Total Tayangan Halaman

Rabu, 04 Maret 2015

Kompartemen dan Departemen

Status: Feeling - Intovert

Bulan Maret 2015, diawali dengan perasaan sedih yang menjadi sponsor dalam hati sejak sebulan sebelumnya. Selama beberapa bulan saya menimbang-nimbang, apakah saya akan mengundurkan diri dari departemen pengabdian masyarakat atau tidak. Mengundurkan diri dalam arti tidak melanjutkan bekerja di masa bakti berikutnya, bukan mengundurkan diri dalam keadaan melepas tanggung jawab sebelum periode berakhir.

Sebatas yang saya dapatkan, departemen pengabdian masyarakat di himpunan saya merupakan departemen pertama bagi saya dimana saya benar-benar bisa bekerja dan belajar dengan serius. Tempat dimana saya benar-benar diuji kekonsistenannya. Betapa tidak, selama dua kali sepekan, selama 27 pekan dalam 9,5 bulan, saya wajib menghadiri setiap agenda mengajar di dua panti berbeda (FH di selasa sore dan WG di jumat malam) untuk memastikan segalanya berjalan dengan lancar. Agenda mengajar itu membuat 9,5 bulan terakhir, setiap jumat malam selalu terisi, dan saya anggap sepenting kuliah, bahkan terkadang melebihi praktikum. Bahkan selasa sore saya sudah seperti "tidak bisa digunakan untuk hal lain" sejak 1,5 tahun terakhir kecuali di hari libur. Bisa di bilang, kedua panti itu merupakan tempat ketiga dan keempat saya di bandung (setelah kamar kosan dan kampus). Pelajaran yang cukup berharga bagi saya.

Ada sebuah perbedaan yang saya rasakan antara ketika saya sebelum menjabat (Oktober 2013 - Mei 2014) dengan saya setelah menjabat (Mei 2014-Maret 2015). Ah istilah menjabat terlalu arogan, toh saya cuma Penanggung Jawab (satu) Program Kerja, hanya staff biasa. Perbedaan mendasar adalah bertambahnya kewajiban. Sebelum Mei 2014, saya datang ke panti FH dengan perasaan bebas, tanpa ada beban. Datang - Mengajar - Pulang. Begitu tiap selasa sore, saya anggap sebagai hiburan di kala penatnya jadwal dan tugas kuliah. Namun setelah menjabat, ada satu kewajiban yang harus dipenuhi: melayani massa organisasi, baik dari aspek propaganda, transportasi, Manajemen Sumber Daya Manusia, pengawasan, sampai inovasi. Semua itu diemban oleh satu kepala, dua tangan, dan dua kaki yang juga sudah direpotkan dengan hal-hal yang lebih penting dari itu. Lelah memang, apalagi sejak saya lihat, hasilnya tidak begitu baik.

Aspek pertama adalah propaganda. Apa yang dikerjakan? Tentu saja mengajak massa dan teman-teman saya. Tidak mudah, cenderung sulit, terutama untuk orang-orang yang masih skeptis dengan pengabdian masyarakat. Awalnya saya mengusahakan dengan jaringan komunikasi (jarkom) terpusat. Itu rutin dilakukan.  Usaha berikutnya yaitu mengajak massa secara personal, "woy/coy/bang/kak/bro, bisa pengmas gak hari ini?", menggeleng atau melambaikan  tangan, sambil senyum-senyum sedikit berusaha menghibur sebagai permintaan maaf karena menolak ajakan saya. Bahkan beberapa sudah mulai sadar. Belum saya katakan apapun, hanya saya datangi, mereka langsung meminta maaf sambil menolak. Oh tentu saja, saya lebih senang, setidaknya "sudah dianggap ada". Lalu berikutnya saya coba membuat meme dan poster untuk propaganda. Hasilnya tidak terlalu baik, dan saya kehabisan ide juga. Hanya menambah skill kreativitas saja. Untuk saat ini, saya hanya menggunakan cara jarkom dan ajakan pribadi.

Aspek kedua adalah transportasi. Saya yang tidak memiliki kendaraan pribadi di tanah rantau ini memiliki plus dan minus tersendiri dalam aspek transportasi massa, terutama untuk mencapai panti WG. Awalnya saya tidak paham angkot apa yang dapat membawa kami ke panti WG dari kampus (Pulang-Pergi) dengan biaya serendah dan jarak sedekat mungkin. Akhirnya saya dan teman saya melakukan uji coba: berangkat dari kosan setelah maghrib dengan angkot, lalu menunggu hingga jam 9 malam, lalu mencari angkot yang tersisa. Hasilnya, untuk keberangkatan, sejak turun angkot, kita harus berjalan kaki 300 m untuk mencapai panti. Begitu pula sebaliknya. Jalan 300 m ke arah yang berlawanan dari keberangkatan, lalu naik angkot yang lain. Terkadang begitu. Jika tidak ada sisa jok motor yang bisa dipakai, kami melewati jalur itu tiap jumat malam. Untuk ke panti FH, lebih mudah. Namun karena jadwal teman-teman saya berbeda-beda, maka keberangkatan yang dilakukan berbeda-beda. Sepertinya, saya butuh orang-orang untuk memimpin keberangkatan-keberangkatan massa yang variatif itu (terutama untuk massa yang belum tahu lokasinya).

Aspek ketiga adalah Manajemen Sumber Daya. Bagaimana saya harus bisa menyesuaikan jumlah massa yang datang (untuk mengajar) dengan jumlah penghuni panti yang mau diajar. Kedua variabel itu tentatif tiap harinya. Jujur, saya bingung bagaimana membatasi. Membatasi? Saya kira itu kurang bijak juga. Akan timbul perasaan kecewa dari massa yang berminat jika dibatasi. Namun saya khawatir mereka akan kecewa juga bila datang namun tidak mendapatkan murid. Sudah beberapa teman-teman saya yang menyatakan kritiknya soal MSDM dalam mengajar ini. Satu hal yang bisa saya usahakan adalah menjaga agar jumlah massa yang datang sekonstan mungkin (walaupun agaknya mustahil). Nah inilah yang menjadi perbedaan saya yang lain antara sebelum dan sesudah menjabat: saat sebelum menjabat, saya bisa mengajar dengan bebas. Namun setelah menjabat sebagai PJ Proker, mengajar menjadi "dosa" bagi saya. Ada dua kemungkinan kesalahan yang terjadi ketika saya mengajar: 1. massa yang datang kurang memadai, atau 2. saya membiarkan MSDM tak terurus dengan buruk sehingga ada massa dan teman-teman yang menganggur. Ah dilema. Tujuan saya yang sederhana itu terhalang tugas.

Aspek keempat adalah Pengawasan. Apa pekerjaan saya sebagai PJ di panti? Mungkin hanya mengabsen nama dan kuantitas massa, menyediakan spidol, penghapus, bangku, jurnal, dan hanya sesekali mengajar (sekali lagi, mengajar itu kesalahan!). Tidak sulit, hanya saja, pengawasan memiliki bentuk mutlak berupa "kehadiran". Jika saya tidak hadir, saya tidak bisa menjamin bahwa agenda hari itu berjalan dengan lancar, kecuali ada orang yang benar-benar bisa terpercaya (bukan hanya dipercaya) untuk menggantikan saya jika saya berhalangan hadir. Tapi itu jarang terjadi. Saya jarang melimpahkan wewenang pengawasan kepada orang lain. Saya ragu. Namun ada sisi positifnya dari aspek ini: saya tertarik dengan data kehadiran massa dan agenda mengajar yang tiap pekan diupdate dan terawasi dengan ketat yang saya buat. Menyenangkan sekali melihat data, tabel, grafik, dll.

Aspek kelima, atau aspek terakhir yang saya pikirkan adalah inovasi. Inilah yang tersulit menurut saya, terutama untuk panti WG. Bagaimana dengan inovasi, kami harus menjaga mutu/kualitas dari proses belajar-mengajar. Jika "begitu-begitu saja", massa akan cepat bosan dan tidak akan datang lagi untuk mengajar. Namun, untuk berinovasi, kami juga perlu banyak massa. Tidak mungkin ada metode mengajar baru yang ramai dan meriah hanya dilakukan oleh segelintir orang. Dilema memang. Saya bukan orang yang inovatif, maka dari itu saya kesulitan mengembangkan dua panti ini. Untuk FH, pengembangan yang saya coba lakukan adalah dengan mengadakan jurnal yang wajib (?) diisi oleh tiap pengajar setelah ia mengajar. Jurnal ini memastikan pengajar mengetahui siapa yang diajar dan bagaimana perilakunya ketika diajar. Namun, saya belum bisa mengembangkan output yang jelas dari buku jurnal ini.

Lima aspek yang-jujur-tidak-mudah-untuk-dikendalikan-setiap-hari ini yang menghantui saya tiap pekan. Dipikirkan, namun kadang tiada hasil. Adik-adik saya berupa staff magang sudah cukup banyak membantu saya dalam mengembangkan dan memperbaiki aspek-aspek yang tadi dipaparkan. Ya, saya harus berterima kasih kepada mereka dan juga meminta maaf atas pengunduran diri ini. Saya cuma bisa membimbing mereka dari luar kompartemen/departemen. Pemikiran untuk mundur ini membuat saya untuk sedikit-banyak ingin memberikan pelajaran bagaimana mengelola divisi mengajar ini. Bagaimana seharusnya mereka akan memiliki rasa bersalah dan kecewa jika satu kali saja tidak hadir. Bagaimana mereka seharusnya memikirkan manajemen waktu di atas skala prioritas.

Esensi dalam mengajar non-profit ini tidak akan didapat hanya dengan meihat "kesan pertama". Butuh beberapa kali bahkan belasan dan puluhan kali untuk memaksakan diri untuk datang sebelum esensi pengabdian masyarakat itu muncul. Setidaknya, itu yang saya lakukan Oktober 2013 lalu. Awalnya saya tidak mau, lalu mencoba, lalu memaksakan diri untuk datang lagi, paksakan lagi untuk datang lagi, paksakan lagi, paksakan lagi, hingga akhirnya saya tidak bisa membedakan antara datang karena kebiasaan dengan datang karena "ini agenda organisasi".

Walaupun saya menyatakan mundur, saya khawatir intensitas saya untuk mendatangi tempat-tempat ini berkurang. Terlebih lagi ketika tanggal 09 Desember 2014 lalu, ketika saya meminta evaluasi dari anak-anak panti FH, begini isinya:








Apa yang saya harapkan berbeda dengan kenyataan. Ketika saya meminta evaluasi, mereka justru menyentuh perasaan saya dengan tulisan sederhana di secarik kertas ini. Maka dari itu, saya mau teman-teman saya juga merasakan apa yang saya rasakan saat itu. Dimana esensi dari pengabdian masyarakat itu benar-benar cukup meresap. Akan tetapi, bagaimana pun, saya harus mempercayakan peningkatan dan perkembangan performa organisasi tempat saya bekerja kepada orang lain. Akan sangat menyayangkan bila hal esensi dari pengabdian masyarakat ini tidak dirasakan oleh orang lain. Kita ada karena mereka butuh kita, bukan semata-mata karena kita butuh "untuk mengembangkan diri semata".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar