Total Tayangan Halaman

Minggu, 28 Desember 2014

Tingkatan Kesadaran

Status: Sensing - Thinking

Jika dibandingkan dengan lingkungan sekitarnya, kesadaran seseorang dalam melakukan sesuatu yang positif dibagi menjadi tiga tingkatan: Kelebihan --> Kewajiban --> Kewajaran.

1. Kelebihan
Merupakan tingkatan terendah kesadaran suatu lingkungan masyarakat dalam melakukan sesuatu. Maksud dari kelebihan adalah ketika kita melakukan sesuatu, orang-orang di sekitar kita akan menganggap apa yang kita lakukan adalah hal yang menakjubkan, patut diapresiasi lebih, serta dipandang unik dan sangat positif bagi masyarakat. Artinya, apa yang kita lakukan belum pernah dibiasakan oleh orang-orang di sekitar kita. Contohnya, katakanlah kita punya rutinitas berupa memungut sampah sendirian di lingkungan kelurahan tiap hari minggu pagi. Bagi diri sendiri, mungkin kita merasa apa yang kita lakukan bukan hal aneh, wajar, dan biasa saja. Namun, apa yang kita lakukan, mungkin akan membuat orang lain kagum, bahkan di zaman modern ini, banyak orang yang mengapresiasi apa yang orang lain lakukan dengan mengunggahnya ke media sosial.

2. Kewajiban
Merupakan tingkatan yang lebih tinggi dari sekadar kelebihan. Ada kalanya apa yang kita pikir sesuatu adalah kelebihan, ternyata hanyalah kewajiban, bahkan kewajaran. Kewajiban dalam hal ini adalah ketika lingkungan sudah mengetahui bahwa sesuatu itu baik dan benar dilakukan, lalu dibuatlah peraturan berupa kewajiban. Orang-orang akan mematuhi peraturan tersebut dengan melakukan tindakan baik tersebut, namun peraturan ini hanya digunakan sebagai inisiator penumbuh rasa sadar untuk melakukan hal tersebut. Artinya, jika anda melakukan sesuatu yang baik namun masih sebatas karena "kewajiban", anda belum sepenuhnya sadar, atau belum menemukan manfaat dari apa yang anda lakukan. Suatu aturan yang bersifat wajib namun tidak memiliki konsekuensi yang jelas dan tegas, bukanlah kewajiban. Contohnya ketika kita mengenakan seragam ke sekolah. Untuk apa? Jika anda tidak diwajibkan (tidak disuruh) mengenakan seragam, apakah anda tetap akan mengenakan seragam ke sekolah? Jika anda telah menemukan manfaat besar dari mengenakan seragam ke sekolah, tanpa diminta pun, anda akan selalu mengenakan seragam jika datang ke sekolah.

3. Kewajaran.
Kewajaran adalah tingkatan tertinggi dari parameter kesadaran masyarakat suatu lingkungan dalam melakukan sesuatu yang positif. Ini adalah tingkatan yang ideal, jarang sekali suatu masyarakat menganggap semua perbuatan baik adalah wajar. Salah satu ciri suatu perbuatan positif dianggap wajar dalam suatu lingkungan masyarakat adalah apabila anda melakukan sesuatu yang positif, orang lain tidak akan bergeming sedikitpun, karena hal itu sudah wajar. Dalam kewajaran, suatu tindakan positif yang terjadi tidak akan dianggap aneh, tidak unik, dan tidak apresiatif. Namun jika kita tidak melakukannya, orang akan merasa heran terhadap kita, karena hal itu di luar kebiasaan (kebiasaan berasal dari kesadaran). Contoh sederhana dari kewajaran adalah makan 3x sehari. Semua orang tanpa sadar akan melakukan hal positif bagi tubuh tersebut. Coba saja anda tidak makan selama 2 hari, dan buat orang lain mengetahuinya, maka orang-orang di sekitar anda akan memiliki respons atas apa yang anda tidak lakukan itu.


Untuk perbuatan positif yang sama, klasifikasi kewajaran/kewajiban/kelebihan masih bersifar relatif terhadap lingkungan masyrakat yang ditinjau. Misalkan saja: Tepat waktu. bagi orang Indonesia pada umumnya, tepat waktu adalah kelebihan. Bagi orang Amerika Serikat mungkin itu sebuah kewajiban. Namun bagi orang Jepang, tepat waktu adalah kewajaran.

Jumat, 26 Desember 2014

Mengajar itu Lebih dari Sekadar Transfer Ilmu

Status: Thinking - Sensing


“Mengajari anak-anak Indonesia saya anggap pekerjaan tersuci dan terpenting"
-Tan Malaka-

 

Sebagai mahasiswa, sudah sewajarnya kita turut serta aktif mengabdi kepada masyarakat. Pengabdian kepada Masyarakat sendiri merupakan salah satu dari tri (tiga) dharma (janji/kewajiban) perguruan tinggi (selain pendidikan dan penelitian). Dari tri dharma perguruan tinggi ini kita bisa menyimpulkan bahwa pengabdian (kepada) masyarakat ini setara wajibnya dan sama wajarnya diselenggarakan oleh perguruan tinggi, seperti halnya pendidikan dan penelitian. Menurut Undang-Undang No. 12 tahun 2012 pasal 1 ayat 11, Pengabdian kepada Masyarakat adalah kegiatan civitas akademika yang memanfaatkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk memajukan kesejahteraan masyarakat dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Selain karena tri dharma perguruan tinggi, dengan logika nalar pun, pikiran kita akan merasakan bahwa pengabdian kepada masyarakat itu adalah bukan lagi suatu kewajiban, melainkan sudah suatu kewajaran, sudah sepatutnya. Mahasiswa itu tidak lain tidak bukan berasal dari rakyat, tentu saja, siapapun, bahkan anak pejabat sekalipun. Biaya perkuliahan, termasuk di dalamnya fasilitas-fasilitas pendidikan dalam perguruan tinggi pun dibiayai oleh rakyat. Bahkan ketika sudah lulus kelak pun, mahasiswa akan kembali kepada rakyat, bergaul dan bekerja sama dengan mereka. Jadi, sebenarnya sama saja antara mahasiswa dengan masyarakat umum, kecuali dari posisi mereka beraktivitas. Maka dari itu, sudah sewajarnya mahasiswa itu dekat dengan rakyat, membantu masyarakat, dan mengabdi kepada mereka. Kegiatan pengabdian (kepada) masyarakat ini merupakan jembatan penghubung serta penghancur sekat-sekat yang ada di antara mahasiswa dengan rakyat.
Pada tahun 2014-2015 ini, di himpunan saya, saya diamanahkan sebagai ketua divisi mengajar (di Panti Fajar Harapan dan Panti Wyata Guna, Bandung), maka dari itu, dalam tulisan ini saya hanya membahas tentang salah satu bentuk mengabdi kepada masyarakat oleh mahasiswa, yaitu mengajar. Mengapa harus mengajar? Setidaknya ada empat alasan yang baru saya pikirkan hingga saat ini:
1.       Ilmu adalah satu-satunya harta yang bisa diberikan secara rutin oleh mahasiswa. Tentu saja anda kurang mungkin untuk bisa memberikan harta benda anda secara rutin kepada masyarakat.
2.       Ilmu adalah kebutuhan semua orang. Dalam agama islam pun, menuntut ilmu itu hukumnya wajib. Oleh karena itu, memberikan ilmu kepada orang lain itu tidak akan merugikan anda.
3.       Ilmu adalah satu-satunya harta yang jika diberikan kepada orang lain, maka ilmu kita tidak akan berkurang, bahkan semakin bertambah. Anda tidak akan semakin bodoh setelah mengajarkan kepada orang lain, namun anda akan semakin sadar bahwa ilmu yang anda miliki saat ini, sebenarnya, belum ada apa-apanya.
4.       Sesuai dengan salah satu tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dari empat alasan di atas, kita dapat menganalisis bahwa pengabdian (kepada) masyarakat oleh mahasiswa bukan hanya soal asal memberi, namun mempertemukan (mencari irisan) antara kebutuhan masyarakat dengan apa yang mahasiswa bisa berikan, dan itu bukan hal mudah.
Pada saat awal-awal saya mengikuti kegiatan mengajar ini, niat saya hanya coba-coba dan karena saya senang mengajar, tidak lebih. Dalam seiring berjalannya waktu, walaupun tidak saya niatkan di awal, saya mendapat beberapa pelajaran hidup yang bisa saya ambil selama mengikuti kegiatan mengajar, khususnya di himpunan saya, contohnya:
1.       Jangan berbangga diri.
Mungkin saja kita merasa sudah paham betul dengan pelajaran-pelajaran setingkat dengan SD, SMP, dan SMA. Namun, ketika kita mengajarkan itu kepada orang lain, kita akan sadar, bahwa sebenarnya, ilmu yang kita miliki ini, akan sia-sia sebelum kita memberi manfaat kepada orang lain dengan ilmu yang kita punya itu. Terkadang, ketika mengajar pun, kita juga sadar bahwa sebenarnya ilmu yang kita miliki belumlah sepenuhnya kita pahami dan kuasai.
2.       Etika.
Mengabdi kepada masyarakat memang tidak terlepas dari interaksi dengan masyarakat umum. Saya belajar bersosialisasi dan berinteraksi akrab dengan mereka melalui kegiatan ini. Etika itu, sangat penting dalam bersosialisasi dengan orang lain, apalagi orang luar yang belum terlalu kita kenal. Dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini, etika penting terutama untuk menjaga nama baik lembaga dan institusi yang kita bawa (universitas, himpunan, dll). Etika-etika yang saya pelajari antara lain tentang menjaga sikap di hadapan mereka. Gunakan bahasa yang baik, baik itu bahasa verbal (berbicara) maupun bahasa non verbal (bahasa tubuh, sms, dll). Semua harus dilakukan sebaik mungkin. Selain itu, tepat waktu juga etika yang wajib kita penuhi. Jangan sampai orang luar dan masyarakat mengecap mahasiswa sebagai orang-orang yang tidak tepat waktu. Dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Selain etika dengan orang luar, etika sebagai pengajar juga harus dijunjung, misalnya dengan tidak memberi contoh yang buruk kepada murid.
3.       Public Speaking.
Mengajar adalah sebuah kegiatan mentransfer ilmu dari seorang pengajar kepada muridnya. Kegiatan ini akan mengasah kemampuan dan keterampilan anda dalam berbicara di depan umum. Salah satu pelajaran public speaking yang saya dapat dari kegiatan mengajar ini adalah tentang keharusan pembicara menyamakan “posisi” dengan audiens. Contohnya, jika anda mengajar sekumpulan anak SD atau SMA, anda tidak bisa memposisikan diri anda sebagai mahasiswa. Turunkanlah, buat cara berpikir anda seperti cara berpikir audiens (murid) anda, maka mereka akan lebih mudah mengerti. (Teknik mengajar yang saya dapatkan lainnya saya tulis di entri sebelumnya, bulan Agustus)
4.       Istiqomah dan Empati.
Mengajar bukanlah sebuah kegiatan pengabdian masyarakat yang akan berefek langsung signifikan hanya dalam satu kali kegiatan. Sekali lagi saya katakan tidak. Maka dari itu, kegiatan mengajar ini akan melatih kita untuk istiqomah dan kontinu dalam berbuat baik. Istiqomah ini datang biasanya karena timbul rasa empati yang tumbuh seiring berjalannya waktu. Suatu saat, ketika anda melangkahkan kaki ke tempat mengajar, dalam pikiran anda akan terbayang kalimat “saya datang ke sini karena mereka butuh”.

Semoga dengan tulisan ini, anda tidak skeptis lagi untuk mengikuti kegiatan pengabdian kepada masyarakat, khususnya mengajar.

Sekian. Terima kasih.
-Muhammad Iqbal Tawakkal-

N.B.: Jika ada kritik, saran, tanggapan, komentar, mohon hubungi penulis langsung. Suatu saat saya edit lagi.

Cinta dari Seorang Filsuf

Suatu hari, Plato bertanya pada gurunya,
“Apa itu cinta? Bagaimana saya menemukannya? “

Gurunya menjawab, “Ada ladang gandum yang luas di depan sana.
Berjalanlah kamu dan tanpa boleh mundur kembali, kemudian ambillah
satu saja ranting. Jika kamu menemukan ranting yang kamu anggap
paling menakjubkan, artinya kamu telah menemukan cinta” .

Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan tangan
kosong, tanpa membawa apapun.
Gurunya bertanya, “Mengapa kamu tidak membawa satupun ranting?”

Plato menjawab, “Aku hanya boleh membawa satu saja,dan saat berjalan
tidak boleh mundur kembali (berbalik)”.
Sebenarnya aku telah menemukan yang paling menakjubkan, tapi aku tak
tahu apakah ada yang lebih menakjubkan lagi di depan sana, jadi tak
kuambil ranting tersebut. Saat kumelanjutkan berjalan lebih jauh
lagi, baru kusadari bahwa ranting-ranting yang kutemukan kemudian tak
sebagus ranting yang tadi, jadi tak kuambil sebatangpun pada akhirnya”
Gurunya kemudian menjawab ” Jadi ya itulah cinta”

Di hari yang lain, Plato bertanya lagi pada gurunya,
“Apa itu pernikahan? Bagaimana saya bisa menemukannya? “

Gurunya pun menjawab “Ada hutan yang subur didepan sana. Berjalanlah
tanpa boleh mundur kembali (menoleh) dan kamu hanya boleh menebang
satu pohon saja. Dan tebanglah jika kamu menemukan pohon yang paling
tinggi, karena artinya kamu telah menemukan apa itu pernikahan”

Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan
membawa pohon. Pohon tersebut bukanlah pohon yang segar/subur, dan
tidak juga terlalu tinggi. Pohon itu biasa-biasa saja.
Gurunya bertanya, “Mengapa kamu memotong pohon yang seperti itu?”

Plato pun menjawab, “sebab berdasarkan pengalamanku sebelumnya,
setelah menjelajah hampir setengah hutan, ternyata aku kembali dengan
tangan kosong. Jadi dikesempatan ini, aku lihat pohon ini, dan kurasa
tidaklah buruk-buruk amat, jadi kuputuskan untuk menebangnya dan
membawanya kesini. Aku tidak mau menghilangkan kesempatan untuk
mendapatkannya. “
Gurunya pun kemudian menjawab, “Dan ya itulah pernikahan”.

3 x 8 = 23

Yan Hui adalah murid kesayangan Confusius yang suka belajar, sifatnya baik. Pada suatu hari ketika Yan Hui sedang bertugas, dia melihat satu toko kain sedang dikerumunin banyak orang. Dia mendekat dan mendapati pembeli dan penjual kain sedang berdebat.
Pembeli berteriak: "3x8 = 23, kenapa kamu bilang 24?"
Yan Hui mendekati pembeli kain dan berkata: "Sobat, 3x8 = 24, tidak usah diperdebatkan lagi".
Pembeli kain tidak senang lalu menunjuk hidung Yan Hui dan berkata: "Siapa minta pendapatmu? Kalaupun mau minta pendapat mesti minta ke Confusius. Benar atau salah Confusius yang berhak mengatakan".
Yan Hui: "Baik, jika Confusius bilang kamu salah, bagaimana?"
Pembeli kain: "Kalau Confusius bilang saya salah, kepalaku aku potong untukmu. Kalau kamu yang salah, bagaimana?"
Yan Hui: "Kalau saya yang salah, jabatanku untukmu".
Keduanya sepakat untuk bertaruh, lalu pergi mencari Confusius. Setelah Confusius tahu duduk persoalannya, Confusius berkata kepada Yan Hui sambil tertawa: "3x8 = 23. Yan Hui, kamu kalah. Kasihkan jabatanmu kepada dia." Selamanya Yan Hui tidak akan berdebat dengan gurunya. Ketika mendengar Confusius bilang dia salah, diturunkannya topinya lalu dia berikan kepada pembeli kain.
Orang itu mengambil topi Yan Hui dan berlalu dengan puas.Walaupun Yan Hui menerima penilaian Confusius tapi hatinya tidak sependapat. Dia merasa Confusius sudah tua dan pikun sehingga dia tidak mau lagi belajar darinya. Yan Hui minta cuti dengan alasan urusan keluarga. Confusius tahu isi hati Yan Hui dan memberi cuti padanya. Sebelum berangkat, Yan Hui pamitan dan Confusius memintanya cepat kembali setelah urusannya selesai, dan memberi Yan Hui dua nasehat : "Bila hujan lebat, janganlah berteduh di bawah pohon. Dan jangan membunuh."
Yan Hui bilang baiklah lalu berangkat pulang.
Di dalam perjalanan tiba2 angin kencang disertai petir, kelihatannya sudah mau turun hujan lebat. Yan Hui ingin berlindung di bawah pohon tapi tiba2 ingat nasehat Confusius dan dalam hati berpikir untuk menuruti kata gurunya sekali lagi. Dia meninggalkan pohon itu. Belum lama dia pergi, petir menyambar dan pohon itu hancur. Yan Hui terkejut, nasehat gurunya yang pertama sudah terbukti.
Apakah saya akan membunuh orang? Yan Hui tiba dirumahnya sudah larut malam dan tidak ingin mengganggu tidur istrinya. Dia menggunakan pedangnya untuk membuka kamarnya. Sesampai didepan ranjang, dia meraba dan mendapati ada seorang di sisi kiri ranjang dan seorang lagi di sisi kanan. Dia sangat marah, dan mau menghunus pedangnya. Pada saat mau menghujamkan pedangnya, dia ingat lagi nasehat Confusius, jangan membunuh. Dia lalu menyalakan lilin dan ternyata yang tidur disamping istrinya adalah adik istrinya.
Pada keesokan harinya, Yan Hui kembali ke Confusius, berlutut dan berkata: "Guru, bagaimana guru tahu apa yang akan terjadi?"
Confusius berkata: "Kemarin hari sangatlah panas, diperkirakan akan turun hujan petir, makanya guru mengingatkanmu untuk tidak berlindung dibawah pohon. Kamu kemarin pergi dengan amarah dan membawa pedang, maka guru mengingatkanmu agar jangan membunuh".
Yan Hui berkata: "Guru, perkiraanmu hebat sekali, murid sangatlah kagum."
Confusius bilang: "Aku tahu kamu minta cuti bukanlah karena urusan keluarga. Kamu tidak ingin belajar lagi dariku. Cobalah kamu pikir. Kemarin guru bilang 3x8=23 adalah benar, kamu kalah dan kehilangan jabatanmu. Tapi jikalau guru bilang 3x8=24 adalah benar, si pembeli kainlah yang kalah dan itu berarti akan hilang 1 nyawa. Menurutmu, jabatanmu lebih penting atau kehilangan 1 nyawa yang lebih penting?"
Yan Hui sadar akan kesalahannya dan berkata : "Guru mementingkan yang lebih utama, murid malah berpikir guru sudah tua dan pikun. Murid benar2 malu."
Sejak itu, kemanapun Confusius pergi Yan Hui selalu mengikutinya.
Cerita ini mengingatkan kita:
Jikapun aku bertaruh dan memenangkan seluruh dunia, tapi aku kehilangan kamu, apalah artinya.
Dengan kata lain, kamu bertaruh memenangkan apa yang kamu anggap adalah kebenaran, tapi malah kehilangan sesuatu yang lebih penting.
Banyak hal ada kadar kepentingannya. Janganlah gara2 bertaruh mati2an untuk prinsip kebenaran itu, tapi akhirnya malah menyesal, sudahlah terlambat.
Banyak hal sebenarnya tidak perlu dipertaruhkan. Mundur selangkah, malah yang didapat adalah kebaikan bagi semua orang.
Bersikeras melawan pelanggan. Kita menang, tapi sebenarnya kalah juga.
Bersikeras melawan atasan. Kita menang, tapi sebenarnya kalah juga.
Bersikeras melawan suami. Kita menang, tapi sebenarnya kalah juga.
Bersikeras melawan teman. Kita menang, tapi sebenarnya kalah juga
Kemenangan bukanlah soal medali, tapi terlebih dulu adalah kemenangan terhadap diri dan lebih penting kemenangan di dalam hati.

Tiga Kisah Matematika

Johann Carl Friedrich Gauss (1777-1855)

Carl Friedrich Gauss merupakan salah satu ilmuwan hebat dunia, ia juga diakui sebagai ahli matematika terbesar sepanjang masa, sejajar dengan Isaac Newton dan Archimedes.. Hal ini cukup beralasan, sebab ia memang jenius sejak kecil. Pada saat Gauss berusia tiga tahun, ia berhasil menemukan kesalahan yang dilakukan ayahnya waktu sang ayah melakukan kalkulasi di bidang keuangan.
Gauss melakukan hal yang menakjubkan lagi saat ia berada di sekolah dasar, tepatnya kelas 3. Pada waktu itu guru matematikanya "ngerjain" Gauss dengan memintanya menjumlahkan bilangan-bilangan dari 1 hingga 100 (ini bukan pelajaran SD -__-). Namun ternyata Gauss berhasil menyelesaikan soal tersebut beberapa detik setelahnya. Gauss menyelesaikannya dengan cara yang unik: ia mengelompokkan bilangan dari 1 hingga 100 menjadi 1 dan 100, 2 dan 99, 3 dan 98, dan seterusnya hingga 50 dan 51. Jumlah setiap pasang bilangan adalah 101 dan ada 50 pasang bilangan, sehingga jumlah total bilangan adalah 50 x 101= 5050. Gurunya pun melongo.


Paul Wolfskehl (1856-1906)

Ia bukan orang yang ahli matematika, melainkan orang industri dari Jerman. Lalu apa hubungannya dengan matematika?
Cerita Paul Wolfskehl ini lebih mengherankan lagi: hidupnya diselamatkan oleh matematika. Entah karena masalah percintaan atau karena penyakit yang dideritanya, suatu hari ia berniat mengakhiri hidupnya. Paul bahkan sudah merencakan tanggal dan pukul berapa ia akan bunuh diri dan menyiapkan pistol untuk kemudian diarahkan ke kepalanya. Beberapa jam sebelum ingin menembak dirinya, ia mengunjungi perpustakaan pribadinya dan menemukan sebuah makalah tentang teorema yang sangat terkenal: Fermat’s Last Theorem.
Ia mulai membaca, dan tidak membutuhkan waktu lama untuk ia tenggelam dalam kesibukannya. Bukannya memikirkan mengenai bunuh diri, ia sibuk berpikir bagaimana cara memecahkan persoalan yang ada pada makalah tersebut. Perjuangannya memecahkan soal memang akhirnya gagal, namun tepat setelah itu dia sadar bahwa waktu yang ia tentukan untuk menembak dirinya sudah lewat. Ia pun terkagum dengan keindahan yang dia alami dalam memecahkan persoalan dan membatalkan niatnya untuk bunuh diri. Sebagai ‘balas jasa’, ia menyelenggarakan hadiah 100.000 Marks (1 juta poundsterling waktu itu), bagi siapa yang dapat memecahkan permasalahan Fermat’s Last Theorem. Hadiah ini kemudian dikenal dengan nama hadiah Wolfskehl. (Intinya: Kalo galau, ya cari kesibukan hahaha)


George Dantzig (1914-2005)

Waktu menempuh studi Doktoral, George Dantzig terlambat menghadiri suatu kuliah. Dua soal sudah dituliskan di papan tulis sewaktu ia memasuki ruangan. Ia pun menyalinnya dan mengerjakannya sebagai tugas kuliah. Beberapa saat kemudian ia sadar bahwa soal tersebut bukanlah soal yang mudah…namun karena merasa bahwa itu adalah tugas ia tetap mengerjakannya (kepepet, daripada dimarahin dosen). Dua soal itupun akhirnya selesai, lalu George mengumpulkannya ke dosen pengampu dan meminta maaf atas lamanya waktu yang dia butuhkan untuk menyelesaikannya dengan beralasan bahwa soal tersebut ‘sedikit lebih sulit daripada biasanya’.
Kira-kira enam minggu sesudahnya, sang dosen datang ke rumah George sambil tergopoh-gopoh membawa tugas yang ia kumpulkan. Si empunya rumah sempat merasa tidak enak dan berpikir bahwa ia sudah melakukan kesalahan, namun ternyata…? Sang dosen memberitahunya bahwa apa yang ia pecahkan adalah dua soal statistika terkenal tinggi yang belum terpecahkan oleh siapapun. George menjadi orang pertama yang berhasil memecahkannya dan pekerjaannya dirangkum menjadi sebuah makalah untuk kemudian dipublikasikan oleh sang dosen. Tidak berhenti sampai di situ, tahun berikutnya saat George bingung menentukan topic disertasi, sang dosen berkata bahwa penyelesaian dua soal tersebut akan diterimanya sebagai disertasi….

Bung Hatta dan Dunianya yang Jujur

"Hatta itu orangnya kering" begitu Bung Karno selalu mengenang Hatta. "Andai ada wanita di sampingnya dalam perjalanan ia tidak akan bicara pada wanita itu, ia tidak pandai menghidupkan suasana, itulah Hatta". Bung Karno adalah pribadi yang hidup, ia menyenangi pembicaraan dan selalu menyenangkan lawan bicaranya. Beda dengan Hatta yang walaupun ramah ia cenderung pendiam dan tekun. Dunia Hatta adalah dunia buku. Tapi diluar itu dunia Hatta adalah dunia kejujuran.

Bila sekarang kita mendengar pejabat berfoya-foya dari dana anggaran negara, mereka tanpa merasa berdosa menggunakan dana anggaran untuk citra dirinya : Naik mobil mewah, dan keluarganya juga ikut-ikutan nikmatin dana anggaran negara ditengah rakyat yang lapar dan naiknya harga-harga. Maka Hatta adalah contoh bagaimana seorang pejabat menjalankan kehidupan yang jujur, bagaimana seorang manusia membaktikan hidup pada negara yang dicintainya. Hatta teliti sekali dalam menggunakan uang, ia hanya menggunakan uang yang memang hak-nya. Ia tidak mau menggunakan mobil dinasnya untuk keluarga, ia tidak mau menggunakan uang negara untuk kepentingan keluarganya dan pribadinya. Uang Negara yang dianggarkan untuknya ya untuk kelancaran pekerjaannya.

Di suatu malam yang tenang pertengahan tahun 1950-an, Hatta membaca koran ia melihat iklan sepatu kulit Bally. Ia ingin memilikinya dan dengan rapi ia menggunting iklan itu dan menyimpannya untuk memotivasi dirinya menabung uang untuk beli sepatu tersebut, tapi ia tidak pernah bisa mewujudkan mimpinya baik semasa menjadi Wakil Presiden ataupun saat ia pensiun. Ketika pensiun Hatta memang kerap mendapat honor dari tulisan-tulisannya di media massa dan sedikit uang pensiun jabatan Wakil Presiden RI, tapi dengan uang sebegitu kecil ia harus membayar listrik dan menghidupi keluarganya dengan cara yang jujur. Mendengar Hatta kesulitan membayar listrik, Gubernur DKI Ali Sadikin langsung membantu Hatta untuk membayar listrik.

Di tahun 1980 Hatta meninggal dengan tenang, Jakarta berduka. Indonesia menangis dan di laci Hatta masih tersimpan guntingan iklan sepatu Bally yang tidak sempat dibeli Hatta karena kurang uang.

Hatta meninggalkan warisan yang luar biasa terhadap negeri ini, terhadap bangsa kita, bersama Sukarno ia menjaminkan kepalanya untuk kemerdekaan bangsanya, ia meninggalkan Warisan Konstitusi UUD 1945, warisan pemikiran-pemikiran tentang demokrasi dan negara yang dibangun pada rasionalitas. Tapi untuk membeli sepatu pun ia tidak mampu.

Maka pejabat yang dengan bermewah-mewah pada anggaran negara untuk kepentingan pribadinya, milyaran uang dianggarkan hanya untuk pakaian dinas, maka pejabat yang berombongan kunjungan ke daerah hanya untuk makan-makan dan senang-senang, ke luar negeri berpergian tanpa arah dan sebab dengan menggunakan uang rakyat, lihatlah pada sehelai kertas iklan Hatta tentang sepatu Bally....

Peran Istri Menurut Umar bin Khattab

Seorang laki-laki berjalan tergesa-gesa menuju kediaman khalifah Umar bin Khattab. Ia ingin mengadu pada khalifah; tak tahan dengan kecerewetan istrinya. Begitu sampai di depan rumah khalifah, laki-laki itu tertegun. Dari dalam rumah terdengar istri Umar sedang ngomel, marah-marah. Cerewetnya melebihi istri yang akan diadukannya pada Umar. Tapi, tak sepatah katapun terdengar keluhan dari mulut khalifah. Umar diam saja, mendengarkan istrinya yang sedang gundah. Akhirnya lelaki itu mengurungkan niatnya, batal melaporkan istrinya pada Umar.
Apa yang membuat seorang Umar bin Khatab yang disegani kawan maupun lawan, berdiam diri saat istrinya ngomel? Mengapa ia hanya mendengarkan, padahal di luar sana, ia selalu tegas pada siapapun?
Umar berdiam diri karena ingat 5 hal, yaitu lima peran istri. Apa saja?

1. Benteng Penjaga Api Neraka

Kelemahan laki-laki ada di mata. Jika ia tak bisa menundukkan pandangannya, niscaya panah-panah setan berlesatan dari matanya, membidik tubuh-tubuh elok di sekitarnya. Panah yang tertancap membuat darah mendesir, bergolak, membangkitkan raksasa dalam dirinya. Sang raksasa dapat melakukan apapun demi terpuasnya satu hal; syahwat.
Adalah sang istri yang selalu berada di sisi, menjadi ladang bagi laki-laki untuk menyemai benih, menuai buah di kemudian hari. Adalah istri tempat ia mengalirkan berjuta gelora. Biar lepas dan bukan azab yang kelak diterimanya Ia malah mendapatkan dua kenikmatan: dunia dan akhirat.
Maka, ketika Umar terpikat pada liukan penari yang datang dari kobaran api, ia akan ingat pada istri, pada penyelamat yang melindunginya dari liukan indah namun membakar. Bukankah sang istri dapat menari, bernyanyi dengan liuka yang sama, lebih indah malah. Membawanya ke langit biru. Melambungkan raga hingga langit ketujuh. Lebih dari itu istri yang salihah selalu menjadi penyemangatnya dalam mencari nafkah.

2. Pemelihara Rumah

Pagi hingga sore suami bekerja. Berpeluh. Terkadang sampai mejelang malam. Mengumpulkan harta. Setiap hari selalu begitu. Ia pengumpul dan terkadang tak begitu peduli dengan apa yang dikumpulkannya. Mendapatkan uang, beli ini beli itu. Untunglah ada istri yang selalu menjaga, memelihara. Agar harta diperoleh dengan keringat, air mata, bahkan darah tak menguap sia-sia Ada istri yang siap menjadi pemelihara selama 24 jam, tanpa bayaran.
Jika suami menggaji seseorang untuk menjaga hartanya 24 jam, dengan penuh cinta, kasih sayang, dan rasa memiliki yang tinggi, siapa yang sudi? Berapa pula ia mau dibayar. Niscaya sulit menemukan pemelihara rumah yang lebih telaten daripada istrinya. Umar ingat betul akan hal itu. Maka tak ada salahnya ia mendengarkan omelan istri, karena (mungkin) ia lelah menjaga harta-harta sang suami yang semakin hari semakin membebani.

3. Penjaga Penampilan

Umumnya laki-laki tak bisa menjaga penampilan. Kulit legam tapi berpakaian warna gelap. Tubuh tambun malah suka baju bermotif besar. Atasan dan bawahan sering tak sepadan. Untunglah suami punya penata busana yang setiap pagi menyiapkan pakaianannya, memilihkan apa yang pantas untuknya, menjahitkan sendiri di waktu luang, menisik bila ada yang sobek. Suami yang tampil menawan adalah wujud ketelatenan istri. Tak mengapa mendengarnya berkeluh kesah atas kecakapannya itu

4. Pengasuh Anak-anak

Suami menyemai benih di ladang istri. Benih tumbuh, mekar. Sembilan bulan istri bersusah payah merawat benih hingga lahir tunas yang menggembirakan. Tak berhenti sampai di situ. Istri juga merawat tunas agar tumbuh besar. Kokoh dan kuat. Jika ada yang salah dengan pertumbuhan sang tunas, pastilah istri yang disalahkan. Bila tunas membanggakan lebih dulu suami maju ke depan, mengaku, ?akulah yang membuatnya begitu.? Baik buruknya sang tunas beberapa tahun ke depan tak lepas dari sentuhan tangannya. Umar paham benar akan hal itu.

5. Penyedia Hidangan

Pulang kerja, suami memikul lelah di badan. Energi terkuras, beraktivitas di seharian. Ia butuh asupan untuk mengembalikan energi. Di meja makan suami Cuma tahu ada hidangan: ayam panggang kecap, sayur asam, sambal terasi dan lalapan. Tak terpikir olehnya harga ayam melambung; tadi bagi istrinya sempat berdebat, menawar, harga melebihi anggaran. Tak perlu suami memotong sayuran, mengulek bumbu, dan memilah-milih cabai dan bawang. Tak pusing ia memikirkan berapa takaran bumbu agar rasa pas di lidah. Yang suami tahu hanya makan. Itupun terkadang dengan jumlah berlebihan; menyisakan sedikit saja untuk istri si juru masak. Tanpa perhitungan istri selalu menjadi koki terbaik untuk suami. Mencatat dalam memori makanan apa yang disuka dan dibenci suami.

Dengan mengingat lima peran ini, Umar kerap diam setiap istrinya ngomel. Mungkin dia capek, mungkin dia jenuh dengan segala beban rumah tangga di pundaknya. Istri telah berusaha membentenginya dari api neraka, memelihara hartanya, menjaga penampilannya, mengasuh anak-anak, menyediakan hidangan untuknya. Untuk segala kemurahan hati sang istri, tak mengapa ia mendengarkan keluh kesah buah lelah.

Umar hanya mengingat kebaikan-kebaikan istri untuk menutupi segala cela dan kekurangannya. Bila istri sudah puas menumpahkan kata-katanya, barulah ia menasehati, dengan cara yang baik, dengan bercanda. Hingga tak terhindar pertumpahan ludah dan caci maki tak terpuji.

Akankah suami-suami masa kini dapat mencontoh perilaku Umar ini. Ia tak hanya berhasil memimpin negara tapi juga menjadi imam idaman bagi keluarganya.

Barometer Matter

Berikut ini merupakan pertanyaan pada sebuah ujian di Universitas Copenhagen, jurusan fisika :

Uraikan cara untuk menentukan tinggi dari sebuah gedung pencakar langit, dengan menggunakan barometer.

Seorang mahasiswa menjawab : ” Ikatkan saja seutas kawat ke leher barometer, lalu turunkan barometernya sampai ke tanah. Panjang kawat ditambah panjang barometer akan sama dengan tinggi bangunan itu.”

Jawaban jujur ini membuat para penguji berang. Dapat dipastikan, si mahasiswa akan gagal ujian seketika. Namun si mahasiswa protes, berkata bahwa jawabannya tidak salah. Kemudian, pihak Universitas menunjuk seorang penengah untuk memecahkan masalah ini.

