Total Tayangan Halaman

Rabu, 05 Agustus 2015

ABCD (part II)

"Terima kasih Alpha", kata Delta, menyeringai. "Kau selalu berkata seolah-olah kau benar-benar mengenal kami"

Bravo mengambil biskuit kaleng di meja Alpha. Tak ada yang ia katakan selain suara remukan biskuit di rahangnya.

"Begini, kawan-kawan", Charlie memulai pembicaraan kembali, setelah meneguk sodanya. "Dalam organisasi kita yang seumur jagung ini, apa saja yang belum rampung?"

"Pengembangan Anggota", sahut Delta.

"Sistem Pemilihan Kebijakan", kata Bravo, sambil mengunyah biskuit kaleng.

"Dua itu saja, Charlie. Masalah pribadi kawanmu yang lain perlu dibicarakan", kata Alpha tajam.

"Okay", kata Charlie, merapikan posisi duduknya, mengambil sekeping biskuit kaleng. "Untuk pertama tentang Sistem Pemilihan Kebijakan. Aku berharap adanya sistem musyawarah di setiap kita akan memilih jalan cagak. Kalian tahu, ya, ini akan demokratis. Setiap orang dari kita sangat bebas berpendapat ketika kita menghadapi jalan cagak, tentu disertai alasan yang cukup memadai dan jelas. Ini akan membantu. Ada hal lain? Ambilkan segelas air, Alpha, sodamu membuatku tak nyaman"

Alpha mengambilkan sebotol air mineral dari dalam kardus di sudut ruangan, agak berdebu. "Kau tak perlu membayar", katanya setengah bercanda.

"Aku akan memberikan pemikiranku tentang voting, Charlie", kali ini Bravo berbicara, bersemangat. "Menurutku, voting dapat digunakan dalam dua keadaan: butuh keputusan cepat dan orang yang terlibat banyak. Cepat di sini dalam hal mutlak dan banyak di sini dalam konteks yang relatif. Sifat anggota itu banyak tergantung parameter yang kita gunakan, tidak ada Standar Internasional, Charlie, percayalah. Adalah kurang proyek jika International Standard Organization mengurusi hal itu. Itu tergantung seberapa nyamannya kita dalam mengenal setiap anggota secara mendalam, seperti yang dijelaskan oleh Alpha. Poin selanjutnya adalah cepat. Kalian tentu sangat memahami bahwa organisasi kita mengutamakan progress dalam mencapai tujuan di atas kepentingan individu. Maka dari itu kecepatan pengambilan keputusan adalah yang utama. Voting yang ideal adalah voting yang menggunakan 100% intuisi semata, tanpa insting, data, fakta, pencerdasan, atau apapun. Jika sebelum dilakukan voting diadakan diskusi dan pemaparan data dan fakta, itu hanya menjadi sistem campuran, tidak punya pendirian, abu-abu. Voting sama sekali tidak membutuhkan alasan mengapa pemilihnya memilih A, B, atau C, sama sekali tidak. Pertimbangan dalam diri mereka sendiri pun sama sekali tidak dibutuhkan. Itu hanya memperlambat proses. Jangan pula seseorang sebelum voting itu, seseorang mengumumkan pilihannya kepada orang lain. Itu akan membuat orang lain menarik diri, bukan merasa golongannya. Kau paham itu, Charlie"

"Positif, Bravo", kata Charlie, meneguk sebotol air mineral yang diberikan Alpha.

"Bagaimana jika aku mempercayaimu saja, Charlie?", kata Delta, tiba-tiba.

"Kau tahu, mempercayaimu itu dari dua sisi. Kau sebagai seorang sahabat, dan kau sebagai seorang pemimpin". Aku pikir, aku akan selalu mempercayai apa yang kau putuskan, seganjil apapun keputusanmu"

"Kau tidak menganggapku sebagai manusia, Delta", kata Charlie, serius. "Di dunia ini, memusatkan keputusan dalam satu tangan tanpa alasan seakan bersifat intuitif itu sama sekali tidak proporsional, Delta. Lalu bagaimana dengan kau, Alpha?"

Alpha yang sejak tadi hanya memperhatikan, bergidik. "Ya, aku harap ini diskusi dua arah terakhir dalam organisasi kita. Aku tak suka voting, tapi penjelasan Bravo sangat bisa diterima olehku. Hanya itu pendapatku"

"Maksudmu?", kata Bravo.

