Total Tayangan Halaman

Senin, 23 Februari 2015

Pidato Perdana Umar bin Abdul Aziz

Tatkala khalifah demi khalifah datang pergi silih berganti, disebut-sebutlah nama Umar bin Abdul Azir untuk menjadi penggantinya. Nama Umar bin Abdul Aziz digadang-gadang menjadi calon khalifah yang baru.
Tapi apa kata Umar?
“Jangan sebut-sebut nama saya, katakan bahwa saya tidak menyukainya. Dan jika tidak ada yang menyebut namanya, maka katakan, jangan mengingatkan nama saya,” ujar Umar bin Abdul Aziz.
Umar Bin Abdul Aziz diangkat menjadi Khalifah pada dinasti Bani Umayyah, hari Jum’at tanggal 10 Shafar tahun 99 Hijriyah, menggantikan khalifah sebelumnya, Sulaiman Bin Abdul Malik. Saat diumumkan di depan publik namanya disebut sebagai pengganti, seluruh hadirin pun serentak menyatakan persetujuannya. Tapi tidak dengan Umar. Sang Khalifah menangis terisak-isak. Ia memasukkan kepalanya ke dalam dua lututnya dan menangis sesunggukan.
Ia justru terkejut, seperti mendengar petir di siang bolong. Bukan hanya terkejut, Umar bin Abdul Aziz bahkan mengucapkan Inna lillahi wa Inna ilaihi raji’uun, bukannya Alhamdulillah atau mengadakan pesta, sebagaimana kebanyakan pejabat di negeri ini.
“Demi Allah, ini sama sekali bukanlah atas permintaanku, baik secara rahasia ataupun terang-terangan,” ujar cicit dari Khulafaur Rasyidin kedua Umar bin Khattab ini.
Di atas mimbar Umar Bin Abdul Aziz berpidato: “Wahai manusia, sesungguhnya aku telah dibebani dengan pekerjaan ini tanpa meminta pendapatku lebih dulu, dan bukan pula atas permintaanku sendiri, juga tidak pula atas musyawarah kaum muslimin. Dan sesungguhnya aku ini membebaskan saudara-saudara sekalian dari baiat di atas pundak saudara-saudara, maka pilihlah siapa yang kamu sukai untuk dirimu sekalian dengan bebas!”
Ketika semua hadirin telah memilihnya dan melantiknya, Umar berpidato dengan ucapan yang menggugah. “Taatlah kamu kepadaku selama aku ta’at kepada Allah. Jika aku durhaka kepada Allah, maka tak ada keharusan bagimu untuk taat kepadaku.”
Dalam pidato di hari kedua memegang amanah, Umar mengatakan tiada nabi selepas Muhammad Shallahu ‘alaihi Wassallam dan tiada kitab selepas Al-Quran.
“Aku bukan orang yang paling baik dikalangan kamu sedangkan aku cuma orang yang paling berat tanggungannya dikalangan kamu, aku mengucapkan ucapan ini sedangkan aku tahu aku adalah orang yang paling banyak dosa di sisi Allah.”
Usai berpidato, khalifah menangis kemudian melanjutkan, “Alangkah besarnya ujian Allah kepadaku.”
Jika kebanyakan pejabat berpesta ria saat kenaikan pangkat dan meraih kekuasaan, Umar bin Abdul Aziz malah banjir air mata karena takut pertanggungjawabanya di hadapan Allah pada hari kiamat kelak tak mampu dipikulnya.
Sikapnya tak hanya ditunjukkan di mimbar. Iia justru hidup dalam kezuhudan dan wara’. Ketika ia disodori kendaraan “dinas” yang supermewah berupa beberapa ekor kuda tunggangan, lengkap dengan kusirnya, Umar menolak, dan malah menjual semua kendaraan itu, lalu uang hasil penjualannya diserahkan ke Baitul Maal. Termasuk semua tenda, permadani dan tempat alas kaki yang biasanya disediakan untuk khalifah yang baru.
Dalam sejarah peradaban Islam disebutkan, Umar bin Abdul Aziz merupakan Khalifah Dinasti Umayyah yang membawa Daulah Umayyah mencapai puncak kejayaan. Menurut para ahli sejarah, gaya kepemimpinannyamirip dengan gaya kepemimpinan khulafaur Rasyidin. Dialah satu-satunya khalifah Bani Umayyah yang tidak dicela oleh para khalifah Bani Umayyah pada masa selanjutnya

Who Wants To Be a "Gaul" Person

Status: Thinking - Introvert

Hari ini, saya ingin menceritakan apa yang saya lihat dari lingkungan saya, lalu saya analisis, yakni tentang pergaulan. Memang bisa dibilang bergaul adalah kebutuhan dan naluri manusia sebagai makhluk sosial. Tiada hari tanpa berinteraksi dengan orang lain kecuali anda pingsan seharian di dalam kamar yang terkunci rapat dan tiada orang yang mencari anda. Interaksi ini, tidak lain tidak bukan, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan lahir maupun batin. Berinteraksi untuk menolong orang lain pun juga memenuhi kebutuhan: kebutuhan batin, kebutuhan pahala. Memang, kebahagiaan bisa ditemukan ketika kita berbagi.

Oke, kembali fokus ke pergaulan. Pergaulan itu, selain dapat memenuhi kebutuhan (keuntungan), juga dapat menyebabkan kerugian, terutama jika kita tidak pandai bergaul. Betapa banyak penyakit sosial di masyarakat yang mewabah yang ditularkan oleh pergaulan. Maka dari itu, saya mengklasifikasikan orang yang tidak pandai bergaul ada dua tipe: orang yang menutup diri dan orang yang mudah terpengaruh buruk oleh lingkungan.

Pertama adalah orang yang menutup diri. Biasanya orang ini tipe introvert, biasanya, sepengelihatan saya. Ada banyak alasan mengapa seseorang menutup diri dengan rapatnya sehingga keberadaan dan ketidakadaannya itu seolah tidak diketahui oleh masyarakat sekitar. Salah satu alasan (yang mengganjal di pikiran saya) yang membuat saya berpikir untuk membuat tulisan ini adalah "saya tidak nyaman, lingkungan pergaulan saya buruk, saya khawatir terpengaruh negatif itu meracuni saya". Alasan ini membuat saya berpikir bahwa orang ini bukanlah tipe pendiam, saya percaya itu, hanya memiliki sentimen negatif terhadap lingkungan. Ketika orang semacam ini berada di lingkungan yang tidak sesuai idealisnya, maka ia cenderung memiliki self-resistant terhadap lingkungannya. Sebagai gantinya, orang ini akan membuat semacam "lingkaran kecil" di dalam "lingkaran setan" yang besar. Lingkaran kecil yang dimaksud adalah lingkaran pergaulan kecil yang berisi hanya orang-orang yang sepaham dengannya dan orang-orang yang bisa ia percaya. Ia akan cenderung terbuka di dalam lingkaran kecil itu. Saya pikir orang semacam ini tidak pandai bergaul karena menutup diri bukanlah solusi yang tepat untuk menjaga diri (Ngomong-ngomong, saya sepertinya termasuk tipe ini).

Kedua adalah orang yang mudah terpengaruh buruk oleh lingkungan. Orang ini umumnya extrovert (saya bilang umumnya). Orang semacam ini bisa berubah sikap dan sifatnya sewaktu-waktu, tergantung dimana ia bergaul. Mungkin tujuannya adalah untuk adaptasi sementara, namun bisa jadi yang dilakukannya membuat sifat dan karakternya berubah secara permanen. Salah satu faktor penyebab "salah gaul" ini adalah culture shock. Sebagai contoh, orang yang dari pedesaan yang pergi ke kota untuk mengadu nasib (bekerja) atau kuliah, cenderung menganggap "apapun yang ada di kota itu keren". Akibatnya, ketika ia mulai bergaul denga orang kota, ia akan senantiasa mengikuti kebudayaan orang kota, apapun itu, baik maupun buruk. Mulai dari perkataan, fashion, makanan, dan lain-lain. Bukan tidak mungkin, sifat genetisnya akan hilang total akibat pengaruh lingkungan. Maka dari itu, ketika berprinsip, beranilah untuk mengatakan tidak ketika diperlukan. Orang yang prinsipnya lemah akan tergerus oleh arus buruk pergaulan. Contoh lebih sederhana lagi adalah rokok. Orang yang sudah paham dan yakin akan keburukan rokok, akan berani mengatakan tidak ketika ditawari rokok oleh temannya yang merokok. Saya yakin, pertemanan mereka tidak akan runtuh hanya karena menolak tawaran itu. Namun bagi orang yang tidak yakin akan bahayanya, tergoda oleh hawa nafsunya, terlebih jika sudah terbiasa menghirup asap rokok di rumah, tidak paham ilmu dalam bergaul, akan mudah sekali terjerumus. Pikirkanlah pula batasan dalam bergaul.

“Agama seseorang sesuai dengan agama teman dekatnya. Hendaklah kalian melihat siapakah yang menjadi teman dekatnya”
(H.R. Abu Daud dan Tirmidzi)

“Dan ingatlah ketika orang-orang zalim menggigit kedua tanganya seraya berkata : “Aduhai kiranya aku dulu mengambil jalan bersama Rasul. Kecelakaan besar bagiku. Kiranya dulu aku tidak mengambil fulan sebagai teman akrabku. Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al Qur’an sesudah Al Qur’an itu datang kepadaku. Dan setan itu tidak mau menolong manusia”
(Q.S. Al-Furqan: 27-29)

Sebagai penutup, saya sarankan beberapa hal:
1. Bergaullah dengan semua orang, namun tetap miliki prinsip yang teguh. Setiap orang memiliki peristiwa yang bisa kita ambil hikmahnya.
2. Dalam bergaul, matangkanlah ilmu anda soal haq dan bathil, serta halal dan haram. Jika tidak, anda akan mengikuti apapun "apa kata teman", baik itu sesuatu yang benar maupun salah.
3. Jadilah seumpama bubuk kopi. Bubuk kopi memiliki kelarutan yang rendah dalam air hangat. Ya, orang yang pandai bergaul tidak mudah larut dalam pergaulan. Namun kita lihat sifat bubuk kopi ini. Meskipun kelarutannya rendah, ia tetap dapat mengubah aroma air hangat menjadi harum. Begitulah seharusnya orang dalam bergaul. Meskipun tidak larut dalam pergaulan, orang harus bisa mempengaruhi lingkungannya menjadi lebih baik.

-Sekian, tulisan dadakan yang diproses tanpa seorang editor-

Minggu, 22 Februari 2015

Inna lillaahi wa Inna Ilaihi Raaji’uun

Fudhail bin ‘Iyâdh ra. pernah menasehati seseorang lelaki, beliau berkata, “Berapa tahun usiamu?”
Lelaki itu menjawab, “Enam puluh tahun”.
Fudhail berkata, “Berarti sudah 60 tahun kamu menempuh perjalanan menuju Allah Azza wa Jalla dan mungkin saja kamu hampir sampai”.
Lelaki itu menjawab, "Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun (Sesungguhnya kita ini milik Allah Azza wa Jalla dan akan kembali kepada-Nya)”.
Maka Fudhail berkata, “Apakah kamu paham arti ucapanmu?  Kamu berkata bahwa ‘aku milik Allah Azza wa Jalla dan akan kembali kepada-Nya’”. Beliau melanjutkan: “Barangsiapa yang menyadari bahwa dia adalah hamba milik Allah Azza wa Jalla dan akan kembali kepada-Nya, maka hendaknya dia mengetahui bahwa dia akan berdiri di hadapan-Nya pada hari kiamat. Barangsiapa yang mengetahui bahwa dia akan berdiri di hadapan-Nya, maka hendaknya dia mengetahui bahwa dia akan dimintai pertanggung-jawaban atas semua perbuatannya di dunia. Barangsiapa yang mengetahui akan dimintai pertanggungjawaban (atas perbuatannya), maka hendaknya dia mempersiapkan jawabannya”.
Lelaki itu bertanya, “Lantas bagaimana caranya untuk menyelamatkan diri ketika itu?”
Fudhail menjawab, “Caranya mudah”.
Lelaki itu bertanya lagi, “Apa itu?”
Fudhail berkata, “Perbaikilah dirimu pada sisa umurmu, maka Allah Azza wa Jalla akan mengampuni dosamu di masa lalu, karena jika kamu tetap berbuat buruk pada sisa umurmu, maka kamu akan disiksa (pada hari Kiamat) karena dosamu di masa lalu & pada sisa umurmu”.

IQRA

Ada sebuah kenangan ketika saya belajar di kelas kimia di sebuah gedung bimbingan belajar di Jakarta, akhir 2009 lalu. Di kelas itu, saya mendapatkan guru kimia yang menurut saya inspiratif, bahkan hingga sekarang. Bisa dibilang, selain mengajar, cerita-cerita intermezzo yang ia bawakan di sela-sela mengajar cukup membuat saya pasang telinga lebih lebar daripada ketika belajar serius. Beliau sering menceritakan tentang motivasi, filosofi, dan  aplikasi-aplikasi kimia dalam hidup yang membuat kelas benar-benar hidup. Berikut salah satu "ceramah"nya, saat itu, yang saya ingat sampai sekarang:

Sebenarnya rahasia kesuksesan sesungguhnya terdapat pada ayat pertama yang turun pada Al-Qur’an, tepatnya surah Al-Alaq ayat 1, yaitu “IQRA” yang artinya bacalah. Kegiatan yang disebut “membaca” ini sudah banyak mengantarkan orang menuju kesuksesan, seperti Isaac Newton, Abraham Lincoln, Albert Einstein, dll. Namun, kali ini saya akan membahas kepanjangan dari IQRA yang merupakan jalan menuju kesuksesan menuntut ilmu.

Pertama adalah huruf “I”, Inquiery, yang memiliki arti mencari tahu. Jika orang yang tidak sukses bertanya, “Apa yang terjadi?”, maka orang sukses bertanya “Mengapa itu terjadi?”. Itu menggambarkan bahwa orang sukses itu tidak membiarkan suatu peristiwa terjadi dan lewat begitu saja, tetapi ia mencari tahu mengapa itu bisa tejadi. Ia terus mencari tahu sampai ia mendapatkannya. Maka, kita harus memiliki rasa keingintahuan yang tinggi agar kita memiliki motivasi belajar yang tinggi pula. Rasa keingintahuan yang tinggi juga membedakan bahwa orang sukses itu tidak hanya sekedar tahu, tapi juga mengerti.

Kedua adalah huruf “Q”, Question, artinya pertanyaan. Orang sukses adalah orang yang selalu bertanya bila tidak mengerti atau ingin mengetahui sesuatu. Ia tidak akan membiarkan dirinya tersesat dalam kebingungan yang menghalanginya menuju kesuksesan. Maka dari itu, bertanyalah sebelum kita tersesat hingga mengalami kemunduran.

Ketiga adalah huruf “R”, Repeat, artinya mengulang. Setelah melakukan pembelajaran dan bertanya tentang segalanya yang kita tidak mengerti, kita harus mengulang pelajaran dan ilmu itu secara terus-menerus. Ada dua kemungkinan yang terjadi setelah anda mengulang pelajaran, yaitu menjadi semakin bosan atau semakin mahir. Pilihan ada pada diri kita masing-masing, apakah kita ingin menjadi bosan atau menjadi mahir?

Keempat (terakhir) adalah huruf “A”, Action, yaitu mengamalkannya. Ilmu yang matang merupakan investasi penting dan besar untuk masa depan kita. Namun, itu saja tidak cukup untuk membuat anda sukses, anda harus mengamalkannya agar ilmu anda berkah (berguna), dengan begitu insya Allah kita akan menjadi sukses.

Kisah Cinta Ali bin Abi Thalib

Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya. Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Nabi Muhammad tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali.
‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakar Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakar. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakar berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakar; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.
Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakar; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakar sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. ”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.”Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.” Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu. Lamaran Abu Bakar ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakar mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.
’Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. ’Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakar. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakar dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha.
Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan. Itulah keberanian. Atau mempersilakan. Yang ini pengorbanan. Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri. Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. ”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi..” ”Aku?”, tanyanya tak yakin.”Ya. Engkau wahai saudaraku!” ”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?” ”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!” ’Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?” ”Entahlah..””Apa maksudmu?” ”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!” ”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka,”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !”Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang. Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakar, ’Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
’Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.
Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda ”‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu.”
Kemudian Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”
Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya:“ Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.”

Sabtu, 21 Februari 2015

Kisah Cinta Bung Hatta

Kisah ini berawal dari suatu malam di tahun 1943. Pengacara Mr. Sartono mengadakan jamuan makan malam di rumahnya di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur. Sejumlah tokoh pergerakan hadir di sana. Acara yang dibuat untuk memberi ucapan kepada Soekarno itu juga dihadiri Mohammad Hatta dan keluarga Ny S.S.A. Rachim beserta dua anak gadisnya, Rahmi Rachim (17) dan Raharty (14). Sartono sengaja mengundang mereka untuk merayakan kepulangan Bung Karno dari Bengkulu, tempat pembuangannya. Acaranya santai. Ramah tamah mengalir dengan gembira.
 Saat itu, Hatta datang sendirian. Dia memang belum berkeluarga meski sudah berusia 41 tahun. Ini berkaitan dengan nazar Hatta yang tak akan menikah sebelum Indonesia merdeka. Hal itu mengusik perhatian Bung Karno. Sebagai seorang sahabat, ia ingin mencarikan pendamping buat Hatta. Hingga kemudian menjelang kemerdekaan, Bung Karno mendatangi rumah keluarga Ny Rachim di Bandung, Jawa Barat. Dalam kunjungan tersebut, Soekarno bertanya kepada Ny Rachim, “Gadis mana yang tercantik di Bandung?” Mendengar pertanyaan itu, Ny Rachim tampak bingung. Ia akhirnya menyebut sejumlah nama. “Ada Olek, putri Ibu Dewi Sartika. Meta, putri dokter Sam Joedo yang terkenal di Bandung, atau Mieke, kerabat dokter itu,” ujar Ny Rachim, sekenanya.
“Kenapa? Ada apa Mas Karno tanya-tanya tentang gadis-gadis cantik?” Ny Rachim pun bertanya balik. Mendengar pertanyaan itu, Soekarno juga menjawab dengan sekenanya, “Ah, tidak apa-apa. Tanya-tanya kan ndak salah?” Pembicaraan pun terputus. Soekarno kembali ke Jakarta.
Tepat 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Tiga bulan setelah kemerdekaan, Bung Karno kembali datang ke kediaman Ny Rachim. Kali ini bersama sahabat karibnya, dokter Soeharto. Di rumah itu, Soekarno langsung mengutarakan niat kedatangan. “Begini, saya mau melamar,” kata Bung Karno. Ny Rachim balik bertanya, “Melamar siapa?”
“Melamar Rahmi,” kata Soekarno. Ny Rachim lagi-lagi kebingungan. “Untuk siapa?” kejarnya. Dengan suara yang terdengar jelas Soekarno menjawab, “Untuk teman saya, Hatta.” Suasana menjadi hening. Bagi keluarga Ny Rachim, Soekarno dan Hatta memang bukan orang baru. Bahkan, seluruh anak Ny Rachim memanggil kedua tokoh ini dengan sebutan Om Karno dan Om Hatta. Meski begitu, lamaran Soekarno tetap saja mengagetkan.
Dengan nada bijak, Ny Rachim mengatakan, “Mas Karno, mengenai lamaran ini, saya harus bertanya dulu kepada anak saya, Rahmi. Menurut saya, dia sudah berusia 19 tahun, sehingga sudah saya anggap dewasa untuk memutuskan jalan hidupnya.” Perbedaan usia Hatta dan Rahim yang terpaut 24 tahun memang menjadi pertimbangan Ny Rachim. Saat itu Hatta sudah berusia 43 tahun.
Meski begitu, Ny Rachim tetap menemui Rahmi. Ketika masuk ke kamar tidur putrinya itu, Yuke–nama panggilan Rahmi–bertanya, “Siapa yang datang, Mam?” Pertanyaan itu langsung dijawab, “Bung Karno. Dia datang untuk melamar kamu.” Rahmi sangat kaget mendengar jawaban itu. “Buat saya? Mahasiswa sinting mana yang mau melamar saya?” ujarnya. Dengan hati-hati Ny Rachim menjelaskan, “Ini bukan mahasiswa! Dia orang baik, Mohammad Hatta!”
Saat Ny Rachim berbicara dengan Yuke, adik Rahmi–Raharty–menyeletuk, “Jangan mau Yuk, orangnya sudah tua.” Yuke tampak ragu-ragu. Ia takut ketika diajak ke hadapan Om Karno. Saat itu, Yuke hanya bisa bilang, “Om, saya takut.” Mendengar ucapan itu, Soekarno tersenyum. “Kamu takut apa? Jangan takut, Hatta itu orang baik, dia pemimpin yang baik, dia juga sahabat saya yang baik.” Penjelasan Om Karno membuat Yuke mengerti dan menerima lamaran tersebut. Selain itu, Yuke menilai Om Hatta sebagai orang pintar yang menjalankan syariat agama dengan baik.
Tepat November 1945, Rahmi menikah dengan Hatta di Mega Mendung, Puncak, Jabar, di saat revolusi fisik masih berkecamuk. Gadis keturunan Jawa-Aceh ini tak pernah menyangka garis nasib akan membawanya menjadi istri wakil presiden pertama Indonesia. Bagi Rahmi, tentu tidak mudah menjadi istri seorang Wapres dari negara yang baru merdeka dan rakyatnya masih mengangkat senjata melawan penjajah. Ketika pusat pemerintahan Republik Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta, Rahmi juga ikut hijrah bersama sang suami. Mereka baru kembali ke Jakarta setelah Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan RI kepada Soekarno-Hatta.
Pasang surut kehidupan berumah tangga mereka jalani dengan penuh toleransi. Mereka tak pernah mempersoalkan perbedaan asal-usul, latar belakang keluarga, pendidikan, dan rentang usia yang cukup jauh. Hatta memang lebih banyak mengemong sang istri. “Mereka bicara banyak hal, kadang menggunakan bahasa Belanda. Topiknya luas. Mereka selalu berembug bersama untuk urusan anak-anak,” kata Halida Hatta, puteri ketiga keluarga ini.
Hatta-Rahmi mengarungi pernikahan selama 35 tahun. Keduanya baru berpisah, ketika Allah SWT memanggil Hatta pada 1980. Sembilan belas tahun kemudian, Rahmi menyusul Hatta berpulang. Kedua pasangan ini kembali berdampingan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan, seperti tak ingin terpisahkan.

sumber: sejarahri.com

Kamis, 19 Februari 2015

Pulang Larut Malam

Status: Thinking - Intuiting

Mahasiswa wanita yang pulang pada malam hari selalu menimbulkan polemik berkepanjangan yang tiada habisnya, yang bahkan, beberapa mahasiswa memberikan solusi yang sepertinya "solutif", namun ternyata malah menambah mudharatnya, seperti menyiram api yang berkobar dengan seember bensin. Aktivitas unit Kegiatan Mahasiswa, Badan Eksekutif Mahasiswa, Himpunan, ospek, dan kegiatan kemahasiswaan lainnya menjadi kambing hitam yang mahasiswa salahkan atas pulangnya mahasiswa wanita ketika sudah larut malam. Pertanyaannya sekarang, layakkah wanita pulang larut malam? Boleh dimaklumikah wanita yang pulang larut malam karena amanah dan tugas sebagai mahasiswa yang menumpuk?

Pertama-tama, saya ingin mengangkat alasan kebudayaan lokal masyarakat Indonesia yang menjadi alasan yang saya pikir menjadi alasan yang akan dapat diterima lebih umum. Walaupun saya terlahir dan dibesarkan di kota Jakarta, saya yakin di luar kota, wanita yang di luar rumah selepas senja ada kemungkinan akan dicap bukan wanita baik-baik maupun digunjing orang lain. Masyarakat akan menilai negatif wanita yang masih berkeliaran di malam hari. Saya tak paham apabila anggapan itu telah bergeser atau belum di zaman ini. Namun secara naluri, orang tua tentu akan lebih khawatir apabila anak perempuannya belum pulang ke rumah ketika senja tiba dibandingkan anak laki-laki. Menurut saya, anggapan ini sudah selayaknya berlaku pula di lingkungan pendidikan, termasuk kampus.

Mahasiswa yang memiliki peran sebagai "role model" haruslah memberi contoh yang baik kepada masyarakat umum, memberikan teladan dari nilai-nilai dan norma positif yang berlaku di masyarakat, termasuk dalam hal wanita yang pulang malam.

Maka dari itu, untuk mahasiswa perempuan, tolaklah ajakan mahasiswa lain untuk berkegiatan hingga malam hari (rapat, ospek, dll). Sesungguhnya, itu lebih baik bagimu. Jika ada temanmu yang memaksa dan "menjamin" keselamatanmu ketika pulang nanti dengan diantarkanmu ke tempat kosmu (oleh mahasiswa laki-laki), coba pikirkan lagi. Wanita yang masih di luar rumah ketika larut malam saja sudah akan dicap buruk oleh masyarakat, apalagi jika kamu didapati atau dilihat oleh masyarakat umum bahwa kamu sedang berjalan berdua atau diboncengi oleh seorang pria yang bukan mahrammu? Itulah yang saya katakan di paragraf pertama tadi, "memberikan solusi yang sepertinya 'solutif', namun ternyata malah menambah mudharatnya, seperti menyiram api yang berkobar dengan seember bensin". Ini tidak hanya mencoreng nama baikmu, namun juga bisa jadi mencoreng nama baik kampusmu sendiri. Sepenting apakah kegiatan kemahasiswaan itu sehingga harus mengorbankan norma-norma positif yang berlaku di masyarakat? Bukan hanya norma "duniawi", namun juga, sepasang lawan jenis yang berduaan juga melanggar norma agama dalam islam.

”Jangan sampai seorang lelaki berdua-duaan dengan seorang perempuan, kecuali dia ditemani mahramnya.”
(H.R. Bukhari 5233 dan Muslim 1341).

Walaupun tidak diniatkan untuk berkhalwat dan statusnya "terpaksa" dilakukan, tetap saja, menurut saya mahasiswa kebanyakan melakukan "terpaksa" melakukan hal-hal yang bathil, jauh dari ideal, sebagai dampak dari kesalahan-kesalahan yang lain yang disengaja ("terpaksa" mengadakan agenda di malam hari karena "dikejar deadline" timeline). Janganlah bicarakan "prioritas" apabila manajemen waktu masih buruk.

Jika melihat dampak jangka panjang, dan hal ini dilakukan terus-menerus selama menuntut ilmu di perguruan tinggi, maka nilai-nilai itu akan luntur dalam diri mahasiswa perempuan tersebut, dan akan terbiasa, menjadi sesuatu hal yang biasa dilakukan, bahkan hingga suatu saat sudah berkeluarga. Bayangkan bagaimana jadinya seorang perempuan yang sudah terbiasa hidup "bebas" (keluar masuk rumah bebas, jam berapapun, kapanpun), tetiba harus menurut kepada suaminya yang ingin menjaganya dan keluarganya dari api neraka dan harus tetap di rumah untuk mengurus rumah tangga dan anak-anaknya. Tentu saja benturan kebudayaan ini akan berdampak besar bagi kelangsungan hidup berkeluarga kelak. Maka dari itu, pikirkanlah lagi.

Lain lagi, sepengetahuan saya, dalam islam, wanita bukan hanya tidak boleh keluyuran hingga larut malam, melainkan juga seharusnya tidak keluar rumah tanpa izin yang sesuai syari'at (seizin ayah apabila belum menikah dan seizin suami apabila sudah menikah), sesuai dengan apa yang disebutkan dalam Al-Qur'an,

"dan hendaklah kamu (wanita) tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu..." (Q.S. Al-Ahzab [33] : 33).

"Wanita itu aurat, maka bila ia keluar rumah, syaithan akan menyambutnya" (H.R. At-Tirmidzi no. 1183)

Maka dari itu, sesungguhnya, melarang wanita untuk keluar rumah tanpa keperluan yang penting sekali bukanlah suatu pengekangan, melainkan suatu perlindungan. Namun untuk kuliah, karena itu sudah disepakati dengan orang tua, saya yakin itu tidak apa-apa.

"Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri" (Q.S. Al-Israa' [17] : 7)

Sadarilah, jika ketika kamu pulang malam, lalu hal yang membahayakan terjadi di perjalanan pulang, itu bukanlah sepenuhnya kesalahan orang-orang yang membahayakan kamu di luar sana, namun juga kesalahanmu sendiri dengan tidak melakukan tindakan preventif (yaitu tidak pulang sebelum malam tiba).

Di akhir artikel ini, saya menyarankan agar:
1. Mahasiswa wanita  untuk tidak berkegiatan (terutama kemahasiswaan) ketika malam tiba dan secepatnya pulang ke kost masing-masing.
2. Jika ada tugas (akademik), usahakan untuk menyelesaikan urusannya sebelum senja tiba. Perbaiki manajemen waktu di siang hari.
3. Jika benar-benar ada keperluan yang penting (ada kegiatan kemahasiswaan dan amanah lain yang sulit ditinggalkan misalnya), tolong hibungi orang tua kalian dan mintalah izin untuk pulang lebih malam. Ceritakanlah keperluannya. Jika orang tua anda tidak diizinkan, jangan dipaksakan.
4. Untuk pengurus organisasi kemahasiswaan, saya menyarankan agar jangan memaksa mahasiswa perempuan untuk pulang larut malam.

Terima kasih sudah repot-repot membaca.
Saran dan kritik ditunggu dalam bentuk yang setara.

Senin, 09 Februari 2015

Anak Perempuan itu Bukan Milik Orang Tua (Lagi).....

Status: Feeling - Intuition

Setiap anak lahir adalah kebahagiaan yang tiada tara bagi orang tuanya, tidak terkecuali apakah anak itu laki-laki atau perempuan meski ada juga yang menganggap anak laki-laki lebih diharapkan sebagai pewaris keturunan. Akan tetapi sejatinya harus seimbang antara anak laki-laki yang lahir dengan kelahiran anak perempuan agar dunia ini dapat berlangsung dengan nomal. Bayangkan saja jika semua yang lahir itu laki-laki atau sebaliknya, apa yang akan terjadi?. Keadaan itu bisa menjadi tanda-tanda buruk. Alhamdulillah Allah akan melangsungkan dunia ini secara normal hingga batas waktunya kelak kiamat tiba.
Seorang anak perempuan yang lahir akan dirawat oleh orang tuanya, terutama Ibunya jauh lebih detil dibanding perawatan anak laki-laki. Embel-embel nya lebih banyak dan cara penanganan juga lebih halus dan otomatis akan memakan biaya yang juga lebih tinggi. Mengapa demikian? Karena wanita itu lebih spesial dan memiliki karakteristik yang oleh sekitarnya memiliki aura untuk lebih diperhatikan. Tidak sembarangan menangani anak perempuan, bahkan Ayahnya sendiripun sangat terbatas aksesnya untuk menangani anak perempuan. Terlebih lagi, seorang ayah akan menjadi salah satu penanggung dosa anak wanitanya, terutama jika ia tidak menutup auratnya dengan sempurna.
Akan tetapi, tahukah Anda, sebesar apapun usaha dan biaya yang dikeluarkan orang tuanya pada anak perempuan mereka, tapi sebenarnya mereka sedang merawat dan mempersiapkan anaknya itu untuk dimiliki orang lain yang sama sekali tidak dikenal dan tidak memiliki kontribusi pada mereka? Dialah calon suami si wanita. Bukan hanya tidak memiliki, bahkan haknyapun sudah tidak punya jika anak wanitanya itu sudah berstatus istri dari suaminya. Itulah sebabnya kenapa seorang wanita yang akan menikah wajib mendapat restu dari orang tuanya.
Coba bayangkan saja.......
Sejak kecil hingga menjadi wanita dewasa, berapa banyak usaha yang dikeluarkan orang tua bagi anak perempuannya (anak laki-laki pun demikian juga). Jika dikalkulasi dengan uang, sekecil apapun usaha itu akan memakan biaya lebih dari ratusan juta rupiah hingga dia dewasa. Tiba-tiba hanya berbekal mas kawin 5 gram emas beserta seperangkat alat shalat yang jika di total hanya senilai maksimal 5 juta rupiah, si anak sudah berganti pemilik dari orang tuanya ke suami si anak wanita itu. Adilkah?
Coba kita telaah sedikit sebab orang tua harus memberikan pendidikan terbaik dan segalanya bagi semua anak-anaknya termasuk anak perempuan mereka. 
Semakin besar usaha yang diberikan orang tua kepada pada anak wanitanya, semakin tinggi didikan dan pendidikannya terutama pendidikan agamanya, maka orang tua sama saja sedang menyiapkan anak wanitanya untuk dimiliki oleh seorang laki-laki yang setara atau lebih baik dari anaknya. Itu hukum alam, sunnatullah. Orang baik akan selalu bertemu dengan orang baik lainnya dan orang yang kurang baik akan bertemu dengan orang yang sejenis. Apakah ada orang tua yang mau melihat anak wanitanya bertemu seorang laki-laki tidak diharapkan? Tentu tidak bukan?
Meskipun akhirnya wanita itu 'balik nama' pindah kepemilikan hanya dengan mas kawin yang murah itu, tapi ternyata kepemilikan itu diiringi juga dengan kewajiban yang justru lebih berat dan lebih besar. Kewajiban seorang laki-laki untuk membawa istrinya ke arah yang benar dengan cara yang baik. Kewajiban sang suami untuk meberi nafkah lahir dan bathin secara terus menerus sepanjang hidup dan memastikan agar istrinya dapat berperan menjadi pemimpin, guru, teman, dan profesi lain di rumah ketika suaminya tidak ada. Dan ini tidaklah mudah. Itu sebabnya seorang istri wajib mentaati suaminya selama semua kebutuhan itu terpenuhi. Adilkah ? Ya, Allah memang Dzat Yang Maha Adil.
Dalam kondisi ini semua orang harus dapat meningikan tingkat penerimaannya. Setiap anak manusia harus dapat menempatkan sesuatu secara proporsional, karena semua itu ada alasan dan hikmahnya. Enhanced the Level of Acceptance.

Sabtu, 07 Februari 2015

Siklus pada Kerja Sama.

Status: Thinking - Sensing

"Kekeluargaan adalah suatu paham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan!"

-Ir. Soekarno-


Ada dua hal yang seolah-olah bertolak belakang, meskipun memiliki sedikit irisan, dalam sebuah organisasi: Kekeluargaan dan Profesionalisme. Tarik-manarik antara dua hal ini selalu menimbulkan konflik dalam kinerja sebuah organisasi, entah karena orang-orang dalam organisasi itu tidak seniat, seiya, dan sekata dalam bertujuan untuk berorganisasi, atau hanya berbeda pandangan dalam metode menghasilkan output yang optimal.

Adanya rasa kekeluargaan, idealnya, berarti adanya ikatan batin, merasakan apa yang dirasakan rekan kerjanya, serta saling memahami. Saling memahami perasaan orang lain itu berkaitan dengan memahami karakter orang lain. Dengan mengetaui dan memahami karakter orang lain, akan mereduksi tingkat konflik dalam bekerja secara signifikan. Maka dari itu, harus ada pendataan karakter masing-masing anggota dalam sebuah organisasi. Kekeluargaan adalah alat, perekat, untuk mengakselerasi terjadinya kerja sama yang harmonis. Saya tidak yakin apakah di dunia ini ada sebuah organisasi yang tujuan paling utamanya adalah "kekeluargaan". Walaupun bukan dikatakan sebagai tujuan utama, bersama profesionalisme, kekeluargaan merupakan alat yang wajib ada dalam suatu organisasi. Tanpanya, kerja sama akan lambat sekali terjadi, tidak ada rasa peduli akan rekan kerjanya, maupun pekerjaan rekan kerjanya.

Rasa profesionalisme, etos kerja yang tinggi, serta sikap disiplin dalam bekerja adalah syarat agar rencana "bersama" yang dibangun dalam sebuah organisasi berjalan sempurna (bukan sekadar baik). Orang yang sadar akan tugasnya, urgensi pekerjaannya, dan tujuan organisasinya, akan senantiasa bekerja dengan efisien dan efektif. Orang yang profesional akan selalu bekerja dengan efisien dan efektif. Tidak pernah menunda pekerjaan, datang tepat waktu, kondusif ketika bekerja bersama.

Kedua unsur itu haruslah seimbang, dijaga tetap 50:50. Apabila rasa kekeluargaan lebih besar daripada rasa profesionalisme, maka toleransi berlebihan akan tumbuh, indisipliner menjadi hal wajar, tidak produktif, etos kerja & kesigapan menurun, dan kerja menjadi sangat lamban. Sebaliknya, jika rasa profesionalisme jauh melebihi rasa kekeluargaan, maka anggota yang bekerja tidak lebih dari sekadar robot, kaku, semangat karena tuntutan, fokus pada pekerjaan individu, kurang rasa kepemilikian anggota akan organisasi, serta kurang peka pada permasalahan orang lain.

Idealnya, kedua unsur itu juga saling mempengaruhi: profesionalisme meningkatkan kekeluargaan, dan kekeluargaan meningkatkan profesionalisme. Sebagai contoh dalam organisasi berupa keluarga. Jika rasa kepemilikan dan cinta kepada keluarganya tinggi, seorang ayah akan profesional dalam berperan sebagai ayah. Ia akan mati-matian menjalankan tugasnya sebagai tulang punggung keluarga. Contoh lain, dalam bekerja sama, gotong royong, jika seseorang bersungguh-sungguh dalam bekerja (profesional), serta bahu-membahu bersatu dengan rekan kerjanya, maka akan timbul kedekatan lebih dalam batinnya. Akan timbul rasa peduli. Perjalanan dan perjuangan bersama akan menimbulkan rasa kekeluargaan. Coba bayangkan jika salah seorang bekerja sama tadi tidak profesional, malas bekerja? Maka akan terjadi konflik, baik konflik tertutup maupun konflik terbuka. Coba bayangkan jika seorang ayah tadi tidak mencintai keluarganya? Maka ia akan bekerja dengan malas-malasan, berpikir untuk dirinya sendiri, dan hancurlah keluarga itu.
Selain itu, kegiatan yang bersifat profesional dan kekeluargaan sebaiknya tidak digabung. Ketika bekerja, janganlah beri kelonggaran anggota untuk melakukan indisipliner. Buatlah suasana benar-benar kondusif -kondusif adalah kondisi yang benar-benar layak untuk melakukan sesuatu- untuk bekerja. Jika pekerjaan sudah terjadwal dan tersusun atas timeline yang rapi, jangan biarkan kemoloran terjadi akibat santainya para anggota dalam bekerja. Saya usulkan, buatlah acara yang bersifat kekeluargaan (hura-hura) secara rutin, sama rutinnya dengan kegiatan bekerja. Misalkan senin-jumat full 100% bekerja profesional tanpa main-main, sabtu buat acara santai yang dapat menumbuhkan kedekatan dan kekeluargaan, dan jadikan minggu hari istirahat anggota. Menempatkan acara kekeluargaan juga tidak boleh random, dan "terlalu eventual". Seperti layaknya menyiram tanaman, menumbuhkan rasa kekeluargaan juga haruslah rutin.

Namun, perlu diingat, saat senang-senang adalah saat menumbuhkan kedekatan dan kekeluargaan, buatlah 100% santai, dan saat bekerja adalah saatnya menjunjung tinggi profesionalisme dan etos kerja. Buatlah 100% profesional. Ya, salah satu permasalahan mengapa kekeluargaan dan profesionalisme saling tarik-menarik adalah karena anggota belum paham betul kapan dan dimana mereka menempatkan sikap "kekeluargaan", serta kapan dan dimana mereka menentukan sikap "profesional".

Begitulah pemikiran saya soal kekeluargaan dan profesionalisme. Hanya pendapat, tidak berharga untuk dikritik secara destruktif.

Terima kasih telah rela menggunakan kuota pulsa internet untuk membuka tautan ini dan repot-repot membaca.


Bandung, 07 Februari 2015