Total Tayangan Halaman

Kamis, 12 Maret 2015

Standar 8

Status: Thinking - Judging

Hari ini saya menulis tentang suatu pemikiran yang sudah ada sejak tahun 2013 lalu. Pemikirnan tentang perlunya dibuat suatu parameter kuantitatif dari sesuatu yang jarang dihitung orang lain, yaitu ketepatan waktu. Tepat waktu adalah sikap yang dimiliki oleh minoritas masyrakat, terutama masyarakat Indonesia. Menciptakan suatu sikap disiplin, hendaknya dibuat aturan tegas, mengikat, dan penuh perhitungan dalam menilai kedisiplinan seseorang. Maka dari itu, saya mengajukan standar 8 sebagai metode untuk menghitung % Ketepatan waktu seseorang ketika hadir dalam suatu agenda.
Sepakati rumus dasar:

.......................(1)

........................(2)


Duransi toleransi adalah waktu toleransi yang diberikan untuk terlambat sehingga % Ketepatan waktu > 0%.
Dalam standar 8, saya mengajukan bahwa Durasi toleransi yang diberikan selayaknya adalah 1/8 dari durasi agenda.
.....................(3)

Jika persamaan (3) disubstitusikan ke persamaan (2), maka hasilnya:

Jika ada seseorang datang pada suatu agenda sebelum pada waktu perjanjian yang telah ditentukan, maka otomatis % Ketepatan Waktu nya 100%, sedangkan jika seseorang datang pada suatu agenda melebihi waktu perjanjian + duransi toleransi, maka otomatis % Ketepatan waktu orang tersebut adalah 0%. Jadi, keadaan dimana 0% < % Ketepatan Waktu < 100% adalah saat dimana seseorang datang terlambat pada suatu agenda, namun keterlambatannya tidak melebihi batas durasi toleransi.

Sebagai contoh, jika ada suatu kelas (kuliah) berdurasi 100 menit (2 sks), dan seorang mahasiswa terlambat 5 menit, maka % Ketepatan waktunya adalah 60%. Maka dari itu, durasi toleransi juga dapat digunakan sebagai batas seorang dosen mempersilahkan mahasiswanya masuk ke kelasnya meskipun datang terlambat.

Dengan menghitung % Ketepatan waktu rata-rata seseorang dari hari ke hari, kita dapat menyimpulkan apakah orang tersebut disiplin atau tidak, tanpa harus menilainya secara kualitatif (dan secara abstrak) saja.

Semoga bermanfaat.

Dilema: Prinsip dan Lingkungan

Status: Introvert - Thinking

Hidup ini sebenarnya sederahana: memilih sesuatu, lalu konsekuen dengan pilihan tersebut. Sesederhana problematika ketika dalam lingkungan sosial. Setiap keputusan dalam hidup ini, didasari oleh dua hal: prinsip yang dipegang dengan teguh, atau lingkungan yang bersifat konstruktif / destruktif (deformatif). Namun terkadang, banyak peristiwa di dunia ini yang membuat dilema dan perang dalam hati. Dilema ini akan diakhiri dengan cepat, namun ketika salah memilih, akan berakibat jangka panjang. Dilema tersebut, tentu saja sesuai judul, antara mempertahankan prinsip yang diyakini oleh seseorang, atau memilih mengikuti alur yang dikuasai oleh lingkungan sekitar.

Dalam wilayah sosial sekitar saya, orang-orang sekitar saya cenderung variatif, ada yang memang mempertahankan prinsip dengan teguh, ada yang cenderung membaur dan larut dengan lingkungannya. Saya jarang melihat ada orang yang digambarkan seperti semboyan "membaur namun tidak melarut".

Dalam memilih suatu keputusan, faktor-faktor yang bisa mempengaruhi antara lain:
1. Dasar berpikir. Apakah orang tersebut lebih dominan menggunakan perasaan atau logika. Mungkin gender juga bisa mempengaruhi.
2. Phlegmatis - Kholeris. Orang kholeris cenderung kuat prinsip dan keras kepala. Orang phlegmatis cenderung menghindari konflik, jadi cenderung akan mengikuti lingkungannya.
3. Asal. Orang yang berasal dari perkotaan, cenderung paham bagaimana bergaul dengan orang umum, sudah terbiasa. Mereka akan tahu kapan mereka mengikuti lingkungan, kapan mereka akan mengikuti prinsip. Orang yang bukan kaum urban cenderung sulit pada awal membuka pergaulan. Mereka yang ingin menambah teman akan cenderung mengikuti teman barunya. Di sinilah perbenturan dua budaya yang saling mempengaruhi.

Poin ketiga adalah fenomena yang paling sering saya lihat di lingkungan saya. Bagaimana ada beberapa mahasiswa dari daerah yang "berubah", karena "salah gaul". Pengaruh luar biasa dari lingkungan di sekitarnya membuat seakan pendidikan agama, etika, dan budi pekerti yang telah ditanam dan dipupuk matang-matang oleh orang tua dan guru-guru di sekolahnya terdahulu tak mampu menjadi tameng untuk menjaga mereka. Saya menyebutnya "culture shock", dimana seseorang menghadapi peralihan dua lingkungan yang memiliki kebudayaan yang berbeda drastis. Saya cukup yakin berasumsi bahwa awalnya mereka pasti akan berpikir beberapa kali dalam keraguan untuk "mengikuti arus" lingkungan. Namun, efek "culture shock" ini memang bersifat abrasif terhadap keimanan dan prinsip seseorang. Alhasil, perlahan, kebudayaan baru yang asing memasuki sanubarinya tanpa diseleksi oleh prinsipnya.

Sebagai contoh,
Bagaimana dulu di tempat orang tuanya bahwa wanita pulang setelah matahari terbenam adalah aib keluarga, diperbincangkan banyak orang,
sekarang mereka dengan entengnya pulang sekitar tengah malam, diantarkan oleh temannya yang bukan mahramnya.
Ironis, "keterpaksaan yang diada-adakan" membuat seseorang melegalkan dan melakukan sesuatu yang seharusnya dihindari. Semacam "menjebak diri sendiri".

Bagaimana dulu di tempat orang tuanya, bangun selalu paling pagi,
sekarang mereka bangun selalu kesiangan, entah alasannya bergadang karena hal tak penting, amanah kegiatan kemahasiswaan hingga bergadang, atau apapun hingga membuat waktu tidurnya melampaui waktu shubuh.
Ironis, kebebasan saat kuliah tanpa orang tua, akan dipertanggungjawabkan pula ke orang tua, bukan hanya dalam bentuk ijazah, namun juga penjagaan prinsip, aqidah, dan norma dalam berkehidupan.

Bagaimana dulu di tempat orang tuanya, orang tuanya selalu menjaganya dari asap rokok,
sekarang mereka malah terpengaruh "Tuhan Sembilan Senti" itu, sekali lagi, karena terpengaruh lingkungan mereka yang buruk, tak pandai bergaul dan menjaga diri.
Ironis, padahal dulu diantar mereka ada yang anti dengan rokok, namun sekarang tar dan nikotin itu selalu diisapnya di kala senggang, dengan alasan "jadi mahasiswa stress bro". Klasik.

Kalau kamu ditempatkan oleh Allah di lingkungan yang kontradiktif dengan prinsip hidup kamu, mungkin Allah menginginkan kamu jadi agen perubahan bagi lingkungan  tersebut. Maka dari itu, jangan terpengaruh, tegaslah menolak jika ada suatu kebudayaan yang bertentangan dengan prinsipmu hendak mengajakmu. Jika tidak mampu, buatlah "lingkaran kecil" (lihat artikel lain) yang membuat kamu akan cukup aman terlindungi. Jangan menutup diri, itu bukan pilihan bijak dalam memegang teguh prinsip. Suatu prinsip dikatakan kuat bukan ketika kita menutup diri, namun ketika kita dapat melebur namun tidak melarut. Memang, semboyan paling awal (tadi) adalah cerminan yang ideal yang sulit diraih oleh siapapun, apalagi oleh mahasiswa-mahasiswa yang hanya terlisensi "dewasa" dari KTP dan tukang cukur.

Senin, 09 Maret 2015

Rantai Gajah dan Kotak Korek Api

Kisah Pertama. Tahukah anda bagaimana cara seorang pawang menjinakkan seekor gajah liar? Begini caranya. Dari kejauhan, pawang membius gajah liar itu menggunakan senapan bius. Ketika gajah tidak sadarkan diri, pawang memasangkan sebuah rantai besi yang besar ke kakinya dan mengikatkannya ke sebuah pohon besar. Kemudian, ketika gajah itu tersadar, dia akan lapar. Apa yang terjadi ketika gajah itu mencoba berjalan untuk mencari makan? Gajah itu terjatuh karena kakinya terikat pada pohon. Ia mencoba berkali-kali, tetapi usahanya selalu sia-sia. Ia menjadi sangat lelah dan semakin lapar.
Saat itu, pawang datang membaawa sekeranjang rumput dan meletakkannya di dekat gajah. Karena lapar, gajah itu langsung memakan rumput yang sudah tidak segar lagi. Beberapa hari kemudian, gajah itu lapar lagi, dia mencoba mencari makan, tapi lagi-lagi dia terjatuh. Dia mencoba lagi, terus terjatuh, dan seterusnya....
Suatu ketika, sang pawang melepaskan rantai besi dan menggantinya dengan seutas tali tambang yang diikatkan ke sebuah pasak kecil yang tertancap di tanah. Tetapi, sang gajah tak pernah mencoba lari atau berbuat apapun. Mengapa? Karena dalam pikirannya rantai besi itu masih mengikat kakinya. Dia merasa bahwa apapun cara yang dilakukannya, tidak mungkin ia akan mendapatkan rumput segar. Sejak saat itu hingga akhir hayatnya, dia selalu merasa bahwa dia hanyalah makhluk kecil yang tidak berdaya. POTENSINYA YANG SEHARUSNYA SANGAT BESAR TELAH DIKERDILKAN OLEH LINGKUNGANNYA.

Kisah kedua. Cobalah anda ambil seekor kutu pinjal dan masukkan ke dalam sebuah kotak korek api kosong. Biarkan selama satu hingga dua minggu. Lalu keluarkan. Apa yang terjadi? Kutu itu hanya mampu melompat setinggi kotak korek api saja. Padahal, seekor kutu pinjal mampu melompat setidaknya 300x lipat lebih tinggi dari tinggi tubuhnya.
Ketika kutu itu berada di dalam kotak, dia mencoba melompat tinggi. Tapi apa yang terjadi? Dia terbentur dinding kotak korek api. Ia mencoba lagi, dan terbentur lagi. Terus begitu, hingga ia mulai ragu dengan kemampuannya sendiri. Ia mulai berpikir, “Sepertinya kemampuan saya memang hanya segini”. Kemudian lonpatannya disesuaikan dengan tinggi korek api. Aman. Dia tidak terbentur kotak lagi. Saat itulah ia menjadi sangat yakin, “Nah, benar kan? Kemampuan saya Cuma segini. Inilah saya!” Ketika kutu itu sudah dikeluarkan dari kotak korek api, dia masih terus merasa bahwa batas kemampuan lompatannya hanya setinggi kotak korek api. Sang kutu hidup seperti itu hingga akhir hayat. POTENSINYA TELAH DIBATASI OLEH LINGKUNGANNYA.


Setiap orang memiliki rantai gajah dan kotak korek api yang memenjarakan potensinya dan menghambat kemajuan dirinya. Apa yang menjadi rantai gajah dan kotak korek api anda?

Rabu, 04 Maret 2015

Kompartemen dan Departemen

Status: Feeling - Intovert

Bulan Maret 2015, diawali dengan perasaan sedih yang menjadi sponsor dalam hati sejak sebulan sebelumnya. Selama beberapa bulan saya menimbang-nimbang, apakah saya akan mengundurkan diri dari departemen pengabdian masyarakat atau tidak. Mengundurkan diri dalam arti tidak melanjutkan bekerja di masa bakti berikutnya, bukan mengundurkan diri dalam keadaan melepas tanggung jawab sebelum periode berakhir.

Sebatas yang saya dapatkan, departemen pengabdian masyarakat di himpunan saya merupakan departemen pertama bagi saya dimana saya benar-benar bisa bekerja dan belajar dengan serius. Tempat dimana saya benar-benar diuji kekonsistenannya. Betapa tidak, selama dua kali sepekan, selama 27 pekan dalam 9,5 bulan, saya wajib menghadiri setiap agenda mengajar di dua panti berbeda (FH di selasa sore dan WG di jumat malam) untuk memastikan segalanya berjalan dengan lancar. Agenda mengajar itu membuat 9,5 bulan terakhir, setiap jumat malam selalu terisi, dan saya anggap sepenting kuliah, bahkan terkadang melebihi praktikum. Bahkan selasa sore saya sudah seperti "tidak bisa digunakan untuk hal lain" sejak 1,5 tahun terakhir kecuali di hari libur. Bisa di bilang, kedua panti itu merupakan tempat ketiga dan keempat saya di bandung (setelah kamar kosan dan kampus). Pelajaran yang cukup berharga bagi saya.

Ada sebuah perbedaan yang saya rasakan antara ketika saya sebelum menjabat (Oktober 2013 - Mei 2014) dengan saya setelah menjabat (Mei 2014-Maret 2015). Ah istilah menjabat terlalu arogan, toh saya cuma Penanggung Jawab (satu) Program Kerja, hanya staff biasa. Perbedaan mendasar adalah bertambahnya kewajiban. Sebelum Mei 2014, saya datang ke panti FH dengan perasaan bebas, tanpa ada beban. Datang - Mengajar - Pulang. Begitu tiap selasa sore, saya anggap sebagai hiburan di kala penatnya jadwal dan tugas kuliah. Namun setelah menjabat, ada satu kewajiban yang harus dipenuhi: melayani massa organisasi, baik dari aspek propaganda, transportasi, Manajemen Sumber Daya Manusia, pengawasan, sampai inovasi. Semua itu diemban oleh satu kepala, dua tangan, dan dua kaki yang juga sudah direpotkan dengan hal-hal yang lebih penting dari itu. Lelah memang, apalagi sejak saya lihat, hasilnya tidak begitu baik.

Aspek pertama adalah propaganda. Apa yang dikerjakan? Tentu saja mengajak massa dan teman-teman saya. Tidak mudah, cenderung sulit, terutama untuk orang-orang yang masih skeptis dengan pengabdian masyarakat. Awalnya saya mengusahakan dengan jaringan komunikasi (jarkom) terpusat. Itu rutin dilakukan.  Usaha berikutnya yaitu mengajak massa secara personal, "woy/coy/bang/kak/bro, bisa pengmas gak hari ini?", menggeleng atau melambaikan  tangan, sambil senyum-senyum sedikit berusaha menghibur sebagai permintaan maaf karena menolak ajakan saya. Bahkan beberapa sudah mulai sadar. Belum saya katakan apapun, hanya saya datangi, mereka langsung meminta maaf sambil menolak. Oh tentu saja, saya lebih senang, setidaknya "sudah dianggap ada". Lalu berikutnya saya coba membuat meme dan poster untuk propaganda. Hasilnya tidak terlalu baik, dan saya kehabisan ide juga. Hanya menambah skill kreativitas saja. Untuk saat ini, saya hanya menggunakan cara jarkom dan ajakan pribadi.

Aspek kedua adalah transportasi. Saya yang tidak memiliki kendaraan pribadi di tanah rantau ini memiliki plus dan minus tersendiri dalam aspek transportasi massa, terutama untuk mencapai panti WG. Awalnya saya tidak paham angkot apa yang dapat membawa kami ke panti WG dari kampus (Pulang-Pergi) dengan biaya serendah dan jarak sedekat mungkin. Akhirnya saya dan teman saya melakukan uji coba: berangkat dari kosan setelah maghrib dengan angkot, lalu menunggu hingga jam 9 malam, lalu mencari angkot yang tersisa. Hasilnya, untuk keberangkatan, sejak turun angkot, kita harus berjalan kaki 300 m untuk mencapai panti. Begitu pula sebaliknya. Jalan 300 m ke arah yang berlawanan dari keberangkatan, lalu naik angkot yang lain. Terkadang begitu. Jika tidak ada sisa jok motor yang bisa dipakai, kami melewati jalur itu tiap jumat malam. Untuk ke panti FH, lebih mudah. Namun karena jadwal teman-teman saya berbeda-beda, maka keberangkatan yang dilakukan berbeda-beda. Sepertinya, saya butuh orang-orang untuk memimpin keberangkatan-keberangkatan massa yang variatif itu (terutama untuk massa yang belum tahu lokasinya).

Aspek ketiga adalah Manajemen Sumber Daya. Bagaimana saya harus bisa menyesuaikan jumlah massa yang datang (untuk mengajar) dengan jumlah penghuni panti yang mau diajar. Kedua variabel itu tentatif tiap harinya. Jujur, saya bingung bagaimana membatasi. Membatasi? Saya kira itu kurang bijak juga. Akan timbul perasaan kecewa dari massa yang berminat jika dibatasi. Namun saya khawatir mereka akan kecewa juga bila datang namun tidak mendapatkan murid. Sudah beberapa teman-teman saya yang menyatakan kritiknya soal MSDM dalam mengajar ini. Satu hal yang bisa saya usahakan adalah menjaga agar jumlah massa yang datang sekonstan mungkin (walaupun agaknya mustahil). Nah inilah yang menjadi perbedaan saya yang lain antara sebelum dan sesudah menjabat: saat sebelum menjabat, saya bisa mengajar dengan bebas. Namun setelah menjabat sebagai PJ Proker, mengajar menjadi "dosa" bagi saya. Ada dua kemungkinan kesalahan yang terjadi ketika saya mengajar: 1. massa yang datang kurang memadai, atau 2. saya membiarkan MSDM tak terurus dengan buruk sehingga ada massa dan teman-teman yang menganggur. Ah dilema. Tujuan saya yang sederhana itu terhalang tugas.

Aspek keempat adalah Pengawasan. Apa pekerjaan saya sebagai PJ di panti? Mungkin hanya mengabsen nama dan kuantitas massa, menyediakan spidol, penghapus, bangku, jurnal, dan hanya sesekali mengajar (sekali lagi, mengajar itu kesalahan!). Tidak sulit, hanya saja, pengawasan memiliki bentuk mutlak berupa "kehadiran". Jika saya tidak hadir, saya tidak bisa menjamin bahwa agenda hari itu berjalan dengan lancar, kecuali ada orang yang benar-benar bisa terpercaya (bukan hanya dipercaya) untuk menggantikan saya jika saya berhalangan hadir. Tapi itu jarang terjadi. Saya jarang melimpahkan wewenang pengawasan kepada orang lain. Saya ragu. Namun ada sisi positifnya dari aspek ini: saya tertarik dengan data kehadiran massa dan agenda mengajar yang tiap pekan diupdate dan terawasi dengan ketat yang saya buat. Menyenangkan sekali melihat data, tabel, grafik, dll.

Aspek kelima, atau aspek terakhir yang saya pikirkan adalah inovasi. Inilah yang tersulit menurut saya, terutama untuk panti WG. Bagaimana dengan inovasi, kami harus menjaga mutu/kualitas dari proses belajar-mengajar. Jika "begitu-begitu saja", massa akan cepat bosan dan tidak akan datang lagi untuk mengajar. Namun, untuk berinovasi, kami juga perlu banyak massa. Tidak mungkin ada metode mengajar baru yang ramai dan meriah hanya dilakukan oleh segelintir orang. Dilema memang. Saya bukan orang yang inovatif, maka dari itu saya kesulitan mengembangkan dua panti ini. Untuk FH, pengembangan yang saya coba lakukan adalah dengan mengadakan jurnal yang wajib (?) diisi oleh tiap pengajar setelah ia mengajar. Jurnal ini memastikan pengajar mengetahui siapa yang diajar dan bagaimana perilakunya ketika diajar. Namun, saya belum bisa mengembangkan output yang jelas dari buku jurnal ini.

Lima aspek yang-jujur-tidak-mudah-untuk-dikendalikan-setiap-hari ini yang menghantui saya tiap pekan. Dipikirkan, namun kadang tiada hasil. Adik-adik saya berupa staff magang sudah cukup banyak membantu saya dalam mengembangkan dan memperbaiki aspek-aspek yang tadi dipaparkan. Ya, saya harus berterima kasih kepada mereka dan juga meminta maaf atas pengunduran diri ini. Saya cuma bisa membimbing mereka dari luar kompartemen/departemen. Pemikiran untuk mundur ini membuat saya untuk sedikit-banyak ingin memberikan pelajaran bagaimana mengelola divisi mengajar ini. Bagaimana seharusnya mereka akan memiliki rasa bersalah dan kecewa jika satu kali saja tidak hadir. Bagaimana mereka seharusnya memikirkan manajemen waktu di atas skala prioritas.

Esensi dalam mengajar non-profit ini tidak akan didapat hanya dengan meihat "kesan pertama". Butuh beberapa kali bahkan belasan dan puluhan kali untuk memaksakan diri untuk datang sebelum esensi pengabdian masyarakat itu muncul. Setidaknya, itu yang saya lakukan Oktober 2013 lalu. Awalnya saya tidak mau, lalu mencoba, lalu memaksakan diri untuk datang lagi, paksakan lagi untuk datang lagi, paksakan lagi, paksakan lagi, hingga akhirnya saya tidak bisa membedakan antara datang karena kebiasaan dengan datang karena "ini agenda organisasi".

Walaupun saya menyatakan mundur, saya khawatir intensitas saya untuk mendatangi tempat-tempat ini berkurang. Terlebih lagi ketika tanggal 09 Desember 2014 lalu, ketika saya meminta evaluasi dari anak-anak panti FH, begini isinya:








Apa yang saya harapkan berbeda dengan kenyataan. Ketika saya meminta evaluasi, mereka justru menyentuh perasaan saya dengan tulisan sederhana di secarik kertas ini. Maka dari itu, saya mau teman-teman saya juga merasakan apa yang saya rasakan saat itu. Dimana esensi dari pengabdian masyarakat itu benar-benar cukup meresap. Akan tetapi, bagaimana pun, saya harus mempercayakan peningkatan dan perkembangan performa organisasi tempat saya bekerja kepada orang lain. Akan sangat menyayangkan bila hal esensi dari pengabdian masyarakat ini tidak dirasakan oleh orang lain. Kita ada karena mereka butuh kita, bukan semata-mata karena kita butuh "untuk mengembangkan diri semata".

Visi, Suap, dan MSDM.

Status: Thinking - Sensing - Judging

Sejauh ini saya mendapati tiga hal yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin jika ingin memiliki pengikut yang setia dan loyal (bukan hanya berkomitmen):
1. Memiliki tujuan (visi dan misi) yang berada di sayap kiri atau sayap kanan.
Seorang pemimpin sebaiknya memiliki visi dan misi di titik ekstrem dan fokus pada satu hal untuk satu masa kepemimpinan. Tujuan organisasi akan tercapai bila langkah-langkah sederhana dicanangkan tiap tahunnya. Langkah-langkah sederhana ini tentu saja mengarah kepada tujuan organisasi yang sebenarnya. Jadi, tugas seorang pemimpin baru adalah melanjutkan langkah yang telah dicapai pemimpin sebelumnya, melakukan ekspansi, bukan memperbaiki apalagi mengulangi hal yang sama daripada apa yang pemimpin sebelumnya lakukan. Organisasi itu akan stagnan, tidak tercapai tujuan besarnya, akan dipenuhi oleh orang-orang yang tidak punya ambisi mencapai tujuan bersama.
Orang-orang yang mendukung visi ekstreme anda akan berkomitmen, bahkan lebih dari itu (loyal) kepada anda. Namun, sebagai konsekuensinya, orang yang tidak setuju dengan anda, akan antipati terhadap kepemimpinan anda. Itu tidak mengapa, karena 10 orang yang berkomitmen lebih baik daripada 100 orang oportunis. Terkadang, tujuan lebih berharga daripada keharmonisan.

2. Mampu menyuap.
Suap adalah cara termudah untuk menaklukkan orang lain, baik logikanya maupun perasaannya. Seperti agen MLM yang rela jatuh miskin agar terlihat kaya (dengan mentraktir calon "korban"nya) sehingga calon "korban"nya terpikat dan bergabung dengan organisasi MLM, kepemimpinan juga dapat menggunakan cara suap agar orang lain dapat mematuhi apa yang diinginkannya. "Suap" dalam kepemimpinan bisa dalam hal: mentraktir makan orang lain, melayani kepentingan orang lain, dan lain-lain. Misalnya, orang yang ditraktir makan, beberapa kali, cenderung akan patuh dan akan segan untuk melawan ketika orang yang mentraktir memintanya untuk melakukan suatu perintah kerja, walaupun ia seharusnya tidak mau. Rasa berterima kasih dan utang budi inilah yang melemahkan pendirian awalnya.

3. Mampu menempatkan anak buahnya di posisi yang tepat.
Terkadang, staffing anak buah dengan cara open recruitment tanpa menganalisis potensi mereka adalah sebuah blunder yang dapat berakibat fatal secara perlahan. Open recruitment terkadang hanya menempatkan orang dimana ia "sepertinya berminat" atau "sedang senang di bidang ini". Bagaimana jika ternyata anak buah anda belum paham dengan potensi dan bakat dirinya sendiri? Maka dari itu, memahami anak buah dan menganalisis kehidupannya sehari-hari akan memberi petunjuk potensi dan kemampuan apa yang sebenarnya yang ia miliki. Jika ia awalnya merasa tidak nyaman bekerja di bidang potensial yang ia miliki, paksalah ia untuk terus menekuninya. Dengan cepat ia akan menguasainya dan ketika ia menguasainya, ia akan menganggap pekerjaannya sebagai "mainan baru", dengan cepat akan meminatinya. Ia akan dengan senang hati bekerja.
Lalu ada kasus lagi, terkadang seorang pemimpin menempatkan anak buahnya hanya melihat bidang potensialnya saja, tanpa melihat bidang-bidang yang sebenarnya dihindarinya. Ini berbahaya. Ia akan bekerja sekitar 50%nya saja, tentu saja di bidang yang ia minati. Sisanya? Ia akan mengalihkan pekerjaannya kepada orang lain. Maka, ia pun akan menjadi orang yang pekerjaannya paling ringan diantara anak buah lainnya, cukup tidak adil.