"Kau tahu maksudku, Bravo", kata Alpha.

Melihat ekspresi Alpha, Charlie memahaminya.

Charlie menuliskan sesuatu pada buku catatan kecilnya. Delta mengintipnya.

"Dalam pengambilan keputusan, pemimpin adalah pembuat keputusan mutlak. Jika tidak dibutuhkan, pemimpin layak mengambil keputusan tanpa meminta pendapat anggotanya. Jika dibutuhkan, pemimpin layak meminta pendapat dari anggota lain tanpa sanggahan terang-terangan dari anggota lain ataupun dari pemimpin. I'm a leader, the decision maker"

"Perlu kukatakan padamu, Charlie", Alpha memulai lagi. "Mengapa kita membutuhkan pengembangan anggota? Kita berkumpul di organisasi ini karena tujuan yang sama, mengembangkan anggota dengan sistem tertentu sama saja dengan menjadikan organisasi ini menjadi mesin pencetak kue."

"Ya, Alpha", jawab Charlie. "Aku percaya kalian sudah cukup dewasa dalam memahat dirinya sendiri"

"Aku sejujurnya tidak menyukai pembahasan ini, Charlie, tapi aku menghormatimu, Delta, seperti aku menghormati diriku sendiri", kata Bravo tiba-tiba, gusar.

"Akan tetapi, akan kuberikan satu kecenderunganku yang kupercaya hingga saat ini. Charlie, kau hanya membutuhkan dua hal untuk pewaris kita di organisasi ini: Doktrin dan Keteladanan. Tidak kurang, tidak lebih. Itu bisa dilakukan tanpa sistem namun dapat diawasi dengan mudah jika dilakukan oleh setiap individu diantara kita memberikan doktrin dan keteladanan yang terbaik. Sekali lagi, Charlie, setiap individu. Kau tahu, sebuah organisasi yang berisikan anggota yang seluruhnya sadar dan meresapi tujuan organisasinya akan selalu sadar pula untuk mewarisi apa yang ia miliki kepada pewarisnya. Jika diantara kita ada yang tidak memiliki semangat dalam mewarisi doktrin dan keteladanan kepada anggota baru, itu berarti, orang itu menganggap tujuan organisasi ini bukan hal yang penting untuk dicapai, atau loyalitas terhadap dirinya sedang meningkat. Untuk waktu, itu tidak terlalu penting bagi kita. Kita memang membuat setiap anggota baru memahat dirinya sendiri, bukan kita mencetak dia seperti cetakan agar-agar yang rapuh. Tidak ada invisible big hand yang akan mengekang kita jika kita sibuk menanak nasi di daput, walaupun progresif dan cepat dalam menjalankan misi itulah yang diutamakan, bukan? Doktrin akan sangat sulit jika dilakukan dari nol, Charlie, percayalah padaku. Pastikan mereka memiliki landasan niat dan pemikiran yang bagus, itu pesanku".

Bravo kembali mengunyah biskuit kaleng.

"Kuemu enak, Alpha, beli dimana?", tanya Bravo tersenyum lebar.

"Diberi tetangga", kata Alpha dingin.

"Ah ya, satu lagi", lanjut Bravo, menutup kaleng biskuit. "Prinsip penghuni baru harus menghormati penghuni lama kupikir, harus dikurangi hingga ke titik nol, Charlie. Setiap orang memiliki standar penghormatan yang berbeda-beda, sadari itu. Bagaimana jika ternyata kemudian kita akan kedatangan anggota baru dari suku Maori? Aku bertaruh kau akan melemparnya ke jurang sebelum dia hafal nama kita. Peribahasa dimana bumi dipijak di sana langit dijunjung dalam konteks organisasi dan anggota baru tidak akan pernah membuat anggota baru benar-benar merasa memiliki organisasi ini, Charlie. Cobalah kau tulis di buku kecilmu: Setiap anggota menghormati anggota lain sama seperti ia menghormati dirinya sendiri. Itu akan lebih baik kurasa. Kita sudah merasa lebih baik setelah kita mentertawakan gaya kaderisasi baris-berbaris ala anak organisasi di sekolahmu dulu bukan?"

"Bagus, Bravo", kata Delta. "Kau bicara seolah kita sudah sepakat sebelumnya"

"Belajar lebih banyak, nak muda. Jadikan setiap orang di tempat ini adalah dirimu sendiri", kata Bravo, mengejek Delta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar