesalahan individu:
1. Pengalaman. Terutama pengalaman pahit, karena lebih "terekam" ingatan.
2. Pendidikan. Pengaruh dari orang tua, pengajar, buku, doktrin, iklan, dll. Pendidikan menjadi penyalur dari kesalahan pemikiran dan prasangka.
3. Karakter. Perbedaan karakter seorang individu dengan individu lain bisa menyebabkan bentrokan (sekaligus bisa saling melengkapi). Terdapat beberapa jenis karakter yang saling berlawanan. Contohnya: Optimis-pesimis, Globalis-spesialis, Similaris-diferesia.

Senin, 10 Agustus 2015

Terkadang

Status: Sensing - Thinking

Terkadang, gue bingung dengan apa yang terjadi di sekitar gue. Bukan hal besar yang gue ingin pikirkan, lebih kepada hal-hal kecil. Gak tau kenapa, ini sangat mengganggu gue. Gue pengen ceritain beberapa hal aja. Gak banyak, cuma tiga poin aja dulu sekarang.

Pertama, gue bingung gimana cara berpikir orang-orang di sekitar gue ini. Contohnya, gue kan like fanpage National Geographic Indonesia. Lumayan langganan baca postingannya. Dia (NGI) kalo ngepost biasanya artikel tentang fakta ilmiah gitu. Nah gue gak ngerti kenapa, jarang banget yang ngomen di postingannya. Akan tetapi, kalo dia ngomongin hal yang nyerempet agama, politik, dan hal-hal yang kontoversial, yang komen banyak banget. Gak cuma NGI sih, di berita-berita online (detik.com, kompas, metrotv, dll) juga isi komennya kayak "lempar batu sembunyi tangan". Orang-orang yang ngomen pasti mikir gini, "toh ini medsos, bebas gue berkomen, diatur undang-undang kok, lagipula, toh gak ada yang kenal gue ini". Sampe gue mikir gini, "Orang Indonesia itu seneng banget sama hal-hal yang kontroversial. Politik dan Agama terutama. Tapi kalo lagi disuruh mikir hal-hal yang ilmiah, malesnya na'udzubillah. Dari sini gue ambil kesimpulan kalo sebenarnya, orang Indonesia itu kebutuhan pokoknya: Sandang, pangan, papan, dan eksistensi. Sayangnya, eksistensi sering kali lebih didahulukan daripada sandang/pangan/papan. Eksistensi ini bisa dalam bentuk 'ingin terlihat kaya, ingin terlihat cerdas, dan ingin terlihat berkuasa'. Media sosial bisa mengubah orang yang kalem dan bijaksana menjadi dungu dan acuh".

Kedua, gak tau kenapa, gue gak suka kalo denger orang manggil nama orang lain dengan status sosialnya. Jadi kadiv, dipanggil "Halo Pak Kadiv", baru naik haji, dipanggil, "Hai Pak Haji", baru nyebar kebaikan dikit (di medsos dan dunia nyata) dipanggil "Assalamu'alaykum Pak Ustadz" atau "Syeikh". "Bercanda itu, jangan dianggap serius lah". Benarkah? Terkadang kita kalo bercanda emang kelewatan. Kayak lo maen bullying waktu ospek: just for fun. Serupa namun berkebalikan. Kalo waktu ospek lo merendahkan orang lain karena 'just for fun', ini lo meninggikan orang lain karena 'just for fun'. Lagi pula, gini lho, misalnya ada orang yang baru nyebar kebaikan, langsung lo panggil syeikh, bukan tidak mungkin (bahkan sangat mungkin), setan menggunakan kesempatan itu untuk menggelincirkan niatnya untuk berbuat baik. Timbullah riya, ujub. Bisa jadi, who knows? Terkadang, prasangka buruk dapat mengintrospeksi orang yang tidak dapat mengintrospeksi dirinya sendiri. Emang bener kata Niccolo Machiavelli, "Gelar tidak memuliakan seseorang, melainkan orang-oranglah yang memuliakan gelar".

Ketiga, idealisme itu, sepengelihatan gue, adalah sahabat di mulut, namun musuh di dalam hati. Berapa banyak senior-senior lo yang dulu ngajarin soal sopan santun, tapi kalo berangkat kuliah pake pakaian kayak tante-tante ke mall? Berapa banyak temen-temen lo yang ngajarin ke junior lo soal kejujuran, tapi kalo ngerjain PR masih nyalin temen? Katanya sih kepepet. Tapi disanalah esensi dari idealisme sesungguhnya: memegang teguh prinsip dalam situasi kepepet. Berapa orang dari temen-temen lo yang berkoar anti-korupsi tapi masih belajar persiapan matkul X pada saat kuliah matkul Y? Berapa orang yang ngakunya "jaga pandangan" (untuk cowok) tapi masih suka ngelike foto-foto cewek yang ganti profile picture di medsos? Lo mikir gak sih? Kalo ngajarin anak orang dan memperlihatkan sesuatu yang ideal-ideal itu berat banget? "Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan" (Q.S. Ash-Shaff: 2-3). Dari SMA gue pikirin itu dan itulah sebabnya gue gak mau ikut-ikutan ngajarin anak orang lebih lanjut dari sekadar "ngasih contoh lalu ngasih tau secara personal".

Oke, gitu doang. Nanti kalo ada keluhan lagi gue lanjutin :v.

Rabu, 05 Agustus 2015

ABCD (part II)

"Terima kasih Alpha", kata Delta, menyeringai. "Kau selalu berkata seolah-olah kau benar-benar mengenal kami"

Bravo mengambil biskuit kaleng di meja Alpha. Tak ada yang ia katakan selain suara remukan biskuit di rahangnya.

"Begini, kawan-kawan", Charlie memulai pembicaraan kembali, setelah meneguk sodanya. "Dalam organisasi kita yang seumur jagung ini, apa saja yang belum rampung?"

"Pengembangan Anggota", sahut Delta.

"Sistem Pemilihan Kebijakan", kata Bravo, sambil mengunyah biskuit kaleng.

"Dua itu saja, Charlie. Masalah pribadi kawanmu yang lain perlu dibicarakan", kata Alpha tajam.

"Okay", kata Charlie, merapikan posisi duduknya, mengambil sekeping biskuit kaleng. "Untuk pertama tentang Sistem Pemilihan Kebijakan. Aku berharap adanya sistem musyawarah di setiap kita akan memilih jalan cagak. Kalian tahu, ya, ini akan demokratis. Setiap orang dari kita sangat bebas berpendapat ketika kita menghadapi jalan cagak, tentu disertai alasan yang cukup memadai dan jelas. Ini akan membantu. Ada hal lain? Ambilkan segelas air, Alpha, sodamu membuatku tak nyaman"

Alpha mengambilkan sebotol air mineral dari dalam kardus di sudut ruangan, agak berdebu. "Kau tak perlu membayar", katanya setengah bercanda.

"Aku akan memberikan pemikiranku tentang voting, Charlie", kali ini Bravo berbicara, bersemangat. "Menurutku, voting dapat digunakan dalam dua keadaan: butuh keputusan cepat dan orang yang terlibat banyak. Cepat di sini dalam hal mutlak dan banyak di sini dalam konteks yang relatif. Sifat anggota itu banyak tergantung parameter yang kita gunakan, tidak ada Standar Internasional, Charlie, percayalah. Adalah kurang proyek jika International Standard Organization mengurusi hal itu. Itu tergantung seberapa nyamannya kita dalam mengenal setiap anggota secara mendalam, seperti yang dijelaskan oleh Alpha. Poin selanjutnya adalah cepat. Kalian tentu sangat memahami bahwa organisasi kita mengutamakan progress dalam mencapai tujuan di atas kepentingan individu. Maka dari itu kecepatan pengambilan keputusan adalah yang utama. Voting yang ideal adalah voting yang menggunakan 100% intuisi semata, tanpa insting, data, fakta, pencerdasan, atau apapun. Jika sebelum dilakukan voting diadakan diskusi dan pemaparan data dan fakta, itu hanya menjadi sistem campuran, tidak punya pendirian, abu-abu. Voting sama sekali tidak membutuhkan alasan mengapa pemilihnya memilih A, B, atau C, sama sekali tidak. Pertimbangan dalam diri mereka sendiri pun sama sekali tidak dibutuhkan. Itu hanya memperlambat proses. Jangan pula seseorang sebelum voting itu, seseorang mengumumkan pilihannya kepada orang lain. Itu akan membuat orang lain menarik diri, bukan merasa golongannya. Kau paham itu, Charlie"

"Positif, Bravo", kata Charlie, meneguk sebotol air mineral yang diberikan Alpha.

"Bagaimana jika aku mempercayaimu saja, Charlie?", kata Delta, tiba-tiba.

"Kau tahu, mempercayaimu itu dari dua sisi. Kau sebagai seorang sahabat, dan kau sebagai seorang pemimpin". Aku pikir, aku akan selalu mempercayai apa yang kau putuskan, seganjil apapun keputusanmu"

"Kau tidak menganggapku sebagai manusia, Delta", kata Charlie, serius. "Di dunia ini, memusatkan keputusan dalam satu tangan tanpa alasan seakan bersifat intuitif itu sama sekali tidak proporsional, Delta. Lalu bagaimana dengan kau, Alpha?"

Alpha yang sejak tadi hanya memperhatikan, bergidik. "Ya, aku harap ini diskusi dua arah terakhir dalam organisasi kita. Aku tak suka voting, tapi penjelasan Bravo sangat bisa diterima olehku. Hanya itu pendapatku"

"Maksudmu?", kata Bravo.

"Kau tahu maksudku, Bravo", kata Alpha.

Melihat ekspresi Alpha, Charlie memahaminya.

Charlie menuliskan sesuatu pada buku catatan kecilnya. Delta mengintipnya.

"Dalam pengambilan keputusan, pemimpin adalah pembuat keputusan mutlak. Jika tidak dibutuhkan, pemimpin layak mengambil keputusan tanpa meminta pendapat anggotanya. Jika dibutuhkan, pemimpin layak meminta pendapat dari anggota lain tanpa sanggahan terang-terangan dari anggota lain ataupun dari pemimpin. I'm a leader, the decision maker"

"Perlu kukatakan padamu, Charlie", Alpha memulai lagi. "Mengapa kita membutuhkan pengembangan anggota? Kita berkumpul di organisasi ini karena tujuan yang sama, mengembangkan anggota dengan sistem tertentu sama saja dengan menjadikan organisasi ini menjadi mesin pencetak kue."

"Ya, Alpha", jawab Charlie. "Aku percaya kalian sudah cukup dewasa dalam memahat dirinya sendiri"

"Aku sejujurnya tidak menyukai pembahasan ini, Charlie, tapi aku menghormatimu, Delta, seperti aku menghormati diriku sendiri", kata Bravo tiba-tiba, gusar.

"Akan tetapi, akan kuberikan satu kecenderunganku yang kupercaya hingga saat ini. Charlie, kau hanya membutuhkan dua hal untuk pewaris kita di organisasi ini: Doktrin dan Keteladanan. Tidak kurang, tidak lebih. Itu bisa dilakukan tanpa sistem namun dapat diawasi dengan mudah jika dilakukan oleh setiap individu diantara kita memberikan doktrin dan keteladanan yang terbaik. Sekali lagi, Charlie, setiap individu. Kau tahu, sebuah organisasi yang berisikan anggota yang seluruhnya sadar dan meresapi tujuan organisasinya akan selalu sadar pula untuk mewarisi apa yang ia miliki kepada pewarisnya. Jika diantara kita ada yang tidak memiliki semangat dalam mewarisi doktrin dan keteladanan kepada anggota baru, itu berarti, orang itu menganggap tujuan organisasi ini bukan hal yang penting untuk dicapai, atau loyalitas terhadap dirinya sedang meningkat. Untuk waktu, itu tidak terlalu penting bagi kita. Kita memang membuat setiap anggota baru memahat dirinya sendiri, bukan kita mencetak dia seperti cetakan agar-agar yang rapuh. Tidak ada invisible big hand yang akan mengekang kita jika kita sibuk menanak nasi di daput, walaupun progresif dan cepat dalam menjalankan misi itulah yang diutamakan, bukan? Doktrin akan sangat sulit jika dilakukan dari nol, Charlie, percayalah padaku. Pastikan mereka memiliki landasan niat dan pemikiran yang bagus, itu pesanku".

Bravo kembali mengunyah biskuit kaleng.

"Kuemu enak, Alpha, beli dimana?", tanya Bravo tersenyum lebar.

"Diberi tetangga", kata Alpha dingin.

"Ah ya, satu lagi", lanjut Bravo, menutup kaleng biskuit. "Prinsip penghuni baru harus menghormati penghuni lama kupikir, harus dikurangi hingga ke titik nol, Charlie. Setiap orang memiliki standar penghormatan yang berbeda-beda, sadari itu. Bagaimana jika ternyata kemudian kita akan kedatangan anggota baru dari suku Maori? Aku bertaruh kau akan melemparnya ke jurang sebelum dia hafal nama kita. Peribahasa dimana bumi dipijak di sana langit dijunjung dalam konteks organisasi dan anggota baru tidak akan pernah membuat anggota baru benar-benar merasa memiliki organisasi ini, Charlie. Cobalah kau tulis di buku kecilmu: Setiap anggota menghormati anggota lain sama seperti ia menghormati dirinya sendiri. Itu akan lebih baik kurasa. Kita sudah merasa lebih baik setelah kita mentertawakan gaya kaderisasi baris-berbaris ala anak organisasi di sekolahmu dulu bukan?"

"Bagus, Bravo", kata Delta. "Kau bicara seolah kita sudah sepakat sebelumnya"

"Belajar lebih banyak, nak muda. Jadikan setiap orang di tempat ini adalah dirimu sendiri", kata Bravo, mengejek Delta.

ABCD (part I)

Status: Feeling - Thinking

"Bravo, masuklah", suara itu terdengar dari dalam ruangan berpintu kayu itu, meskipun derasnya hujan, tidak mampu menutupi suara lantang itu.

"Baiklah, Alpha", kata Bravo membuka pintu, agak berderit sedikit.

"Duduklah"
Bravo duduk di kursi reot dalam ruangan itu.

"Tahukah?", Alpha memulai. "Mengapa aku menerimamu di ruanganmu? Aku bahkan tidak memintamu untuk ke sini, kukira, eh?"

"Aku tak tahu, tapi aku memerlukan sesuatu.....", Bravo berkata dengan percaya diri di ruangan agak remang tersebut.

"Intuisi", potong Alpha, "selalu benar, Bravo, kau tahu? Kamu adalah kawanku.... yang lebih aku percaya daripada firasatku. Jika kamu punya masalah, akan ku bantu. Itu sudah kemauanku, Bravo, jangan kau melarangku. Bukan, bukan karena kamu harus percaya aku, tapi karena aku mempercayaimu, sekali lagi. Ah, silahkan masuk, Charlie, jangan sungkan, Delta. Masih ada bangku kosong untuk kawanku"

Pintu terbuka, dua orang memasuki ruangan. Wajah mereka tersenyum akrab kepada Bravo dan Alpha. Memang, bisa dikatakan bahwa empat orang ini adalah empat serangkai, yang membentuk ikatan kuat antar manusianya. Saling mengenal seperti mereka mengenal ibu mereka sendiri.
Mereka duduk. Terdiam sesaat. Kemudian Charlie memecah keheningan.

"Begini Alpha, kita harus mendiskusikan...."

"You are my decision maker, Charlie. Aku hanya penasehatmu, lebih dari itu adalah pelanggaran bagi organisasi kita.", kata Alpha memotong lagi, dengan tenang. "Delta, kau mau minum soda?"

"Kau mengatakannya, membuatku menginginkannya, Alpha", kata Delta. Ia kemudian mengambil beberapa gelas dan sebotol soda, menuangkannya untuk dirinya dan tiga orang kawannya.

"Cinta, Pemimpin, dan Pergaulan, benarkan, eh, Bravo, Charlie, dan kau, Delta?", kata Alpha tenang sambil kemudian meneguk sedikit gelas soda miliknya.
Bravo, Charlie, dan Delta terdiam, tertunduk, sedikit mengangguk.

"Aku mengenal kalian seperti masing-masing kalian mengenal tiga orang lainnya di dalam ruangan ini, jangan berpura-pura, santai saja, mengapa bermuram begitu?", lanjut Alpha.

"Bravo. Cinta kepada seorang wanita itu hanya bisa dibuktikan dengan menikah, kau tahu itu kan. Sama sekali tidak valid jika hanya membuktikannya dari pemberian seisi dunia atau sekadar rangkaian kata. Tidak, Bravo, sikap romantis itu bukan sikap seorang pria yang jantan. Tidaklah sama. Hanya mendatangi orang tua atau walinya lah yang dapat membuktikan bahwa kau benar-benar mencintainya. Akan kutarik kata-kataku barusan, Bravo, setelah kubicara dengan Charlie dan Delta"

"Charlie. Izinkan aku mengoreksi. Bukan kepemimpinan, melainkan lebih ke soal organisasi dan kerjasama tim, bukan? Organisasi akan menjadi lebih baik, Charlie, bukan sekadar mengolah anggotanya menjadi sesuatu yang kau sebut hasil. Kamu tahu itu, seperti aku memahamimu. Tujuan yang bersifat siklik, hanya akan membuat organisasi jalan di tempat, seperti roda gigi yang tejebak di dalam mesin, untuk menghasilkan sesuatu. Itu membuat sebuah organisasi tidak hidup, seperti mesin. Organisasi hanya akan menjadi bulan-bulanan anggota yang memiliki tujuan yang berbeda-beda,  yang jumlahnya seperti jumlah simeti lipat dari roda gigi tersebut, tak terbatas, namun mengaku sama, mengaku satu. Itu berbahaya. Kita -aku tidak mengharapkan kukatakan kamu-, harus fokus pada tujuan yang disepakati, berapapun generasi yang akan mengerjakannya. Progresif."

"Delta. Sebagai kawanku yang muda, pikirkanlah, mencari jati diri adalah hal berbahaya, seperti mencari gading gajah India yang tak retak: sulit, berbahaya, dan dapat menjadi kesalahan fatalmu yang dapat membunuhmu, ah tidak, lebih buruk daripada itu, membunuh karaktermu, sebelum berkembang. Ketika kau menemukannya pun, kau tak tahu apakah dia gajah afrika atau gajah india. Serba rancu, karena itulah kau dalam perjalananmu di tengah hutan, bertanya pada penduduk hutan, yang bodoh, kadang menyesatkanmu. Namun, teman perjalanan yang bodoh, lebih berbahaya daripada musuh yang pintar. Mengapa? Sebab, teman yang bodoh akan menjerumuskanmu ke jurang, padahal niatnya terlihat tulus ikhlas menjalin persahabatan yang baik dan menyenangkan. Berhati-hatilah dalam memilih kawan dalam perjalanan mencai jati diri, kawan."

"Bravo. Sesuai janjiku beberapa menit lalu, aku akan sedikit menarik kata-kataku. Menurutku, aku akan menanyakan suatu hal sebelumnya, Mengapa kau mencintainya dan membuktikan rasa cintamu? Apakah dapat dilakukan jika cinta itu kau rasakan baru setelah kau menikahinya? Kau harusnya curiga kepada dirimu sendiri ketika kau mengaku memiliki rasa cinta sebelum kau membuktikannya. Menikah itu, menurutku, bukan hanya membuktikan bahwa ada cinta yang akan berkembang kepada orang lain (istrimu), melainkan itu membuktikan pula kepada dirimu sendiri. Jangan bohongi dirimu sendiri, Bravo. Banyak orang terlena akan cinta. Cinta itu fitrah yang selalu menjadi fitnah, jika dirasakan sebelum menikah. Pahami itu, Bravo. Trust me"

"Charlie. Apakah kamu pikir, mana yang lebih diutamakan, loyal pada organisasi atau loyal pada pemimpin? Tentu saja orang akan cenderung loyal kepada diri sendiri. Di dalam hati terdalam, orang akan loyal kepada diri sendiri dengan cara melarikan diri dari organisasi, jika keadaan organisasi dan pemimpinnya dapat membahayakan dirinya, sekecil apapun bahayanya. Jangan konyol soal loyalitas, Charlie. Kau harus membuat anggota dalam organisasi ini senyaman mungkin agar dapat bekerja secara optimal tanpa memikirkan apa yang akan mereka dapatkan. Jika diri mereka merasa aman, mereka akan melonggarkan loyalitas kepada diri sendiri kemudian meningkatkan loyalitas kepada organisasi. Aku minta maaf jika aku kurang kongkret, Charlie, tapi itu bisa menjadi petunjuk dalam hidupmu di organisasi ini"

"Delta. Kamu harus sadari bahwa dalam bergaul, prinsip adalah hal mendasar yang wajib dimiliki setiap manusia, sepolos apapun. Walaupun kita sering menyebut orang polos seakan tidak tahu cara memegang prinsip dan menyikapi gangguan akan prinsipnya itu. Ketahuilah, Delta, dalam memegang prinsip, itu seperti memegang bara api dalam sebuah tanur. Namun, kau tahu, apa yang dapat mendinginkan itu semua? Secara teknis, cuek akan menjawabnya. Jika ada segerombol manusia yang mengajakmu berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan prinsipmu, sikapilah dengan santai, bercanda, bahkan jadikan penolakanmu sebagai guyonan yang akan mendinginkan hatimu yang sedang akan tergoda. Mudah, Delta. Jangan terbawa perasaan. Kau memiliki do and don't dalam sebuah Standard Operating Procedure dari prinsipmu. Belajarlah disiplin pada dirimu sendiri."

"Bravo. Aku akan memberikan suatu pemikiranku yang ideal, berupa analogi tepatnya, namun tidak pernah proporsional jika dilakukan oleh siapa pun, bahkan mungkin oleh kamu sendiri. Menikah itu seperti membeli mangga. Penanam sekaligus pedagangnya adalah sang orang tua atau wali sang wanita. Dia merawatnya sejak kecil, melindunginya dari serangan hama, dan mendo'akannya semoga mangga-mangganya kelak menjadi buah yang bermanfaat bagi orang lain dan cocok dengan lambung dari orang yang akan memakannya. Kamu paham, akan ada seorang pemuda yang menginginkan sebuah mangga dari bapak itu, namun ia belum siap membelinya, belum punya uang atau sebagainya, katanya. Ia setiap hari memandangi pohon mangga-mangga itu, lama kelamaan mulai mendekati pohon itu. Kamu tahu, bagi bapak itu, pemuda itu tidak lain ada dua kemungkinan: pencuri atau hama. Dalam denotatifnya, pemuda tersebut adalah orang yang berpacaran dengan sang wanita (maling) atau teman-teman pergaulannya yang menjerumuskannya (hama). Haruskah aku menjelaskan hal itu untukmu, Bravo? Intinya, kamu akan seperti maling dan hama, jika kamu terlalu mengidam-idamkannya terlalu lama bahkan hingga tergila-gila. Jika benar kau belum sanggup, bertahanlah, mapankanlah. Jika sudah sanggup, datangilah bapak itu baik-baik, dan pilihlah yang sudah matang dan terbaik. Jika kamu mengidam-idamkannya sejak dari pohon, kau akan mendapatkan kekecewaan besar, jika mangga yang kamu incar ternyata membusuk sebelum siap panen, dicuri orang lain atau dibeli orang lain."

"Charlie. Jumlah anggota itu penting demi efisiensi dan kenyamanan bekerja sama, Charlie. Saya cukup yakin, positif, rasa memiliki suatu organisasi akan cenderung sulit ditanamkan pada jumlah anggota besar. Akan selalu ada orang-orang yang dominan, satu-dua-tiga, segelintir, koleris, yang akan selalu merasa memiliki organisasinya. Biasanya mereka akan dianggap pimpinan, bos besar, tuan tanah, atau istilah apapun yang berkembang dalam menyebut majikan dalam zaman feodal oleh anggota-anggota lain yang berjumlah banyak itu. Aku tidak bicara apakah semua orang senang dengan kelompok kecil atau kelompok besar, tidak, ini hanya berdasarkan sepengelihatanku yang rabun, Charlie. Jumlah anggota juga penting untuk meratakan kedekatan emosional seorang pemimpin terhadap anggotanya. Apakah kau sudah paham dengan perasaan, kebutuhan, keinginan, harapan terdalam, dan jalan berpikir dari setidaknya seratus orang temanmu di luar sana, Charlie? Kujamin tidak sepenuhnya. Hanya beberapa. Jangan berandai akan memahami anggotamu yang luar biasa banyak, jika memahami semua orang yang kau anggap teman saja kau tak mampu. Jagalah tim ini tetap kecil, Charlie, agar kau memahaminya, satu per satu, hingga kau mengenal cara berjalan setiap anggota. Jika demikian, kau akan memahami dirimu sendiri sehingga kau tak salah arah, dan anggotamu akan memahamimu dan membantumu untuk memahami dirimu."

"Delta. Penting bagiku untuk memberitahumu hal ini. Tidak penting apakah seseorang lebih senang bergaul dengan sedikit orang atau banyak orang, namun ia harus menciptakan zona nyaman dalam pergaulannya. Akan kuberikan apa yang disebut dengan Lingkaran Pergaulan. Kau tentu akan protes dengan istilah zona nyaman yang kuberikan bukan? Delta, zona nyaman yang kumaksud, lebih cenderung kepada sebuah zona pergaulan yang berisikan orang-orang kepercayaanmu, sahabatmu, yang akan mendukung prinsipmu, menjaga prinsipmu, dan siap mengembalikanmu kepada jalan yang sesuai dengan prinsipmu, terutama setelah kamu cukup lama bergaul dengan orang yang dengan sengaja atau tidak sengaja siap menjerumuskanmu. Lingkaran ini tempatmu kembali, Delta. Mereka itu seperti susu murni yang siap menetralkanmu setelah kamu memasuki ruangan asam sulfida. Jika kau tidak memilikinya, kau akan berada pada suatu persimpangan, rasa bimbang akan merajaimu dalam kesendirian, atau bahkan, yang akan lebih parah, kau akan tanpa ragu terjerumus tanpa rasa keraguan. Sadarkah itu, Delta?"

Alpha menyeruput kembali gelas sodanya. Diikuti kawan-kawannya yang lain. Hujan masih membasahi jendela ruangan kayu tersebut.

(bersambung...)

Perjalanan III di Yogyakarta - Hari Kesembilan

Sabtu, 1 Agustus 2015

Telah berganti bulan. Bulan Juli telah mengundurkan diri, gue pun juga mengundurkan diri dari kota Yogya sore ini. Ya, pagi terakhir di Yogya dihabiskan dengan sarapan nasi gosong (:v). Siang ini, Ridwan, salah satu temen deket gue waktu SMA yang kuliah di Semarang, kebetulan lagi di Yogyakarta, akhirnya gue dan Bayu ketemuan sama dia di hotel tempat dia nginep, di hotel Melia Purosani. Ketemuan, gak enak kalo ngobrol di tempat, sambil jalan deh akhirnya, nyari makan siang. Mau makan Soto Ayam Klaten Pak Min, udah kehabisan, akhirnya ke Malioboro Mall, ditraktir Ridwan makan pizza hehehe....



Abis kenyang, nyokap gue di Jakarta minta dibeliin gudeg kalengan di Jalan Wijilan, ya udah gue jalan kaki ke sana dari Malioboro Mall, ditemenin mereka berdua, sambil ngobrol dan ketawa-ketawa gak jelas. Emang, aslinya gudeg itu kalo di bawa pulang pake kendi, tapi cuma bertahan 24-30 jam. Tapi sekarang ada yang namanya Gudeg Kaleng, bisa tahan 1-2 tahun dalam kaleng. Harganya Rp30000 (naik Rp5000 dari 1,5 tahun lalu). Isinya gudeg, krecek, dan telur. Nettonya 300 gram. Untuk rasa, gue percaya Jalan Wijilan tempatnya gudeg-gudeg terenak se-DIY :3

Hari ini panas banget. Gak tahan dan bikin pusing, kembali ke hotel terasa jauh gitu (oke, ini lebay). Tapi udah hampir jam 14.30. Gue gak bisa berlama-lama lagi. Gue mesti pulang ke Jakarta. Pamit dengan Ridwan, Bayu nganterin gue ke rumah buat ngepak barang. Jam 15,30, gue diantar Bayu ke Apotek Kentungan di Perempatan Jalan Kaliurang - Ring Road Utara. Di sanalah gue bakal dijemput mobil travel. Jam 16.00, Bayu pamit, ninggalin gue yang belom dijemput travel yang belom dateng :'v (oke, ini #sedih #tega #dramatis).

Sekian, maaf mengganggu~

Perjalanan III di Yogyakarta - Hari Kedelapan

Jumat, 31 Juli 2015

Menjelang malam terakhir di Yogyakarta, agenda kami hari ini dimulai setelah shalat jumat. Destinasi pertama kami adalah Kraton Ratu Boko, letaknya di bukit seberang Candi Prambanan. Jadi kalo mau ke sana dari arah kota, ikutin aja jalan ke arah prambanan via jalan solo, nanti ada belokan ke kanan petunjuknya ke arah candi ratu boko. Tiket Masuknya Rp25000 per orang dan parkir motornya Rp3000. Emang ini tempat udah dikelola sangat apik sehingga kesan pertama gue "kayak resort coy". Candi Ratu Boko ini terletak di atas bukit, sehingga dari sana bisa ngeliat kota Yogya sekaligus Candi Prambanan yang berdiri megah dari kejauhan. Satu kekurangannya: panas... kering... butuh banyak jajan minuman di sini (kalo gak bawa minuman). Tempat ini sepertinya masih tahap pengembangan dan pembangunan. Masih banyak tenda-tenda tukang batu gitu dan masih banyak petak-petak yang sepertinya pondasi dari calon candi yang akan dibangun.






Puas berpanas-panas ria dan berfoto ria, kami mealnjutkan perjalanan ke arah selatan. Melalui Jalan Raya Prambanan-Piyungan yang kemudian tembus ke Jalan Wonosari, kami menelusuri Jalan Raya Wonosari hingga ke kota Wonosari untuk mencari jangkrik dan belalang goreng yang khas Gunung Kidul. Buat oleh-oleh antimainstream gitu hehehe. Akhirnya kebeli juga. Setoples jangkrik/belalang goreng dibandrol Rp40000. Rasa belalang gorengnya juga ada 3 pilihan: bacem, gurih, dan pedas.

Puas mengobati rasa penasaran akan oleh-oleh, kami melanjutkan perjalanan untuk makan malam terakhir: Sate Klathak Pak Pong di Jalan Stadion Sultan Agung (Jalan Imogiri Timur Km. 10). Dari kemaren-kemaren sebelumnya kami lewat jalan Imogiri gak nemu-nemu, ternyata mesti belok ke jalan stadion sultan agung *facepalm*. Sebelum ke sana, kami foto-foto dulu di perbatasan Bantul-Gunungkidul yang "eyecatching" banget (menurut gue dan beberapa orang yang narisi di sana :v)



Di perbatasan Bantul - Gunungkidul

Lanjut perjalanan, sampe Sate Klathak Pak Pong udah maghrib. Ya udah shalat maghrib dulu di sana. Abis itu pesen. Cukup rame tempatnya. Memadai juga mejanya, karena sampe-sampe meja buat tamu tersedia di bangunan di seberang jalan. Kami pesen sate klathak 5 porsi (soalnya katanya satu porsinya cuma dua tusuk, jadi ragu gitu. Harga satu porsi satenya adalah Rp19000), nasi dua porsi, dan es jeruk dua gelas. Ternyata eh ternyata... satenya gede banget. Gue beli satenya kebanyakan :v


Rasanya juga top markotop! Juara deh. Ini sate terenak ketiga yang gue pernah makan setelah sate kambing muda di Tegal dan sate maranggi di Sadang. Gue sampe nambah nasi dan segelas es teh manis (as always ._.). Puas banget dan bener-bener jadi penutup perjalanan yang sangat memuaskan.

Tanpa ragu, gue beri nilai untuk Sate Klathak Pak Pong ini:
Kebersihan: 4,5
Rasa: 5
Kenyamanan/Suasana: 4,5
Harga: 4
Pelayanan: 4,5
Rating: 4,5

Perjalanan III di Yogyakarta - Hari Ketujuh

Kamis, 30 Juli 2015
Hari ketujuh ini sebenarnya mau ke pantai selatan di kab. Gunung Kidul, tepatnya pantai Drini. Tapi karena satu dan lain hal, jadinya hari ini.... libur :'v

Pukul 14.00 siang, di tengah kegabutannya, gue dan Bayu berniat nyari Bacem Kepala Kambing H. Sukirman di Pasar Colombo. Gak masuk list target gue, tapi setahun lalu pernah gue rekomendasikan untuk jadi target. Oke sip.

Gak terlalu susah ternyata untuk menemukan warung makan yang terbilang sedehana ini. Letaknya di sisi timur Pasar Colombo. Namun waktu kami ke sini, warungnya masih tutup. Bukanya jam 15.00 lewat. Akhirnya kami nongkrong dulu di kedai Es Bang Jo, barang setengah jam lah. Setelah penantian, akhirnya kami samperin warung H. Sukirman itu. Orangnya sih masih beres-beres, tapi begitu katanya udah buka, ya udah kami langsung masuk. Makanan pun disajikan: Baceman kepala kambing (campur) dua porsi lengkap dengan sambal kecapnya, nasi dua porsi dan dua gelas es jeruk. Isi baceman campur itu ada mata, lidah, cungur, otak, dan lain-lain. Gue cicipi, awalnya ragu akan "kepala" ini, tapi ternyata rasanya enak lah. Gak ngira kepala kambing yang gue kira bakal "dibuang" ternyata bisa diolah jadi baceman yang enak begini. Gue sampe nambah nasi dan nambah minum. Setelah gue pengen bayar, harganya tak terkira coy, gak sampe Rp50000. Cuma Rp46000 untuk makan sekenyang itu berdua! Mantap lah!

Nilai gue berikan untuk Baceman Kepala Kambing H. Sukirman ini:
Kebersihan: 4
Rasa: 4,5
Kenyamanan/Suasana: 4
Harga: 5
Pelayanan: 4
Rating: 4,3


Perjalanan III di Yogyakarta - Hari Keenam

Rabu, 29 Juli 2015

Hari ini Bayu cukup penasaran dengan Goa Jepang yang hari sabtu lalu belom selesai dijelajahi seluruh goanya. Jam 10 pagi, kami udah nongkrong di depan loket pintu masuk telogo nirmolo. Menanjak lagi.... kok sepi ya? Kemaren perasaan banyak tukang minuman. Menanjak lagi.... berpapasan dengan tiga anak muda yang ke arah bawah. Setelah berlelah-lelah ke mulut goa..... hawa tak nyaman mulai merasuki pikiran. Entah kenapa, gue dan Bayu merasakan hal yang sama: "di depan sana sangat ramai dan padat". Gue malah merasakan "di belakang kita ada yang ngawasin". Seriously, kami waktu itu bener-bener berdua doang, tanpa ada pengunjung lain, tanpa ada bapak-bapak penjual minuman maupun yang menyewakan senter dan headlamp. Seketika aura menekan itu makin menyeruak di dalam atmosfer sekitar goa itu.

Kami beberapa detik kemudian memutuskan untuk kembali ke bawah, secepat mungkin, namun tidak panik. Oh beginilah jika tempat wisata seangker ini di hari kerja. Jangankan pengunjung, pedagang dan tour guide pun sepertinya ogah bertandang terlalu lama.

Menjelang dzuhur, dengan motor, kami tancap gas menuju Jalan Magelang Km. 11. Di Desa Niron, terdapat sebuah restoran yang selalu ramai dikunjungi, bahkan sampe-sampe tempat parkirnya aja dua lokasi (yang saling bersebrangan jalan). Namanya JeJamuran. Sesuai namanya di tempat ini menjual makanan yang sudah jamuran berbahan dasar jamur. Berbagai macam jamur. Bahkan minumannya pun beberapa diberi topping jamur. Contoh menu yang tersedia adalah sate jamur, rendang jamur, tongseng jamur, jamur asam manis, pepes jamur, kripik jamur, sop jamur, summer breeze, es dawet jamur, aneka jus, dan lain-lain.

Suasana restoran ini sangat bersih dan terkesan mewah (ada panggung buat penyanyi yang menghibur selama kita makan). Pelayanannya pun sangat cepat. Mushalla dan toilenya sangat bersih. Area merokok dan non merokok pun dipisah.

Kami pesan sate jamur (Rp14000), jamur asam manis (Rp17500), nasi putih (Rp5000), es teh manis (Rp4500), summer breeze (Rp15000), dan es dawet jamur (Rp11000). Harganya menurut gue cukup murah untuk seukuran restoran seperti ini. Rasanya pun T.O.P.! Juara deh! Belom pernah gue nemu racikan jamur seperti ini, terutama satenya.

makanan sudah datang :9 

Contoh koleksi berbagai jenis jamur

Tidak berlebihan rasanya kalo gue ngasih nilai untuk JeJamuran ini:
Kebersihan: 5
Rasa: 5
Kenyamanan/Suasana: 5
Harga: 4,5
Pelayanan: 4,5
Rating: 4,8

Target selanjutnya adalah beli oleh-oleh berupa kripik belut di Pusat Kuliner Belut Godean, Jalan Godean Km. 10, Kabupaten Sleman, DIY. Lokasinya persis di pinggir jalan raya godean, jadi cuma butuh mata untuk ngawasin kiri jalan (kalo dari kota) dan kalau perlu pake gugel maps. Pusat belut ini tergolong baru, terlihat dari bangunannya. Masih banyak stand yang kosong. Mayoritas jualan kripik belut. Untuk bentuk olahan lain dari belut, di bagian belakang ada yang jual masakan belut. Ketika gue turun dari motor, para penjual beramai-ramai manggil-manggil gue untuk mendatangi lapaknya. Waduh, gue jadi bingung. Gue dan Bayu istirahat dulu sebentar, menenangkan diri dari panggilan para penjual belut yang bikin galau :'v

Setelah hampir 20 menit galau, akhirnya gue diam-diam milih salah satu penjual belut (yang lain gak ribut-ribut tuh :v). Ada tiga varian kualitas kripik belut yang digambarkan oleh harganya: Rp110000 per kg, Rp130000 per kg, dan Rp150000 per kg, akhirnya gue beli 1/4 kg yg harganya Rp150000 per kg (setelah ditawar, jadinya Rp35000 untuk 1/4 kg). Dan gue sekarang menyesal cuma beli 1/4 kg T_T.



Kembali ke Kota Yogyakarta, kami ke Pusat Bakpia Pathuk di Jalan K.S. Tubun. Gue beli bakpia (karena ada temen nitip, cuma itu), abis itu shalat asha di SMA Negeri 1 'Teladan' Yogyakarta. Istirahat bentar di masjidnya, sambil minjem toilet dan "lihat-lihat" kehidupan murid-murid di sana.

Menjelang senja, kami makan malam di Warung Sate Godril, di Jalan HOS Tjokroaminoto, sisi utara Pasar Klithikan, Kota Yogyakarta, gak jauh lah dari sekolahan tadi. Satenya enak, karena pake sambel kecap, jadi rasanya pedes banget (buat gue). Dan bedanya, sate di sini, gak pake tusuk sate, jadi dilepas gitu. Satu porsi mengandung lima tusuk sate daging kambing.

Kebersihan: 3,5
Rasa: 3,5
Kenyamanan/Suasana: 3,5
Harga: 3,5
Pelayanan: 3
Rating: 3,4

Abis itu pulang, oke sip.

Perjalanan III di Yogyakarta - Hari Kelima

Selasa, 28 Juli 2015

Hari ini gue dan Bayu sebenarnya agak bingung mau ke mana, terlalu banyak strategi tepatnya. Akhinya kami putuskan ke XT Square, di Jalan Veteran, Yogyakarta. Emang jatohnya semacam mall gitu, agak sepi. Tapi bukan mall itu yang kami cari, tapi De Mata Trick Eye Museum dan De Arca Statue Museum. Kalo De Mata Trick Eye Museum itu isinya ratusan koleksi gambar 3D. Museum ini bukan tempat lo nikmatin barang-barang bersejarah, tapi tempat lo foto-foto, 100% foto-foto! Lo mesti narsis dan ekspresif kalo di tempat ini. Gak tua, gak muda, semua harus narsis!

Temanya pun macam-macam, ada wisata alam, super hero, hewan, olahraga, dan lain-lain. Kalo De Arca Statue Museum itu isinya patung-patung lilin tokoh-tokoh terkenal. Mulai dari tokoh politik, aktor/aktris, hingga super hero. Jadi lo bisa berasa foto sama tokoh aslinya (padahal patung). Untuk tiket De Mata Trick Eye Museum itu Rp50000 per orang dan De Arca Statue Museum itu juga Rp50000 per orang, tapi kalo pake tiket terusan (dua tiket), harganya jadi Rp80000 per orang. Gue liat orang-orang kebanyakan pake kamera DSLR, sedangkan gue cuma pake kamera hp dan kamera digital (yang baterenya belom dicharge) #sedih #pundung.

Hampir tiga jam lebih kami menikmati dua tempat ini, itu pun gak semua gambar dan patung kami foto :'v





Contoh foto alay selama di dua museum itu

Setelah puas bernarsis ria, saatnya wisata kuliner. Hari ini gue pengen nyobain rekomendasi Bayu tentang Mendem Duren. Semacam es dan jus duren yang katanya bisa bikin mendem (mabok) gitu. Banyak outletnya di seluruh penjuru Yogyakarta, tapi kami kali ini ke outlet yang ada di Jalan Kaliurang, Yogyakarta. Impresi pertama gue bagus. Outlenya menarik, perpaduan antara hijau dan kuning. Penjualnya juga sangat ramah dan interaktif.

daftar harga Mendem Duren

Gue pesen yang 1 durian dengan topping keju sedangkan Bayu pesen yang 1/2 durian dengan topping kacang. Rasanya.... bener-bener duren banget, asli lah. seolah-olah satu cup gede itu isinya duren semua. Mak nyusss....!!! Worth it lah sesuai harganya.

Maka dari itu, Mendem duren ini gue berikan nilai:
Kebersihan: 4
Rasa: 5
Kenyamanan/Suasana: 3,5
Harga: 4
Pelayanan: 4,5
Rating: 4,2

Abis itu? Pulang, udah. lanjut besok :v
Okesip.

Selasa, 04 Agustus 2015

Perjalanan III di Yogyakarta - Hari Keempat

Senin, 27 Juli 2015

Hari keempat ini jatuh pada hari Senin, 27 Juli 2015, yang notabenenya hari pertama anak-anak sekolah. Diperkirakan tempat wisata bakal sepi jadi bisa lebih bebas gitu buat ngalay mengeksplorasi tempat tersebut.

Oke, tempat pertama yang kami kunjungin itu namanya Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala, adanya di Kompleks Pangkalan Udara TNI AU Adisucipto, jadi dari sana bisa liat pesawat landing dan take off dari jarak dekat. Masuk komplek ini pun gak sesembarangan masuk perumahan elit (ekonomi sulit) atau perumahan mewah (mepet sawah), lo mesti nitipin KTP atau SIM lo di pos penjaga depan. Sekitar 300 m dari pintu gerbang, nyampe deh di museum. Gue dan Bayu langsung ke depan pintu, tapi eh tapi ternyata kata penjaganya, museum ini lagi tutup karena ada MOS. Ya udah kami foto-foto aja di halaman parkir yang punya banyak koleksi pesawat yang terparkir di sini.

Di halaman museum, depan salah satu pesawat koleksi museum

Lima belas menit kemudian, penjaga tadi manggil kami dan ngebolehin masuk (karena banyak pengunjung juga yang datang tapi kecewa karena tutup). Secara umum, museum ini menceritakan tentang sejarah perkembangan TNI Angkatan Udara dari masa ke masa. Selain itu, museum ini juga dilengkapi semacam hangar yang isinya berbagai macam koleksi pesawat, peluru kendali, helikopter, hingga mesin (jet engine). Beberapa pesawat bahkan bisa dinaiki (bisa masuk sampe kokpit).

Di dalam salah satu pesawat

Puas satu keliling dalam museum, kami beranjak dari sana menuju tempat selanjutnya: Kebun Buah Mangunan, di Kabupaten Bantul, yang jaraknya sekitar 23 km dari Pusat Kota Yogyakarta (via Imogiri Timur). Awalnya sepanjang Imogiri Timur jalanannya lancar-lancar aja, tapi mulai menanjak dan berliku setelah melewati makam raja Imogiri. Tarif masuk Kebun Buah Mangunan hanya Rp5000 per orang. Fasilitas yang tersedia antara lain toilet, mushalla, flying fox, outbond, dan penangkaran rusa timor. Di kebun buah Mangunan, jangan berharap menemukan kebun buah yang petik sendiri, apalagi musim kering begini. Tidak sepeti namanya, apa yang menjadi daya tarik di tempat ini adalah pemandangan dari atas tebing berupa perbukitan yang dibelah oleh Kali Oyo yang berhilir di Samudra Hindia. Walaupun sedang musim kering, pemandangannya bagus banget, bingung gimana jelasinnya. Menurut gue, mirip Tebing Keraton di Bandung, tapi di sini lebih kering dan ada sungainya. Banyak orang-orang muda yang berfoto dan berselfie ria di tempat ini (kebanyakan mungkin mahasiswa, karena anak sekolah udah masuk). Sekitar 1,5 jam kami habiskan waktu buat foto-foto dan istirahat di tempat ini.



Hampir jam 14.30, saatnya pulang. Sebelum itu, kami makan siang dulu di Kota Yogyakarta. Sudah jauh-jauh ke Yogya, gak afdol rasanya kalo nggak makan gudeg mie Aceh di Bungong Jeumpa. Ya, restoran khas Aceh ini didirikan oleh seorang Aceh yang kuliah di Yogya. Gue ngeliat beberapa cabangnya di seluruh penjuru kota Yogyakarta. Namun, kali ini kami makan di Bungong Jeumpa cabang Seturan Square, Jalan Raya Seturan. Terdapat belasan varian nasi goreng, mie aceh, roti cane, dan martabak yang tersedia. Varian harga berkisar antara 13000-27500 per porsi mie Aceh. Setelah sempet galau beberapa menit, akhirnya gue dan Bayu mesen Mie Aceh Sapi Special (Rp20000). Untuk minum, gue pesen Es Teh Tarik (Rp11000) dan Bayu mesen Stamina Juice (Rp11000). Stamina Juice ini merupakan campuran antara jus tomat, wortel, jeruk, dan seledri. Tak lama pesanan datang dan gue nyobain, rasanya uenak tenan! Apalagi ketika sesendok mie aceh dipadukan dengan acarnya. Asam, pedas, gurih, bercampur menjadi satu kesatuan rasa yang top markotop! Untuk Es Teh Tarik, busanya sampe tumpeh-tumpeh, rasanya pun lebih enak daripada teh susu yang biasa gue bikin di rumah. Mak nyusss deh!





Untuk Bungong Jeumpa, gue beri nilai:
Kebersihan: 4
Rasa: 5
Kenyamanan/Suasana: 4
Harga: 3,5
Pelayanan: 4,5
Rating: 4,2

Abis itu kami pulang, kekenyangan *burp* :v

Malamnya, gue dan Bayu berencana makan malam di luar. Tujuan makan malam kali ini adalah Papiti Milk di Ring Road Utara Yogyakarta. Semacam kedai yang bermenu andalan aneka macam susu, namun gak cuma anak muda yang nongkrong di sini. Banyak segerombolan keluarga yang makan malam di sini, karena gak hanya susu, makanan berat semacam nasi putih, sup, sayur, bebek, ayam, nasi goreng, ikan, tahu, tempe, roti bakar, dan masih banyak lagi ada di sini. Harganya pun relatif terjangkau. Roti Bakar harganya antara Rp5000-10000. Susu (bisa murni, rasa-rasa, pake madu, pake jahe, dll) harganya antara Rp6000-11000. Di sini gue pesen roti bakar Nanas + Keju dan Green Tea Milk, sedangkan Bayu pesen Chocorio Milk. Gue liat di menu, ada yang namanya Mister Teler, apa itu? Akhirnya gue dan Bayu sepakat mesen itu satu porsi (dimakan berdua). Ternyata yang datang adalah sejenis Es Teler yang ditambahin daging durian. Mantap! Bener-bener bikin teler! :'v

Untuk Papiti Milk, gue beri nilai:
Kebersihan: 3,5
Rasa: 4
Kenyamanan/Suasana: 3,5
Harga: 4
Pelayanan: 3,5
Rating: 3,7


Perjalanan III di Yogyakarta - Hari Ketiga

Minggu, 26 Juli 2015

Hari minggu memiliki event rutin bagi masyarakat Yogyakarta: Pasar Sunday Morning. Lokasinya memanjang dari Jalan Olahraga hingga Jalan Prof. Dr. Drs. Notonagoro, Universitas Gadjah Mada, Kota Yogyakarta. Di tempat ini banyak banget menjual... apapun, ya, apapun. Mulai dari kuliner, baju, sepatu, aksesoris gadget, dan lain-lain, layaknya car free day di kota-kota lain.

Parkir di Jalan Olahraga, jam 06.30 pagi, gue dan Bayu menyusuri pasar sunday morning yang sudah ramai oleh pedagang yang masih beres-beres baru buka lapak. Dari ujung sampe ujung, liat-liat aja yang unik-unik dan targetin "calon hal yang bakal dibeli". Udah sampe ujung? Balik lagi, kali ini beli beneran. Hal pertama yang kami beli itu sarapan. Sama kayak di Bandung, gue kalo sarapan milihnya nasi kuning. Harganya juga sama dengan di Bandung. Lalu gue ngeliat bola-bola sayur gitu, lumayan jajanan anak kecil, bikin nostalgia. Berasa makan takoyaki. Harganya cuma Rp500 per butir. Abis itu, gue dari tadi udah ngebet banget beli yang namanya Es Krim Pot. Dari tadi menjamur dimana-mana, dan gue belom pernah ngeliat yang kayak gitu di tempat lain. Es Krim Pot ini wadahnya pake pot bunga plastik kecil warna-wani gitu, terus diisiin es krim vanilla, stawberry, dan coklat. Abis itu dikasih bubuk oreo yang tebel banget sampe nutupin es krimnya, jadi kalo diliat dari atas jadi kayak tanah beneran. Di atas oreonya dikasih jelly warna coklat yang bentuknya memanjang, jadi kayak cacing-cacingan. Sebagai penutup, dikasih hiasan berupa bunga warna kuning kecil. Harganya Rp15000, tapi cukup worth it sih, gue aja sampe kenyang. Rencananya pengen nyobain Pempek Panggang, malah gak jadi karena kekenyangan. Ya udah sebagai penutup gue beli es beras kencur yang tradisional banget (sering beli kalo ke Yogya, tapi jarang nemu di Jakarta/Bandung). Harganya Rp3000 aja.

Gue dan es krim pot :v

Agak siangan dikit (jam 12 kurang), gue dan Bayu kembali keluar rumah. Tujuannya ke Museum Biologi UGM, sebelumnya ngeliat kedai Es Bang Jo di Jalan Kaliurang, ya udah gue coba. Rasanya enak, harganya terjangkau (Rp7500), gue dan Bayu waktu itu mesen rasa Red Velvet. Toppingnya berupa taburan coklat chip dan keju parut. Recommended deh :v

Jalan lagi, ternyata Museum Biologinya lagi tutup, ya udah kami ke Puro Pakualaman, deket dari Museum Biologi. Foto-foto bentar, soalnya agak sepi gitu, jadi bingung mau kemana. Akhirnya gue inget di list target gue, ada Rujak Es Krim Pak Sony yang biasanya mangkal di parkiran Puro Pakualaman. Ya udah kami ke sana. Rujak Es Krim itu rujak serut yang di atasnya dikasih beberapa sendok es krim putih (vanilla kali ya?). Awalnya gue ngerasa aneh, gimana ceritanya bisa memadukan rasa pedas, asam, manis, dan dingin dalam satu sendok rujak es krim. Gue penasaran rasa apa yang bakal dominan. Ternyata rasanya yang dominan..... enak coy! Top markotop deh! Rasanya bener-bener bikin gue pengen nambah lagi, apalagi kalo ditambahin sambel rujak yang tersedia di meja makan. Harganya cuma Rp5000 (mungkin udah naik, efek musim lebaran). I'm falling in love with Rujak Es Krim :')

Rujak Es Krim Pak Sony, Puro Pakualaman

Beranjak dari Pakualaman, kami parkirin motor di samping Taman Pintar. Pengen liat-liat buku, literally liat-liat. Kalaupun ada yang menarik, gak akan gue beli karena gak bawa duit :v. Lalu kami pindah ke halaman Taman Pintar. Kami gak masuk ke taman pintar karena 1,5 tahun lalu udah pernah masuk. Banyak hal yang berubah dalam 1,5 tahun, terutama di terowongan pancuran air :')

Pindah lagi ke kilometer nol. Kebetulan lagi ada acara gitu di halaman Monumen Serangan Umum 1 Maret, ya udah kami istirahat di sana bentar, sambil makan cilok. Abis itu Bayu kebelet buang air, jalan deh ke Benteng Vredeburg. Pengen numpang toilet doang. Tapi toiletnya ada di dalam kawasan benteng, makanya satpam benteng gak ngizinin kami minjem toilet tanpa tiket masuk. Ya udah kami beli tiket, Toh cuma Rp2000 per orang. Kami sebenarnya gak niat ke Benteng Vredeburg soalnya 2,5 tahun lalu pernah ke sana. Tapi karena "udah beli tiket", ya abis make toilet gak langsung pulang dong, tapi foto-foto dulu sampe sore menjelang.

Di Kilometer Nol Kota Yogyakarta

Senin, 03 Agustus 2015

Perjalanan III di Yogyakarta - Hari Kedua

Sabtu, 25 Juli 2015,

Berikutnya adalah hari sabtu, 25 Juli 2015. Setelah semalam sebelumnya istirahat, hari ini gue siap menjelajahi Yogyakarta lagi. Hari ini gue dan Bayu mau nelusuri Jalan Kaliurang, ke atas (utara).

Dimulai sejak jam 9 pagi, kami keluar dari rumah Bayu di Jln. Kaliurang Km. 9,3 dengan sepeda motor. Belom sarapan, kami memutuskan untuk cari sarapan dulu. Sekilas gue ngeliat, kuliner-kuliner di Yogya udah cukup banyak "dijajah" oleh kuliner-kuliner dari Bandung-Bogor-Jakarta. Seperti kue lapis talas, nasi goreng mafia, brownies amanda, dll. Destinasi kami buat sarapan hari ini juga termasuk kuliner Bandung sebenarnya, tapi yang punya orang Yogya, yaitu Siomay Kang Cepot. Lokasinya di Jalan Kaliurang Km. 8, di sisi kiri jalan jika datang dari arah selatan. Menu yang ditawarkan macam-macam siomay. Mulai dari siomay ikan tenggiri, siomay sapi, siomay ayam, kol, tahu, telor, dll. Siomay ikan tenggiri pun digolongkan jadi dua: Siomay Asli Tenggiri Sedang dan Siomay Asli Tenggiri Super. Harganya berkisar Rp1500-5000 per buah siomay. Sayangnya, waktu itu Siomay Asli Tenggiri Super, siomay sapi, dan siomay ayam lagi gak ada, ya udah deh gue dan bayu ambil yang Siomay Asli Tenggiri Sedang, telor, dan tahu. Rasanya enak banget. Gue pikir siomay yang enak cuma ada di Bandung, ternyata Siomay Kang Cepot ini rasanya top makotop! Ikan tenggirinya terasa banget, dan bumbunya, walaupun gue ga suka pedas tapi pesan bumbu yang pedas, cukup nyaman di lambung (padahal biasanya gue sakit perut kalo makan pedes pagi-pagi :v).

Gue, di depan kedai siomay kang cepot
Untuk Siomay Kang Cepot, gue beri penilaian:
Kebersihan: 3,5
Rasa: 4
Kenyamanan/Suasana: 3
Harga: 3,5
Pelayanan: 3,5
Rating: 3,5

Kenyang walaupun tanpa makan nasi, gue dan Bayu meluncur ke Museum Gunungapi Merapi (MGM). Letaknya di lereng gunung Merapi, tepatnya di Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman. Museum ini isinya tentang infomasi dan pendidikan peihal kegunungapian (khususnya Gunung Merapi), serta aktivitas-aktivitas tektonik dan vulkanik. Tiket Masuknya Rp5000 per orang. Waktu gue dan Bayu masuk, langsung disambut sama miniatur Gunung Merapi yang bertengger di tengah ruangan yang bentuknya agak bunder gitu.

Gue, di depan miniatur Gunung Merapi

Overall, museum ini isinya mirip dengan Museum Geologi di Bandung, tapi bedanya di sini lebih concern membahas Gunung Merapi dan gak ada tulang-tulang manusia/hewan purba kayak di Bandung. Cocok buat rekreasi edukatif, terutama buat orang yang gak ngerti geologi.... macam gue dan anak-anak SD (waktu itu ada anak-anak sekolahan yang lagi study tour di sana :v).
Bayu, di depan MGM

Abis itu, gue dan Bayu kembali menanjak menuju Kaliurang. Masuk gerbang kaliurang, kena retribusi Rp7000 buat sepeda motor yang berboncengan (kalo hari kerja taifnya Rp5000). Melampaui km 0 Kaliurang, terus naik ke atas, ketemu pos retribusi lagi, pintu masuk Telogo Nirmolo Kaliurang. Tarifnya Rp6000 per orang. Pas masuk udah disambut monyet-monyet yang ngarep dikasih makan sama pengunjung. Monyet disini gak nyerang, gak seganas di Uluwatu :v

Pertama-tama kami ke gardu pandang, foto-foto dulu lah sebentar. Lalu naik ke atas, menanjaki gunung. Kemana? Goa Jepang! Menurut petunjuk sih "cuma" satu kilometer, tapi ya karena nanjak dan banyak tangga terjal yang harus dinaiki jadi kesannya jauh, sekitar 15-20 menit untuk sampai ke mulut goa pertama. Perjalanannya mirip penanjakan dari Goa Pawon ke Stone Garden (Cipatat), namun disini lebih banyak tangga yang terjal banget. Di sepanjang track pendakian ada 2-3 penjual minuman yang siap "mendukung" anda untuk naik ke atas. Kenapa gue tadi bilang "goa pertama"? Ya, inilah yang membedakan Goa Jepang di Yogya dengan Goa Belanda di Bandung. Jika Goa Belanda di Bandung itu besar dan memiliki banyak lorong dan ruangan hingga menembus gunung, Goa Jepang di Yogya ini terdiri atas sekitar 25 mulut Goa yang beberapa diantaranya saling tersambung, sedangkan yang lainnya tidak. Setiap goa memiliki ruangan-ruangan yang tidak luas. Di depan goa ada bapak-bapak yang menyewakan senter dan headlamp. Kami nyewa dua headlamp (@ Rp5000 sampe abangnya pulang). Goa ini dipenuhi oleh kelelawar-kelelawar kecil yang menghasilkan guano yang baunya semerbak ke penjuru goa :v

Ketika akan menuju goa ketujuh, sandal gue putus, yaudah terpaksa turun gunung dan diagendakan kembali di lain hari :(

 Gue, di depan salah satu mulut goa bersama orbs

Bayu, di salah satu mulut goa

Tak terasa udah jam 2 siang, waktunya makan siang. Gue dan Bayu keluar dari kawasan Taman Nasional lalu menuju kaliurang bawah untuk mencari makan siang. Kami putuskan untuk makan makanan non-nasi lagi. Pilihan tertuju pada Bakso Granat di Jalan Kaliurang Km 8. Sebenarnya Bakso Granat ini banyak banget cabangnya (sepengelihatan saya di Yogya), kami milih yang deket rumah aja. Begitu datang, pelayannya dengan sigap menjelaskan menu yang ia bawa. Gue dan Bayu sama-sama mesen Bakso Granatz Senior (Gede) dan minumnya Es Teh Gentong yang ukurannya jumbo. Rasanya? Maknyusss..... Terdapat irisan cabe rawit yang "bersembunyi" layaknya ranjau di dalam daging bakso, belum lagi jika ditambah dengan sambal yang tersedia di meja. Kalo mau di bawa pulang sebenarnya bisa, tersedia paket granat yang udah dibekukan, jadi gak basi kalo sampe kota asal. Harganya sekitar 150-200rb an, isinya sekitar 5 butir bakso yang gede, dan bumbu-bumbu instan (kuahnya bikin sendiri).

 Harga makanan

Harga minuman
Untuk Bakso Granat, gue beri nilai:
Kebersihan: 4
Rasa: 4
Kenyamanan/Suasana: 3
Harga: 3
Pelayanan: 4
Rating: 3,6

Udah, abis itu pulang, udah kesorean. Lagipula sendal gue udah mangap-mangap. Dilanjutkan hari ketiga: Minggu, 26 Juli 2015 :v