Total Tayangan Halaman

Kamis, 12 Maret 2015

Dilema: Prinsip dan Lingkungan

Status: Introvert - Thinking

Hidup ini sebenarnya sederahana: memilih sesuatu, lalu konsekuen dengan pilihan tersebut. Sesederhana problematika ketika dalam lingkungan sosial. Setiap keputusan dalam hidup ini, didasari oleh dua hal: prinsip yang dipegang dengan teguh, atau lingkungan yang bersifat konstruktif / destruktif (deformatif). Namun terkadang, banyak peristiwa di dunia ini yang membuat dilema dan perang dalam hati. Dilema ini akan diakhiri dengan cepat, namun ketika salah memilih, akan berakibat jangka panjang. Dilema tersebut, tentu saja sesuai judul, antara mempertahankan prinsip yang diyakini oleh seseorang, atau memilih mengikuti alur yang dikuasai oleh lingkungan sekitar.

Dalam wilayah sosial sekitar saya, orang-orang sekitar saya cenderung variatif, ada yang memang mempertahankan prinsip dengan teguh, ada yang cenderung membaur dan larut dengan lingkungannya. Saya jarang melihat ada orang yang digambarkan seperti semboyan "membaur namun tidak melarut".

Dalam memilih suatu keputusan, faktor-faktor yang bisa mempengaruhi antara lain:
1. Dasar berpikir. Apakah orang tersebut lebih dominan menggunakan perasaan atau logika. Mungkin gender juga bisa mempengaruhi.
2. Phlegmatis - Kholeris. Orang kholeris cenderung kuat prinsip dan keras kepala. Orang phlegmatis cenderung menghindari konflik, jadi cenderung akan mengikuti lingkungannya.
3. Asal. Orang yang berasal dari perkotaan, cenderung paham bagaimana bergaul dengan orang umum, sudah terbiasa. Mereka akan tahu kapan mereka mengikuti lingkungan, kapan mereka akan mengikuti prinsip. Orang yang bukan kaum urban cenderung sulit pada awal membuka pergaulan. Mereka yang ingin menambah teman akan cenderung mengikuti teman barunya. Di sinilah perbenturan dua budaya yang saling mempengaruhi.

Poin ketiga adalah fenomena yang paling sering saya lihat di lingkungan saya. Bagaimana ada beberapa mahasiswa dari daerah yang "berubah", karena "salah gaul". Pengaruh luar biasa dari lingkungan di sekitarnya membuat seakan pendidikan agama, etika, dan budi pekerti yang telah ditanam dan dipupuk matang-matang oleh orang tua dan guru-guru di sekolahnya terdahulu tak mampu menjadi tameng untuk menjaga mereka. Saya menyebutnya "culture shock", dimana seseorang menghadapi peralihan dua lingkungan yang memiliki kebudayaan yang berbeda drastis. Saya cukup yakin berasumsi bahwa awalnya mereka pasti akan berpikir beberapa kali dalam keraguan untuk "mengikuti arus" lingkungan. Namun, efek "culture shock" ini memang bersifat abrasif terhadap keimanan dan prinsip seseorang. Alhasil, perlahan, kebudayaan baru yang asing memasuki sanubarinya tanpa diseleksi oleh prinsipnya.

Sebagai contoh,
Bagaimana dulu di tempat orang tuanya bahwa wanita pulang setelah matahari terbenam adalah aib keluarga, diperbincangkan banyak orang,
sekarang mereka dengan entengnya pulang sekitar tengah malam, diantarkan oleh temannya yang bukan mahramnya.
Ironis, "keterpaksaan yang diada-adakan" membuat seseorang melegalkan dan melakukan sesuatu yang seharusnya dihindari. Semacam "menjebak diri sendiri".

Bagaimana dulu di tempat orang tuanya, bangun selalu paling pagi,
sekarang mereka bangun selalu kesiangan, entah alasannya bergadang karena hal tak penting, amanah kegiatan kemahasiswaan hingga bergadang, atau apapun hingga membuat waktu tidurnya melampaui waktu shubuh.
Ironis, kebebasan saat kuliah tanpa orang tua, akan dipertanggungjawabkan pula ke orang tua, bukan hanya dalam bentuk ijazah, namun juga penjagaan prinsip, aqidah, dan norma dalam berkehidupan.

Bagaimana dulu di tempat orang tuanya, orang tuanya selalu menjaganya dari asap rokok,
sekarang mereka malah terpengaruh "Tuhan Sembilan Senti" itu, sekali lagi, karena terpengaruh lingkungan mereka yang buruk, tak pandai bergaul dan menjaga diri.
Ironis, padahal dulu diantar mereka ada yang anti dengan rokok, namun sekarang tar dan nikotin itu selalu diisapnya di kala senggang, dengan alasan "jadi mahasiswa stress bro". Klasik.

Kalau kamu ditempatkan oleh Allah di lingkungan yang kontradiktif dengan prinsip hidup kamu, mungkin Allah menginginkan kamu jadi agen perubahan bagi lingkungan  tersebut. Maka dari itu, jangan terpengaruh, tegaslah menolak jika ada suatu kebudayaan yang bertentangan dengan prinsipmu hendak mengajakmu. Jika tidak mampu, buatlah "lingkaran kecil" (lihat artikel lain) yang membuat kamu akan cukup aman terlindungi. Jangan menutup diri, itu bukan pilihan bijak dalam memegang teguh prinsip. Suatu prinsip dikatakan kuat bukan ketika kita menutup diri, namun ketika kita dapat melebur namun tidak melarut. Memang, semboyan paling awal (tadi) adalah cerminan yang ideal yang sulit diraih oleh siapapun, apalagi oleh mahasiswa-mahasiswa yang hanya terlisensi "dewasa" dari KTP dan tukang cukur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar