Status: Thinking - Sensing
Terkadang, sering kali, kita kerap mendengar dan merasakan atmosfer berbeda ketika kita menjadi penghuni di kampus. Merasakan juga mendengar ternyata. Mendengar bahwa mahasiswa adalah kaum intelek "yang lain daripada yang lain", lain daripada masyarakat yang lain, hingga terkadang sering kali kita lupa bahwa mahasiswa dilahirkan oleh masyarakat biasa, dibesarkan oleh masyarakat biasa, dididik oleh masyarakat biasa, dan merupakan masih masyarakat biasa bahkan ketika saat mereka menyimpan kartu tanda mahasiswa yang masih aktif menemani kartu-kartu kredit mereka di dompet. Tidakkah mereka sadari?
Manusia pilihan dengan intelektualitas tinggi, begitu kan, mahasiswa sering mencongkakkan dirinya? apalah bedanya dengan anggota dewan yang sering mereka sebut-sebut dalam "kritik seorang mahasiswa"?
Kampus rakyat, nama yang bagus untuk sebuah institusi pendidikan, mahasiswa menggambarkan seolah-olah kampus mereka tidak eksklusif dan sangat merakyat sekali, sangat mirip dengan anggota dewan yang sering menganggap mereka "merakyat", padahal budaya hedonisme dan foya-foya sudah tertanam dalam sanubari mereka, selaras dengan mahasiswa yang mengaku merakyat namun ketika mengadakan suatu event, menghabiskan biaya besar-besaran dalam semalam yang jika dipikir tiada berguna dalam jangka panjang (selain kenangan?). Bukan hanya gaya hidup, gaya berpakaian mahasiswa pun semakin tidak mencerminkan "kerakyatan masyarakat Indonesia yang sederhana dan karakternya yang sopan". Sering kali (kali ini saya tidak perlu mencoret kata "terkadang") saya melihat mahasiswa pergi kuliah dengan setengah niat yang dicerminkan dari pakaiannya yang tidak sopan, bahkan beberapa tidak bisa dibedakan apakah orang ini hendak kuliah atau shopping di mall?
Mahasiswa menyebut anggota dewan itu tukang tidur dan tukang telat, mengapalah orang yang mendengar idealisme mahasiswa seperti itu tidak mencoba menengok ke kelas-kelas saat jam kuliah? Berapa orang mahasiswa yang duduk di bagian belakang kelas hanya untuk mengabsen, dengan datang terlambat 10-40 menit, lalu tertidur pulas, sedangkan mereka lupa bahwa mereka diutus rakyat untuk menjadi agen perubahan di masa depan kelak, sama dengan anggota dewan, tidakkah kita melihat perbedaannya?
Soal korupsi dan nepotisme, bukan hanya pejabat saja, mahasiswa juga lihai dalam melakukannya, meskipun skala kecil-kecilan. Contoh sederhananya adalah mencontek ketika mengerjakan ujian, belajar mempersiapkan untuk ujian matkul A pada saat kelas matkul B (korupsi waktu), serta memilih pemimpin dalam berkemahasiswaan hanya dari faktor kenalan dan kedekatan, bukan dari kualitas.
Ah ya, ini terakhir yang bisa saya sampaikan, yakni ketika banyak mahasiswa yang mengkritik anggota dewan yang senang "studi banding" sembari plesiran (atau plesiran sambil studi banding?) sehingga hasilnya nihil dan dinilai buang-buang biaya. Disadari atau tidak, mahasiswa melakukan hal itu ketika mereka melakukan kuliah lapangan. Berapa banyak mahasiswa yang berharap diinapkan di tempat yang nyaman dan mewah ketika ekskursi? Berapa banyak mahasiswa yang ogah-ogahan dan malas-malasan ketika berkunjung ke lapangan dan membuat laporan kuliah lapangan? Apakah hasil yang didapat mahasiswa ketika kuliah lapangan dan hasil yang didapat anggota dewan ketika studi banding adalah sama tidak optimalnya? Ya, benar. Dan mereka, menggunakan uang rakyat. Bisa dinilai sebagai bentuk penyelewengan dana? Silahkan nilai sendiri.
Ini hanya untuk refleksi diri saja, bahwa untuk menjadi agen perubahan, mahasiswa harus menjadi panutan bagi masyarakat (role model) yang sangat ideal. Sekian.
Ini hanya untuk refleksi diri saja, bahwa untuk menjadi agen perubahan, mahasiswa harus menjadi panutan bagi masyarakat (role model) yang sangat ideal. Sekian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar