Total Tayangan Halaman

Sabtu, 07 Februari 2015

Siklus pada Kerja Sama.

Status: Thinking - Sensing

"Kekeluargaan adalah suatu paham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan!"

-Ir. Soekarno-


Ada dua hal yang seolah-olah bertolak belakang, meskipun memiliki sedikit irisan, dalam sebuah organisasi: Kekeluargaan dan Profesionalisme. Tarik-manarik antara dua hal ini selalu menimbulkan konflik dalam kinerja sebuah organisasi, entah karena orang-orang dalam organisasi itu tidak seniat, seiya, dan sekata dalam bertujuan untuk berorganisasi, atau hanya berbeda pandangan dalam metode menghasilkan output yang optimal.

Adanya rasa kekeluargaan, idealnya, berarti adanya ikatan batin, merasakan apa yang dirasakan rekan kerjanya, serta saling memahami. Saling memahami perasaan orang lain itu berkaitan dengan memahami karakter orang lain. Dengan mengetaui dan memahami karakter orang lain, akan mereduksi tingkat konflik dalam bekerja secara signifikan. Maka dari itu, harus ada pendataan karakter masing-masing anggota dalam sebuah organisasi. Kekeluargaan adalah alat, perekat, untuk mengakselerasi terjadinya kerja sama yang harmonis. Saya tidak yakin apakah di dunia ini ada sebuah organisasi yang tujuan paling utamanya adalah "kekeluargaan". Walaupun bukan dikatakan sebagai tujuan utama, bersama profesionalisme, kekeluargaan merupakan alat yang wajib ada dalam suatu organisasi. Tanpanya, kerja sama akan lambat sekali terjadi, tidak ada rasa peduli akan rekan kerjanya, maupun pekerjaan rekan kerjanya.

Rasa profesionalisme, etos kerja yang tinggi, serta sikap disiplin dalam bekerja adalah syarat agar rencana "bersama" yang dibangun dalam sebuah organisasi berjalan sempurna (bukan sekadar baik). Orang yang sadar akan tugasnya, urgensi pekerjaannya, dan tujuan organisasinya, akan senantiasa bekerja dengan efisien dan efektif. Orang yang profesional akan selalu bekerja dengan efisien dan efektif. Tidak pernah menunda pekerjaan, datang tepat waktu, kondusif ketika bekerja bersama.

Kedua unsur itu haruslah seimbang, dijaga tetap 50:50. Apabila rasa kekeluargaan lebih besar daripada rasa profesionalisme, maka toleransi berlebihan akan tumbuh, indisipliner menjadi hal wajar, tidak produktif, etos kerja & kesigapan menurun, dan kerja menjadi sangat lamban. Sebaliknya, jika rasa profesionalisme jauh melebihi rasa kekeluargaan, maka anggota yang bekerja tidak lebih dari sekadar robot, kaku, semangat karena tuntutan, fokus pada pekerjaan individu, kurang rasa kepemilikian anggota akan organisasi, serta kurang peka pada permasalahan orang lain.

Idealnya, kedua unsur itu juga saling mempengaruhi: profesionalisme meningkatkan kekeluargaan, dan kekeluargaan meningkatkan profesionalisme. Sebagai contoh dalam organisasi berupa keluarga. Jika rasa kepemilikan dan cinta kepada keluarganya tinggi, seorang ayah akan profesional dalam berperan sebagai ayah. Ia akan mati-matian menjalankan tugasnya sebagai tulang punggung keluarga. Contoh lain, dalam bekerja sama, gotong royong, jika seseorang bersungguh-sungguh dalam bekerja (profesional), serta bahu-membahu bersatu dengan rekan kerjanya, maka akan timbul kedekatan lebih dalam batinnya. Akan timbul rasa peduli. Perjalanan dan perjuangan bersama akan menimbulkan rasa kekeluargaan. Coba bayangkan jika salah seorang bekerja sama tadi tidak profesional, malas bekerja? Maka akan terjadi konflik, baik konflik tertutup maupun konflik terbuka. Coba bayangkan jika seorang ayah tadi tidak mencintai keluarganya? Maka ia akan bekerja dengan malas-malasan, berpikir untuk dirinya sendiri, dan hancurlah keluarga itu.
Selain itu, kegiatan yang bersifat profesional dan kekeluargaan sebaiknya tidak digabung. Ketika bekerja, janganlah beri kelonggaran anggota untuk melakukan indisipliner. Buatlah suasana benar-benar kondusif -kondusif adalah kondisi yang benar-benar layak untuk melakukan sesuatu- untuk bekerja. Jika pekerjaan sudah terjadwal dan tersusun atas timeline yang rapi, jangan biarkan kemoloran terjadi akibat santainya para anggota dalam bekerja. Saya usulkan, buatlah acara yang bersifat kekeluargaan (hura-hura) secara rutin, sama rutinnya dengan kegiatan bekerja. Misalkan senin-jumat full 100% bekerja profesional tanpa main-main, sabtu buat acara santai yang dapat menumbuhkan kedekatan dan kekeluargaan, dan jadikan minggu hari istirahat anggota. Menempatkan acara kekeluargaan juga tidak boleh random, dan "terlalu eventual". Seperti layaknya menyiram tanaman, menumbuhkan rasa kekeluargaan juga haruslah rutin.

Namun, perlu diingat, saat senang-senang adalah saat menumbuhkan kedekatan dan kekeluargaan, buatlah 100% santai, dan saat bekerja adalah saatnya menjunjung tinggi profesionalisme dan etos kerja. Buatlah 100% profesional. Ya, salah satu permasalahan mengapa kekeluargaan dan profesionalisme saling tarik-menarik adalah karena anggota belum paham betul kapan dan dimana mereka menempatkan sikap "kekeluargaan", serta kapan dan dimana mereka menentukan sikap "profesional".

Begitulah pemikiran saya soal kekeluargaan dan profesionalisme. Hanya pendapat, tidak berharga untuk dikritik secara destruktif.

Terima kasih telah rela menggunakan kuota pulsa internet untuk membuka tautan ini dan repot-repot membaca.


Bandung, 07 Februari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar