Total Tayangan Halaman

Sabtu, 30 Mei 2015

Inelastisitas Waktu

Status: Thinking - Judging

Jam ngaret, adalah suatu istilah umum yang digunakan orang Indonesia kepada suatu kondisi dimana agenda yang dijadwalkan berjalan terlambat. Dari anak-anak, remaja, hingga dewasa, banyak yang menganut paham indispliner ini. Tak cuma pelajar dan pengangguran, bahkan pejabat penting pun banyak yang tak sensitif terhadap ketepatan waktu. Sebenarnya apa yang menyebabkan mereka tidak tepat waktu? Secara garis besar, dari pengalaman, saya mengelompokkannya menjadi dua sebab: ketidaksadaran dan individualisme.

1. "Kenapa gue telat? hahaha, emang sengaja. Emang gue di agenda ini sebagai apa? gak penting-penting amat, jadi gak masalah kan?"
Itu adalah pengakuan pertama mengapa seseorang telat: Kurang dianggap penting dalam agenda itu. Kalau bahasa hiperboliknya "saya hanya ampas tahu yang bercampur keringat pembuatnya". Salah satu sebabnya adalah karena dalam agenda tersebut, telalu banyak orang yang terlibat, sehingga ia merasa hanya satu dari sekian banyak orang yang diundang ke agenda tersebut. Ia merasa kehadirannya dan ketidakhadirannya tidak akan berdampak apa-apa dalam agenda tersebut. Rendah hati itu bagus, rendah diri itu kurang bagus, namun merasa sekecil debu sehingga kesalahannya tidak akan dianggap fatal adalah suatu kesalahan.

2. "Orang lain lebih butuh gue daripada gue butuh dia"
Alkisah....
A: "Gue minjem kalkulator dong besok jam 6.30, gue ujian jam 07.00 dan kalkulator gue ilang. Ketemu di tempat X ya"
B: "ya"
*esoknya*
*B baru datang ke tempat perjanjian 6.45*.
A: "Kok lo telat sih?"
B: "Lo ini ye, udah minjem, protes pula. Masih untung gue kasih"
Sikap B menunjukkan bahwa ia tidak peduli dengan nasib A. Tidak ikhlas membantu. B merasa bahwa A lebih butuh dia daripada sebaliknya, sehingga B merasa bisa sewenang-wenang dalam mengambil keputusan (telat atau tepat waktu). Hal semacam ini juga sering terjadi pada pembicara-pembicara seminar yang sering datang telat dari perjanjian antara dia dan panitia acara.

3. "Agenda tidak penting buat saya"
Mungkin orang yang telat itu merasa agendanya tidak penting dan tidak menyenangkan (serta tanpa tekanan), maka dari itu langkahnya dari rumah ke tempat perjanjian pun sesuai dengan niat dalam hatinya. Misalkan sekolah mengadakan study tour ke luar kota. Orang yang gak terlalu niat cenderung bakal melambatkan dirinya dalam bersiap-siap dan melangkah.
Jangankan ketika ia sibuk (memprioritaskan hal lain), ketika ia lowong pun, jika tidak niat, jangan berharap bisa datang on time.

4. "Selow mah sama temen sendiri, paling ditungguin"
Kekeluargaan! Ah ya, itu suatu nilai yang dapat menjadi bumerang bagi suatu kelompok. Rasa nyaman satu sama lain dalam suatu kelompok pertemanan, hingga akhirnya mereka pun nyaman berbuat kesalahan kepada "keluarganya" yang tidak bisa ia perbuat dengan orang lain seenaknya tanpa rasa bersalah sedikit pun. Salah satunya adalah disiplin waktu. Ya, terkadang teman jadi makhluk yang sangat pemaaf untuk segala kondisi-kondisi remeh (salah satunya adalah ketepatan waktu). Bukan tidak mungkin janjian jalan-jalan dengan kawan-kawan anda yang dijadwalkan berangkat pukul 07.00, baru full team pukul 11.30 tanpa rasa resah sedikitpun.

5. Udah kebiasaan, susah diubah.
Alasan klasik nan fatal, tak perlu dijelaskan.

6. Kesiangan.
Alasan klasik nan kadaluarsa, pikirkan sendiri.

Sekian, maaf kalau kata-katanya tidak menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dengan benar. Kalo ada tambahan lain, nanti saya edit (kapan-kapan).

Terima kasih.

Sabtu, 16 Mei 2015

TeSIS 2010: Sebuah Bekal

Status: Feeling - Sensing

Salah satu pengalaman hidup paling tak-terlupakan dalam hidup saya adalah Temu Sosial dan Ilmiah Smandel (TeSIS) yang rutin dilaksanakan oleh SMA Negeri 8 Jakarta. Kegiatan berupa penelitian ke desa terpencil serta membuat karya tulisnya dan dipaparkan dalam sebuah sidang merupakan, menurut saya, suatu pembelajaran yang tak-ternilai harganya. Agenda ini merupakan agenda yang cukup besar bagi sekolah kami, meskipun "hanya" masuk menjadi nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia. Saya dan teman-teman angkatan 2012 lainnya mengalami kegiatan ini pada tahun 2010, yang kali ini diadakan di desa Situraja Utara, Kabupaten Sumedang sebuah desa berjarak 14 km dari Kota Sumedang, atau 59 km dari kota Bandung, Jawa Barat. TeSIS 2010 ini diadakan pada hari Kamis, 14 Oktober 2010 selama tiga hari dua malam, hingga Sabtu, 16 Oktober 2010.

Dalam pekerjaan ini, saya ditempatkan di kelompok 5, dari total ada 42 kelompok yang menampung 419 orang. Jadi satu kelompok terdiri dari 10 murid. Anggota kelompok 5, selain saya, antara lain: Aris Prianto, Haidar, Richard Handoko Damanik, Adistya Devvira Avviantari, Inas Amirah Hanan, Bilgis Biladi, Ardhila Aida Nirmala, R.R. Miranda Mutia, dan Angginta Ramdani Ibrahim. Dari kami bersepuluh, terpilih Aris Prianto sebagai ketua kelompok kami. Kami semua berasal dari kelas yang sama, yakni kelas XI IPA B. Sejak seminggu sebelum keberangkatan, setiap kelompok diminta untuk menentukan tema atau topik dari penelitian yang akan dilakukan di Desa Situraja Utara. Tema yang diajukan boleh dalam lingkup IPA (alam) maupun IPS (sosial), tidak harus sesuai dengan kelompok kelasnya. Kelompok 5 memilih topik mengenai Gambaran Kegiatan Remaja Desa Situraja Utara Dalam Rangka Mengisi Waktu Luang, sebuah topik, yang menurus saya, tidak sulit untuk dibayangkan, teknik penelitian maupun objek yang akan diuji.

Kamis, 14 Oktober 2010, 06.00 pagi, kami seangkatan berkumpul di lapangan SMA Negeri 8 Jakarta untuk apel pagi menjelang keberangkatan ke Desa Situraja Utara. Ada yang hanya membawa ransel kecil, ransel besar, bahkan ada yang membawa koper untuk menampung semua keperluannya dalam 3 hari dua malam. Saya termasuk golongan yang membawa koper dan ransel (saya bukan orang yang pandai dan berpengalaman dalam berpergian). Pembukaan (apel pagi) dibuka dengan kata sambutan dari Kepala SMAN 8 Jakarta saat itu, Pak Nanang Gunadi serta kepala komite.

Pukul 08.00 pagi, beberapa bus yang diparkir di lapangan parkir bengkel kereta PT. KAI mulai berangkat membawa kami, para siswa dan guru serta staff (panitia). Perjalanan yang panjang melalui jalan tol, dari Cawang hingga Cileunyi, Kab. Bandung. Istirahat tercatat dua kali: di KM. 57 (Kab. Karawang), serta di Universitas Padjadjaran (Jatinangor, Kab. Sumedang). Pukul 11.50, setelah perjalanan empat jam, kami sampai di Alun-Alun Desa Situraja. Kami disambut oleh warga, dikumpulkan di alun-alun. Saat itu, adzan dzuhur tepat berkumandang dari Masjid Besar Situraja, di sebelah Alun-Alun.
Patok Penanda Jarak di depan Alun-Alun Situraja: 59 km dari Bandung, 14 km dari Sumedang, dan 28 km dari Cilengkrang.

Selepas shalat dzuhur berjama'ah di Masjid Besar Situraja, peserta diarahkan untuk memasuki sebuah jalanan berbatu di seberang alun-alun. Di sana, sepanjang jalan itu, tarian khas daerah setempat yang dilakoni anak-anak menggiring kami kepada suatu rumah yang penuh dengan penduduk. Mereka adalah "orang tua asuh" kami selama dua malam ke depan. Setiap warga di sana membawa tongkat rotan dengan kertas di ujungnya bertuliskan nama kelompok, sebagai menanda bahwa dialah orang tua asuh dari kelompok tersebut. Kami, kelompok 5, seperti yang telah kami ketahui sejak pembekalan di Jakarta, mendapat orang tua asuh bernama Bapak Asep Taris. Beliau diwakilkan oleh istinya untuk menjemput kami. Kami kemudian berjalan kaki, menuju rumah beliau. Jauh juga ternyata. Di tengah jalan, kami bahkan menyetop mobil bak terbuka untuk kami tumpangi. Untung saja dibolehkan.
Kelompok 5 selfie di mobil bak terbuka

Akhirnya sampai juga. Rumah Bapak Asep Taris ternyata berada persis di pinggir jalan raya Sumedang-Wado-Malangbong, sekitar 1 km dari Alun-Alun Situraja. Kami membagi rumah. Pria di rumah Bapak Asep Taris, dan Wanita di rumah sebelahnya (juga kerabat Bapak Asep Taris). Bu Iin Mutmainnah, mentor kelompok kami dalam TeSIS 2010 ini, juga ditempatkan bersama para wanita di rumah tersebut.

Pada malam harinya, di seketariat panitia (menggunakan semacam aula/ruang serba guna) diadakan briefing tutor dan pengarahan kepada masing-masing ketua kelompok. Anggota kelompok yang menemani kebanyakan hanya menunggu di luar sekretariat. Sepulang dari tempat itu, kami bergadang bersama mentor di ruang tamu tempat wanita kelompok 5 menginap untuk menyepakati apa yang akan dilakukan besok harinya serta membuat kuesioner kecil-kecilan sebagai sarana penelitian. Malam itu disepakati beberapa pertanyaan untuk diajukan dalam sebuah kuesioner dan lokasi penelitiannya adalah SMP Negeri 1 Situraja dan SMA Negeri 1 Situraja yang berada di belakang Alun-Alun Situraja.

Esok harianya, hari Jumat, 15 Oktober 2010, pukul 09.00 kami, kelompok 5 bersama mentor kami, Bu Iin, berangkat menuju Alun-Alun Situraja dengan menumpang angkot. Sebelum menuju SMA Negeri 1 Situraja, kami membeli bekal minum serta memperbanyak kuesioner sesuai jumlah target responden di tempat fotokopi. Kami meminta izin kepada pihak sekolah terlebih dulu. Kami membagi tugas menjadi tiga bagian untuk menyebar di tiga kelas berbeda. Setelah mendapat suara, kami bergeser ke sekolah sebelahnya, yaitu SMP Negeri 1 Situraja. Kami melakukan hal yang sama. Pekerjaan yang tidak terlalu sulit dan menyenangkan juga rupanya. Di sela-sela menunggu teman kami yang di dalam kelas, kami sedikit-sedikit mengambil gambar.
Foto bersama kelompok 5 dan mentor kami, Bu Iin (keempat dari kiri) di depan SMA Negeri 1 Situraja

Agenda hari itu cukup sampai kepada penelitian, hanya saja, pada malam harinya, kami harus mempersiapkan presentasi yang akan ditampilkan pada esok harinya, sabtu pagi. Malam itu bergadang lagi. Walaupun ya, saya dan beberapa teman lainnya akhirnya gugur lebih dulu karena kelelahan. Salah satu malam paling memutar otak adalah malam itu. Rasa dikejar deadline, bingung, dan lelah, bercampur menjadi satu.

Keesokan harinya, Sabtu, 16 Oktober 2010, jam 08.00 pagi, kami dikumpulkan di sebuah gedung Sekolah Dasar yang dipinjam oleh pihak panitia sebagai tempat kami presentasi. Presentasi dibagi menjadi beberapa ruangan dengan beberapa guru yang ditugaskan sebagai penguji di sana. Presentasi yang dipaparkan berisikan Latar Belakang Penelitian, Rumusan Masalah, Metode Penelitian, Hasil Penelitian (Data), serta Simpulan. Penguji beberapa kali menanyakan dan mempertanyakan banyak hal, namun dalam suasana yang lebih santai (karena sidang sebenarnya dilaksanakan pada 05 Februari 2011) namun tetap serius, untuk memastikan setiap kelompok mendapat hasil penelitian yang diharapkan dalam dua hari terakhir.

Selepas presentasi, semua kembali ke rumah orang tua asuh, istirahat (Kami, kelompok 5 memilih untuk menikmati mie bakso dekat rumah orang tua asuh). Diberi waktu untuk berkemas dan salam perpisahan dengan orang tua asuh hingga dikumpulkan kembali di Alun-Alun Situraja setelah shalat dzuhur. Pukul 13.00, kami berangkat menuju Jakarta dengan bus yang sama ketika kami berangkat. Menjelang maghrib, kami tiba di lingkaran setan SMA Negeri 8 Jakarta.

Catatan Perjalanan: Situs Goa Pawon, Cipatat, Kab. Bandung Barat, 17 Januari 2015

Status: Introvert - Sensing

Dalam rangka mengakhiri libur panjang akhir semester ganjil, saya dan dua orang teman saya, Riksa dan Budi berencana mengunjungi salah satu tempat wisata di Kab. Bandung Barat, yaitu Situs Goa Pawon dan Stone Garden. Kami mengawali perjalanan dari Cisitu, tempat kos kami selama kami kuliah di Institut Teknologi Bandung, pada pukul 8.00 pagi. Dengan angkot Cisitu-Tegallega, kami menuju Stasiun Hall. Kami turun di Stasiun sisi selatan. Kami memberi tiket KRD (Kereta Rakjat Djelata) seharga Rp1500,00/orang untuk satu kali perjalanan. Cukup murah untuk perjalanan 14 km. Keretanya pun cukup nyaman. Sepi, bersih, dan tersedia colokan listrik di setiap kursinya.
budi (kiri) dan riksa (kanan) di Kereta Rakjat Djelata (KRD)

Saya, Riksa, dan Budi menikmati perjalanan singkat itu, hanya 15 km. Sesampai di stasiun, kami mencari angkot. Tentu saja angkot yang benar, angkot yang memang dapat mengantarkan kami ke situs Goa Pawon. Bertanya ke beberapa supir angkot, akhirnya dapat juga. Angkot berwarna kuning yang memiliki pintu penumpang di bagian belakang, berbeda dengan angkot pada umumnya yang memiliki angkot penumpang di sisi kiri mobil. Perjalanan agak lebih jauh terasa. Melewati Pasar Padalarang, kami melalui jalur Padalarang-Cianjur, jalur antar kota. Sekitar 30 menit menaiki angkot dengan trayek menuju Rajamandala tersebut, kami diturunkan di pinggir jalan raya antarkota tersebut. Di seberang jalan terdapat gapura yang menunjukkan bahwa itu adalah jalan menuju Goa Pawon.

Di mulut gapura terdapat pangkalan ojek, motor-motor berjejer berharap kami akan menyewa mereka untuk mengantarkan kami ke Goa Pawon. Budi berkata, "Jalan kaki aja, biar greget". Oke, kami memutuskan untuk jalan kaki. Sepanjang pejalanan udaranya sejuk, menjauh dari asap truk dan bis AKAP yang melintas sepanjang jalan raya Cianjur-Padalarang. Suasana pedesaan dengan jalanan aspal yang naik-turun, serta suara jangkrik dari ilalang pinggir jalan menemani perjalanan kami. Sekitar 15 menit berjalan kaki, kami mendapati jalan cagak dengan papan penanda di tengahnya. Kami mengambil gambar sebentar, lalu mengambil jalur kanan.
saya (kiri) dan riksa (kanan) di jalan cagak menuju objek wisata goa pawon

Tepat pilihan kami. Sepuluh menit kemudian, kami sampai di pintu masuk Goa Pawon. Kami membeli tiket masuk seharga Rp5500 per orang (sudah termasuk asuransi). Hal petama yang kami lihat bukan Goa Pawon yang tersohor itu, melainkan tempat parkir kendaraan, di sisi kirinya terdapat pendopo dengan maket peta kawasan wisata Goa Pawon. Selama 30 meter kami berjalan lurus, terdapat banyak kawanan monyet liar menemani kami. Semoga mereka tidak macam-macam, pikir saya. Kami menaiki beberapa batu, lalu tiba di mulut goa. Bau kotoran kelelawar menguar kemana-mana, membuat Budi tidak tahan akan baunya. Saya yang belum pernah mengendus bau kotoran kelelawar justru merasa biasa saja. Kotoran-kotoran kelelawar itu, terlihat dibungkus karung dan dikumpulkan di salah satu sudut goa. Saya membayangkan, pemilik dari tulang-tulang yang ditemukan di goa ini (sekarang di Museum Sri Baduga, Tegallega, Kota Bandung), pernah bermukim di goa ini. Hmmmm, seperti apa ya kehidupannya? Teringat pelajaran sejarah yang pernah diajarkan saat SMA dulu oke, lupakan. Kami ambil gambar sebentar, mengingat Budi tidak tahan dengan baunya.
 one trip, one selfie

Budi (kiri) sedang mengambil gambar eksotisnya goa pawon

Kami keluar dari Goa Pawon, bermaksud istirahat sejenak di Pendopo di dekat lapangan parkir. Di sana, kami menikmati bekal yang kami bawa dari Bandung dan bercengkrama hingga pukul 12.00. Perjalanan dilanjutkan ke Stone Garden. Juru parkir di sekitar pendopo menunjukkan bahwa jalan ke Stone Garden adalah menaiki bukit di seberang lapangan parki itu. Kami mendaki sekitar 20 menit. Agak terjal juga tanjakannya. Sesampai di puncak, kami istirahat sebentar, ke toilet umum. Lalu di jalan yang ke kiri, terdapat pintu masuk stone garden dengan tarif Rp3000 per orang. Cukup murah. Perjalanan tiga menit kemudian, kami mendapati hamparan luas bukit dengan batu-batu putih seolah-olah tumbuh dari dalam tanah berumput itu. Semua rasa lelah sekejap sirna. Indah sekali.
saya (kiri) dan budi (kanan) di batu gerbang, stone garden

salah satu sudut hamparan batu (maaf jika saya mengganggu pemandangan :v)

Sekitar satu jam kami bernarsis ria, mengambil beberapa puluh foto. (Memang, seharusnya SD Card handphone harus terlebih dulu dikosongkan jika akan berpergian ke wisata alam). Puas dan mulai lelah membuat kami melihat jam tangan. Ah sudah pukul 13.30. Kami kembali ke gerbang tiket stone garden. Kami memesan ojek disana. Tiga ojek motor siap mengantarkan kami ke jalan raya Cianjur-Padalarang. Ongkosnya Rp10000. Cukup mahal sebenarnya, ternyata jarak tempuhnya sangat dekat. Lebih dekat daripada ketika kami melewati pintu masuk yang awal. Pengendara ojek yang saya tumpangi bercerita bahwa wisata stone garden ini tergolong baru, sekitar pertengahan 2014 lalu dibuka, cukup fenomenal, yang bisa disandingkan dengan objek wisata Goa Pawon. Tidak banyak yang diceritakan karena singkatnya perjalanan dengan motor ini.

Kami kemudian menaiki angkot yang sama menuju stasiun Padalarang, membeli karcis, lalu sampai di Stasiun Hall, Bandung pada pukul 14.45. Untuk ongkos dari Cisitu (diluar ongkos makan), setidaknya merogoh kocek:
Angkot Cisitu-Tegallega (bolak-balik): 2 x Rp3000 = Rp6000,-
KRD (bolak-balik): 2 x Rp1500 = Rp3000,-
Angkot Padalarang-Rajamandala (bolak-balik): 2 x Rp5000,- = Rp10000,-
Situs Goa Pawon: Rp5500,-
Stone Garden: Rp3000,-
Ojek motor: Rp10000,-
Total: Rp37500,-

N.B.: KRD saat itu masih disubsidi pemerintah, sekarang tarifnya (non subsidi) sebesar Rp4500,- per orang.

Jangan

Status: Feeling - Introvert

Jika ada seorang wanita baik-baik
yang bertekad untuk tidak "pacaran"
hingga nanti ia menikah,
dengan seorang pria baik-baik pula,
menjaga diri mereka karena Allah,
Janganlah,
Tolong,
kamu sekalian memanas-manasinya,
dengan kalimat semisal
"mana pacarmu?",
"betah amat sendiri?"
"lagi ngegebet siapa?",
"kok udah gadis belum laku-laku?"
atau hal lain.

Begini,
kamu tau,
sekuat-kuatnya wanita dalam berprinsip,
ia butuh dilindungi dari godaan,
sekuat-kuatnya wanita dalam berprinsip,
ia juga wanita,
yang memiliki perasaan yang dominan,
telinga mereka juga akan panas,
mendengar kalimat-kalimat godaan itu,
yang terus menekan,
yang terus menjalar ke hati mereka,
hingga bisa jadi,
kemudian,
mereka pun bisa berubah haluan,
menjadi haluan yang berbalik dari prinsipnya,
prinsip awalnya,
yang katanya,
mereka sebut itu "tekad".

Jadi,
Tolong,
Janganlah,
kamu sekali-kali mengganggu mereka,
mengajak mereka keluar dari prinsipnya,
sekalipun itu hanya bercanda,
namun,
jika itu dikatakan berulang-ulang,
itu akan menjadi tekanan tersendiri,
bagi mereka yang berperasaan,

Biarkanlah wanita berprinsip,
selama itu berada di jalan yang lurus,
jangan memberi mereka pilihan,
tapi selalu jagalah mereka,
jaminlah jalan mereka,
tetap lurus tanpa persimpangan,
yang jika persimpangan itu banyak mereka temui,
hati mereka akan mudah terpaut,
ke jalan yang tidak Allah ridhai.

Kamu tahu,
menjaga dalam hal ini,
karena wanita perlu didukung,
untuk selalu berada di jalan yang benar,
serta lurus,
jika tidak,
setan akan mudah mempengaruhinya,
sadar ataupun tidak sadar,

Saya hanya bisa mendo'akan,
semoga mereka bisa istiqamah,
di dunia pergaulan,
yang semakin rusak,
tata krama dan akhlaknya.

Mungkin tulisan ini berlebihan,
atau bagaimana,
namun inilah apa adanya,
yang terjadi di lingkungan saya.

-Maaf ini bukan sya'ir ataupun puisi, saya sedang ingin menulis gaya begini aja-

Jumat, 08 Mei 2015

Realitas Masyarakat serta Pemerintah dan Refleksi Mahasiswa

Status: Thinking - Sensing

Terkadang, sering kali, kita kerap mendengar dan merasakan atmosfer berbeda ketika kita menjadi penghuni di kampus. Merasakan juga mendengar ternyata. Mendengar bahwa mahasiswa adalah kaum intelek "yang lain daripada yang lain", lain daripada masyarakat yang lain, hingga terkadang sering kali kita lupa bahwa mahasiswa dilahirkan oleh masyarakat biasa, dibesarkan oleh masyarakat biasa, dididik oleh masyarakat biasa, dan merupakan masih masyarakat biasa bahkan ketika saat mereka menyimpan kartu tanda mahasiswa yang masih aktif menemani kartu-kartu kredit mereka di dompet. Tidakkah mereka sadari?

Tak jarang juga sering kali mahasiswa dengan retorika dan orasinya merasa miris dengan tingkah laku pemerintah yang "mengada-ada" dan perilaku masyarakat umum yang "ada-ada saja", tanpa menunjukkan ekspresi bahwa apa yang mereka bahas sebenarnya cerminan kebiasaan tingkah laku mahasiswa di kampus.

Manusia pilihan dengan intelektualitas tinggi, begitu kan, mahasiswa sering mencongkakkan dirinya? apalah bedanya dengan anggota dewan yang sering mereka sebut-sebut dalam "kritik seorang mahasiswa"?

Kampus rakyat, nama yang bagus untuk sebuah institusi pendidikan, mahasiswa menggambarkan seolah-olah kampus mereka tidak eksklusif dan sangat merakyat sekali, sangat mirip dengan anggota dewan yang sering menganggap mereka "merakyat", padahal budaya hedonisme dan foya-foya sudah tertanam dalam sanubari mereka, selaras dengan mahasiswa yang mengaku merakyat namun ketika mengadakan suatu event, menghabiskan biaya besar-besaran dalam semalam yang jika dipikir tiada berguna dalam jangka panjang (selain kenangan?). Bukan hanya gaya hidup, gaya berpakaian mahasiswa pun semakin tidak mencerminkan "kerakyatan masyarakat Indonesia yang sederhana dan karakternya yang sopan". Sering kali (kali ini saya tidak perlu mencoret kata "terkadang") saya melihat mahasiswa pergi kuliah dengan setengah niat yang dicerminkan dari pakaiannya yang tidak sopan, bahkan beberapa tidak bisa dibedakan apakah orang ini hendak kuliah atau shopping di mall?

Mahasiswa menyebut anggota dewan itu tukang tidur dan tukang telat, mengapalah orang yang mendengar idealisme mahasiswa seperti itu tidak mencoba menengok ke kelas-kelas saat jam kuliah? Berapa orang mahasiswa yang duduk di bagian belakang kelas hanya untuk mengabsen, dengan datang terlambat 10-40 menit, lalu tertidur pulas, sedangkan mereka lupa bahwa mereka diutus rakyat untuk menjadi agen perubahan di masa depan kelak, sama dengan anggota dewan, tidakkah kita melihat perbedaannya?

Soal korupsi dan nepotisme, bukan hanya pejabat saja, mahasiswa juga lihai dalam melakukannya, meskipun skala kecil-kecilan. Contoh sederhananya adalah mencontek ketika mengerjakan ujian, belajar mempersiapkan untuk ujian matkul A pada saat kelas matkul B (korupsi waktu), serta memilih pemimpin dalam berkemahasiswaan hanya dari faktor kenalan dan kedekatan, bukan dari kualitas.

Ah ya, ini terakhir yang bisa saya sampaikan, yakni ketika banyak mahasiswa yang mengkritik anggota dewan yang senang "studi banding" sembari plesiran (atau plesiran sambil studi banding?) sehingga hasilnya nihil dan dinilai buang-buang biaya. Disadari atau tidak, mahasiswa melakukan hal itu ketika mereka melakukan kuliah lapangan. Berapa banyak mahasiswa yang berharap diinapkan di tempat yang nyaman dan mewah ketika ekskursi? Berapa banyak mahasiswa yang ogah-ogahan dan malas-malasan ketika berkunjung ke lapangan dan membuat laporan kuliah lapangan? Apakah hasil yang didapat mahasiswa ketika kuliah lapangan dan hasil yang didapat anggota dewan ketika studi banding adalah sama tidak optimalnya? Ya, benar. Dan mereka, menggunakan uang rakyat. Bisa dinilai sebagai bentuk penyelewengan dana? Silahkan nilai sendiri.

Ini hanya untuk refleksi diri saja, bahwa untuk menjadi agen perubahan, mahasiswa harus menjadi panutan bagi masyarakat (role model) yang sangat ideal. Sekian.

Minggu, 03 Mei 2015

Pertaruhan di Atas Kertas

Status: Sensing - Introvert

"Dengan ketekunan, orang bodoh pun dapat memindahkan sebuah gunung"
- Mao Tse-tung- 

Tiga tahun silam, paruh awal tahun 2012, merupakan tahun penuh perjuangan yang cukup memberi arti dalam hidup ini. Perjuangan itu dimulai sejak ultimatum berupa turunnya peringkat saya ke kepala-tiga-dari-empat-puluh-siswa di kelas pada akhir semester empat (tepatnya peringkat 33 dari 40 siswa di kelas). Performa buruk saya di bidang akademik sejak kelas X dan diperparah dengan performa yang semakin menurun hingga semester empat membuat saya memastikan diri untuk tidak akan mendapat SNMPTN Undian Undangan 2012. Bahkan, akan didaftarkan pun tidak, saya yakin itu. Dua tahun mengeluarkan biaya ekstra untuk mengikuti pendalaman materi di dua lembaga bimbingan belajar berbeda pun seakan tiada hasil yang optimal. Sesal disebabkan kelengahan dan kemalasan tidak dapat mengubah keadaan, bahkan alasan itu bukan alasan yang terlalu valid untuk saya. Kaderisasi, organisasi, sibuk berjualan di kelas, dan kesibukan lainnya juga bukan alasan yang bisa mengakhiri cemoohan orang lain yang mendengar keluhan saya. Hanya kemalasan (dan takdir) kah yang dijadikan kambing hitam atas buruknya rekam jejak selama di SMA Negeri 8 Jakarta?

Lupakan, lalu luapkan. Maksud saya, lupakan memori kelam selama empat semester itu, saatnya meluapkan segenap potensi untuk mengejar segala ketertinggalan ini. Perjuangan itu dimulai tahun 2011 pertengahan. Begitu kelas XII dimulai, tentu saja saya berusaha fokus, tancap gas, fokus untuk 80% ke SNMPTN Tertulis, sedangkan sisanya 10% untuk materi kelas XII, dan 10% untuk UN. Oleh karena itu, ujian harian (test formatif) dan nilai ujian semester (test sumatif) pada semester V masih tidak terlalu baik. Pencapaian nilai ujian formatif matematika yang tiga kali jauh tenggelam di bawah nilai KKM (75) serta rekor tak-pernah-lulus-ujian Biologi belum terpecahkan. Pelajaran bahasa jepang yang baru dipelajari pertama kali di semester ini juga cukup menjegal. Mengahafal huruf-huruf, kosa kata, dan percakapan dalam bahasa jepang cukup menyita waktu. Alhasil nilai bahasa jepang pun apa adanya. Lebih lagi, nilai ujian formatif kimia terburuk selama tiga tahun terakhir dicapai di semester V ini. Seperti semester-semester sebelumnya, tidak ada penyesalan dalam hasil yang dicapai, ya, masih bisa kami tertawakan bersama.

Polarisasi konsentrasi terhadap SNMPTN Tertulis 2012 sebenarnya membuat saya jauh lebih semangat dari semester lalu, namun hal ini membuat keadaan nilai di semester V agak terbengkalai, terlebih lagi ketika guru di sekolah tidak mempedulikan nasib anak didiknya di SNMPTN Tertulis (setangkap saya, guru memfokuskan dirinya untuk meloloskan anak muridnya sebatas untuk Ujian Nasional). Terkadang, saya menuntut lebih kepada guru-guru saya. Bentuk penuntutan itu adalah dengan cara mengunjungi guru-guru di ruang guru ke meja pribadinya, lalu meminta mereka untuk mengajari saya soal-soal SNMPTN Tertulis. Ada beberapa guru yang bersedia, menunda, dan menolak. Menolak dan menunda dengan alasan "sibuk" (maaf saya mau mengajar selepas jam istirahat ini, katanya). Bukan hanya di ruang guru, terkadang ketika guru memberikan tugas di kelas pun, saya curi-curi menanyakan soal-soal SNMPTN Tertulis ke meja guru di depan kelas.

Memang, saat itu sedang populer dengan istilah "ambis", sebuah istilah yang dapat menyebabkan psy war antar murid. terutama menjelang SNMPTN Undangan, yang notabenenya harus mendapat nilai setinggi mungkin di semester V ini agar didaftarkan ke SNMPTN Undangan. Bagi saya, itu bukan urusan saya, saya sudah menetapkan jalur sendiri, jalur yang masih sepi, yang kelak akan ramai juga diisi oleh pejuang-pejuang calon mahasiswa PTN lain yang terlempar dari jalur undangan.

Saya tak paham, banyak fenomena di sekolah saya saat itu yang menunjukkan bahwa kerja keras itu terkadang harus melanggar norma disiplin dan aturan yang berlaku, dan saya pikir itu merupakan contoh kecil dari tindak korupsi yang dapat dilakukan oleh anak-anak di zaman itu. Salah satu contoh perbuatan buruk itu adalah belajar pelajaran mayor (pelajaran yang akan diujian di UN, terutama MIPA) ketika sedang jam pelajaran minor (pelajaran yang tidak diujikan di UN). Maaf sekali, memang kebebasan adalah kebebasan yang bertanggung jawab dan tidak mengganggu orang lain, namun tidak menghargai guru di depan kelas adalah cara buruk untuk anak kelas XII untuk memberikan salam perpisahan mereka di tahun terakhir ini.

Secara keseluruhan, semester V itu seperti babak pertama pertandingan sepakbola final piala dunia: penting, penuh semangat, namun belum menentukan apa-apa. Peringkat di kelas pun tak berarti apa-apa. Positifnya, nilai try out SNMPTN Tulis saya lebih sering naik daripada turun, Alhamdulillah, progresif. Liburan akhir semester saya isi dengan mengunjungi Institut Teknologi Bandung pada tanggal 23 Desember 2011, bersama teman saya, Jamhari Hidayat. Sejak bulan november sebelumnya saya menetapkan pilihan PTN dalam SNMPTN Tulis saya adalah Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB (Jurusan Teknik Perminyakan) sebagai pilihan pertama, untuk pilihan kedua, masih saya pertimbangkan. Sebelumnya, november 2011, saya masih memilih Teknik Kimia UI sebagai pilihan utama, namun setelah saya membaca booklet ITB di ruang BK SMA Negeri 8 Jakarta, saya tertarik dengan FTTM ITB.

Institut Teknologi Bandung, 23 Desember 2011

Semester VI yang merupakan semester terakhir di program wajib belajar 12 tahun ini, diawali dengan pengumuman peringkat angkatan yang akan menentukan terdaftar-tidaknya dalam SNMPTN Undangan pada pertengahan Januari 2012. Dari 419 seangakatan, hanya 183 siswa yang akan didaftarkan. Saya tidak tertarik, tidak seperti orang lain yang ngarep undangan, saya hanya tertarik peringkat berapa saya di angkatan ini. Ternyata peringkat 256, lumayan jauh.

Akhir Januari 2012, pihak sekolah mulai gencar mengasah kemampuan siswa-siswanya untuk menghadapi SNMPTN Tertulis 2012 Ujian Nasional 2012. Bentuk programnya adalah berupa Tryout UN dan "terapi". Maksud dari "terapi" disini adalah dengan memisahkan siswa-siswa yang bermasalah dalam pencapaian nilai Try Out dari teman-temannya pada jam pelajaran non-UN ke ruangan khusus yang menjadi tempat siswa tersebut belajar secara privat dengan guru dari mata pelajaran yang bermasalah tersebut. Ini bagus karena tempat privasi dan perhatian khusus dari guru memang sangat dibutuhkan pada siswa ketika menjelang Ujian Nasional seperti ini.

Namun, korup tetaplah korup, kebiasaan buruk siswa-siswa muncul lagi di semester ini dengan menyusupnya siswa-siswa yang sebenarnya tidak membutuhkan terapi ke kelas khusus tersebut. Alhasil terkadang saya melihat kelas terapi yang ukurannya lebih kecil dari kelas biasa terlihat ramai. Saya akan terganggu jika saya jadi orang yang bermasalah itu. Oke, kembali fokus, kembali ke pilihan masing-masing, saya hanya menceritakan fenomena yang terjadi tiga tahun lalu.

Pilihan ya, saya teringat ketika kegalauan saya akan pilihan PTN berikutnya membuat saya menjadi orang yang tidak tegas. Februari 2012, saya mempertimbangkan FTI ITB untuk disandingkan dengan FTTM di kartu ujian SNMPTN Tulis nanti. Namun rasanya berat sekali beban yang akan diemban ketika menempuh ujian SNMPTN Tulis nanti jika duet itu saya pasang mengingat FTTM ITB dan FTI ITB cukup banyak peminatnya -cukup favorit-. Lalu pikiran saya beranjak ke FMIPA ITB, namun entah bagaimana dan mengapa, ibu saya sepertinya kurang setuju. Saya urungkan kembali. Lalu, ketika musim ujian praktik Maret 2012, muncullah ide untuk mengambil Teknik Kimia UGM, saya pikir itu pilihan yang cukup menantang. Saya simpan pilihan itu dalam wacana pribadi.

Menentukan Pilihan, 9 April 2012

Buat saya, entah bagi yang lain, masa-masa ujian parktik adalah masa-masa paling berat dalam semester VI saat SMA. Beban yang diemban dalam pikiran, saya pikir, melebihi Ujian Nasional. Ujian praktik yang memiliki porsi beban ekstra menurut saya adalah mata pelajaran Olahraga dan Kimia. Praktikum titrasi asam basa dan redoks membuat saya frustasi dalam menghafal resep/dosis reaktan (saat itu saya mendapat Titrasi Redoks: Permanganometri). Praktikum olahraga sebenarnya seru juga, namun beban mental dan persiapan rutin yang dilakukan cukup menyita perhatian disamping fokus Ujian Nasional dan SNMPTN Tertulis. Hampir tiap hari kami melakukan persiapan berupa latihan, bahkan hingga malam, di sekolah. Bentuk praktikumnya sederhana saja: Senam kreasi satu kelas selama 20 menit hingga 30 menit, ditonton seluruh masyarakat penghuni sekolah. Ambisi untuk tampil dengan totalitas membuat kesederhanaan itu memudar. Kami tampil cukup luar biasa dan dengan properti yang cukup "niat". Kelas saya, XII IPA G, tampil pada tanggal 16 Maret 2012, pagi.

Dengan ujian praktikum seperti itu, bagaimana dengan try out UN? Cukup. Ya, sebatas cukup untuk lulus UN nilai-nilai try out UN saya rata-rata sekitar 50-70, cukup jika target saya sebatas lulus SMA. Namun pihak sekolah mungkin punya target lain daripada sekadar 100% lulus, yakni meraih nilai rata-rata UN tertinggi se-Jakarta atau Indonesia, mungkin. Namun, dari 6x try out, Alhamdulillah, hasilnya kebanyakan naik turun, selalu ada kesempatan untuk memperbaiki diri. Namun nilai yang seperti itu sedikit menurunkan kepercayaan diri saya untuk menghadapi UN. Mungkin saja soal UN lebih mudah daripada soal try out. Begitulah saya menghibur diri saat itu.

Akhirnya, 16 April 2012, saya dan siswa kelas XII lain di seluruh Indonesia menempuh Ujian Nasional, ujian evaluasi, untuk mengevaluasi apa yang telah kami pelajari selama tiga tahun terakhir. Terkadang kepercayaan diri dan tekad untuk totalitas tumbuh ketika panggung telah terpijak. Dengan kepercayaan diri dan kepasrahan, akhirnya enam mata pelajaran itu dilalui dalam empat hari. Saya rasa suasana di ruang ujian tidak perlu diceritakan karena ya begitu-begitu saja.

Pasca UN, orang tua saya kembali mengajukan keberatan atas pilihan saya akan Teknik Kimia UGM, dengan alasan jarak. Kembali saya diyakinkan oleh orang tua saya. Saya pertimbangkan banyak hal, segala kemungkinannya, hingga pada tanggal 16 Mei 2012 saya mendaftarkan diri sebagai peserta SNMPTN Tertulis 2012. Pilihan saya adalah: 1) FTTM ITB, dan......2) Teknik Kimia UI. Ya, Teknik Kimia UI, sebuah pilihan yang sejak tujuh bulan yang lalu saya lengserkan dari pilihan utama saya. Tidak hanya formasi untuk menghadapi SNMPTN Tertulis, strategi untuk SIMAK UI dan SMUP Unpad pun saya tetapkan dan saya rilis.

SNMPTN Tertulis 2012:
1) Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB
2) Teknik Kimia UI

SIMAK UI 2012:
1) Teknik Kimia UI
2) Teknik Material dan Metalurgi UI
3) Teknik Elektro UI

SMUP Unpad 2012:
1) Pendidikan Kedokteran Unpad
2) Farmasi Unpad

Kartu Peserta SNMPTN Tertulis 2012, 12 Juni 2012

Strategi tiga lapis ini membuat saya semakin semangat dalam mempersiapkan diri. Bahkan, selama masa intensif SNMPTN di bimbingan belajar pun, saya dan teman saya beberapa kali menginap (bergantian) untuk belajar bersama (teorinya, kenyataannya, seringkali hanya diisi dengan mengobrol dan tidur, bahkan saya lebih dulu tidur daripada teman saya). Tiap hari ke sekolah untuk intensif, tiap akhir pekan try out, terus-menerus memperbaiki kesalahan, sekecil apapun di setiap try out. Evaluasi diri setiap pasca try out memang penting. Saya tidak terlalu muluk-muluk soal kesempurnaan ketika mengerjakan soal try out: cukup tidak mengulangi minimal satu kesalahan saja yang terjadi pada try out sebelumnya. Setiap try out, saya tidak meminta soalnya akan mudah, tidak ingin 100% terjawab dan benar semua, hanya itu yang saya mau. Memperbaiki diri sedikit demi sedikit. Itu saja sudah membuat saya puas. Jika nilai try out saya naik satu poin pun, saya akan sangat mengapresiasinya, tidak serta merta "doh, belom nyentuh passing grade *stress*". Sikap kurangnya mengapresisasi diri sendiri membuat orang akan terbudaki oleh dirinya sendiri, tidak bahagia dalam menjalani sebuah jalan berliku.

Sekitar lima pekan setelah Ujian Nasional, tibalah saatnya pengumuman hasil Ujian Nasional. Alhamdulillah, sekolah saya bukanlah sekolah yang memiliki budaya negatif ketika pengumuman hasil Ujian Nasional. Bahkan, momen yang diselenggarakan di sekolah ini cenderung sepi, seakan tidak terlalu antusias dengan pengumuman yang menentukan ini. Sekolah saya tahun ini meraih angka kelulusan 100%, Alhamdulillah. Akhirnya predikat "lulusan SMA" sudah ditangan.

Entah harus senang atau sedih (namun tidak iri), pekan depannya adalah pengumuman SNMPTN Undian Undangan. Separuh teman-teman saya seangkatan sudah memastikan diri mendapatkan PTN sesuai tujuannya masing-masing. Saya bertekad "07 Juli bagiku adalah hari ini bagi kalian". Beberapa hari kemudian adalah wisuda SMA di Gedung Balai Sudirman, Jakarta Selatan. Banyak wajah yang lebih bahagia dari siswa-siswa yang lain karena mereka telah dalam "posisi aman" (sudah mendapatkan tempat kuliah). Saat itu adalah dua pekan sebelum SNMPTN Tertulis diselenggarakan. Semua "amunisi akan siap diluncurkan pada waktunya".

Pada 12 Juni 2012, pukul 05.30 pagi, saya datang ke SMA Negeri 68 Jakarta, tempat saya akan mengerjakan soal ujian SNMPTN Tertulis selama dua hari ke depan. Hari masih gelap, ruangan masih terkunci. Saya sudah beradaptasi dengan tempat ini karena sudah saya survey sehari sebelumnya. Survey lokasi ujian ini penting terutama untuk lokasi yang asing bagi kita. Dua jam menunggu dengan keringat dingin, akhirnya pertempuran dimulai. Untuk hari pertama adalah TPA dan TKD (Matematika Dasar, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris). Setiap keraguan dalam menjawab saya hilangkan. Saya jawab tanpa kekhawatiran poin +4 maupun -1 (kecuali untuk soal yang belum saya baca). Hari kedua untuk Saintek (Matematika IPA, Biologi, Fisika, dan Kimia) tidak terlalu menegangkan, lebih rileks walaupun lebih sulit. Ketenangan tetap diutamakan. Pasrah rasanya ketika SNMPTN Tertulis ini berakhir. Namun, kelengahan tetaplah musuh nomor satu. Masih ada lapis kedua yang harus diperjuangkan, dan ini lebih sulit daripada SNMPTN Tertulis: SIMAK UI.

Alangkah bosan rasanya ketika anda diminta menganggur selama 3,5 pekan untuk menunggu pengumuman yang menegangkan itu. Lebih baik waktu luang itu diisi dengan belajar intensif SIMAK UI. Saya berusaha untuk serius walaupun ada rasa angin-anginan sedikir dalam diri ketika belajar SIMAK UI dan mengikuti try outnya secara rutin setiap pekan. Mungkin ini yang dirasakan oleh anak-anak Undangan ketika mengikuti try out SNMPTN Tertulis sebelum pengumuman SNMPTN Undangan. Apa boleh buat, saya akhirnya memposisikan diri saya seolah-olah "tidak akan lolos SNMPTN Tertulis". Semangat saya kembali hidup.

H-1 Pengumuman SNMPTN Tertulis, 5 Juli 2012

SIMAK UI yang dilaksanakan H+1 Pengumuman SNMPTN Tertulis (6 Juli 2012, sebelumnya dikabarkan 7 Juli 2012), yakni tanggal 7 Juli 2012 membuat saya membayangkan akan se-ngedrop apa saya kelak ketika malam sebelum tanggal 7 Juli 2012. Ketakutan tak-wajar itu agaknya mengganggu juga. Lebih lagi jika membayangkan jika gagal di SIMAK UI kelak, maka harus berjibaku untuk merebut kursi di Unpad (FK atau Farmasi). Hidup itu sulit jika dibayangkan.

Pada 6 Juli 2012, maghrib, pengumuman secara online dibuka. Server sepertinya sedang penuh ketika saya mencoba untuk mengakses dan memasukkan nomor ujian saya. Gagal, gagal, dan gagal log in. Sabar, optimisme, pesimisme, ketakutan, harapan, dan penasaran bermanifestasi menjadi keringat dingin dan tangan yang gemetar. Menjelang isya, saya akhirnya berhasil log in. Saya lihat hasilnya, membuat saya agak jantungan, ternyata........
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Alhamdulillah,
FTTM ITB
:')