Sang penengah tidak meragukan bahwa jawaban si mahasiswa benar, tetapi tidak mencerminkan pengetahuan tentang fisika sama sekali. Untuk menyelesaikan masalah ini, diputuskan untuk memanggil si mahasiswa dan memberinya kesempatan 6 menit untuk pembuktian lisan, yang setidaknya menunjukkan prinsip-prinsip dasar fisika.

Selama 5 menit, si mahasiswa hanya duduk bergeming. Dahinya berkerut, tampak berpikir. Sang penengah kemudian mengingatkan kalau waktu terus berjalan. Si mahasiswa menjawab, bahwa dia telah menemukan beberapa jawaban yang sungguh relevan, tapi belum bisa memutuskan mana yang mau dia kemukakan. Akhirnya, karena diburu-buru, si mahasiswa pun mulai menjawab seperti ini:

  •  ”Pertama, kita bisa membawa barometer itu ke atap gedung, menjatuhkannya ke tanah, dan mengukur waktu yang diperlukannya untuk sampai ke sana. Tinggi gedung bisa didapat dari formula H =0.5g x t kuadrat. Tapi nasib malang untuk si barometer.

  •  Atau, jika matahari sedang bersinar terik, kita bisa mengukur tinggi barometer, lalu mengukur panjang bayangannya. Kemudian kita ukur panjang bayangan gedung, dan dari situ, tinggal masalah perbandingan aritmatika untuk menentukan tinggi gedungnya.

  •  Tapi, kalau anda ingin lebih ilmiah lagi, kita bisa mengikatkan benang, pendek saja, pada barometer, dan mengayunkannya seperti pendulum. Pertama, pada permukaan tanah, kemudian pada atap gedung. Tingginya didapat dari perbedaan gaya pemulih gravitasional T = akar 2 pi kuadrat (l / g).

  •  Atau jika gedung ini punya tangga darurat esternal, akan lebih mudah berjalan disana dan menandai tinggi gedung dalam tinggi barometer, kemudian menjumlahkannya.

  •  Jika anda ingin benar-benar membosankan dan ortodox, tentu saja, anda dapat menggunakan barometer untuk mengukur tekanan udara di atap gedung dan di tanah, kemudian mengkonversi perbedaannya dari millibar ke dalam feet atau meter untuk mendapatkan tinggi gedung.

  • Tetapi karena kita senantiasa ditekankan agar menggunakan kebebasan berpikir dan menerapkan metode ilmiah, tidak diragukan lagi, cara terbaik adalah mengetuk pintu petugas kebersihan, lalu berkata padanya ‘kalau kamu mau punya sebuah barometer baru yang bagus, akan kuberikan ini, asalkan beritahu aku tinggi dari gedung ini’.”

Mahasiswa itu adalah Niels Bohr, pemenang Nobel Fisika.

Kita seharusnya tidak membatasi pengetahuan dan pemahaman kita tentang sesuatu, hanya dari apa yang kita dengar, lihat, dan atau pelajari.

Kisah Cinta Salman Al-Farisy

Salman Al Farisi memang sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang
dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi shalihah juga telah mengambil
tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai sebuah
pilihan dan pilahan yang dirasa tepat. Pilihan menurut akal sehat. Dan
pilahan menurut perasaan yang halus, juga ruh yang suci.

Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat
kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki
adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia
berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang
pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi
Madinah berbicara untuknya dalam khithbah. Maka disampaikannyalah gelegak
hati itu kepada sahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abu Darda’.

”Subhanallaah... wal hamdulillaah...”, girang Abu Darda’ mendengarnya.
Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa
cukup, beriringanlah kedua sahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru
tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.

”Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang
Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah
memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang
utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai
beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili
saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih Abud
Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni.
”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”Menerima Anda berdua,
shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini
bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak
jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.” Tuan rumah memberi
isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan
segala debar hati.

”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata
sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena Anda berdua yang
datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami
menolak pinangan Salman. Namun jika Abu Darda’ kemudian juga memiliki
urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”

Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah.
Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya! Itu
mengejutkan dan ironis. Tapi saya juga mengatakan indah karena satu
alasan; reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan
persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu
yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang
belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar ia
bicara.

”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan
ini akan aku serahkan pada Abu Darda’, dan aku akan menjadi saksi
pernikahan kalian!”
???

Cinta tak harus memiliki. Dan sejatinya kita memang tak pernah memiliki
apapun dalam kehidupan ini. Salman mengajarkan kita untuk meraih kesadaran
tinggi itu di tengah perasaan yang berkecamuk rumit; malu, kecewa, sedih,
merasa salah memilih pengantar –untuk tidak mengatakan ’merasa
dikhianati’-, merasa berada di tempat yang keliru, di negeri yang salah,
dan seterusnya. Ini tak mudah. Dan kita yang sering merasa memiliki orang
yang kita cintai, mari belajar pada Salman. Tentang sebuah kesadaran yang
kadang harus kita munculkan dalam situasi yang tak mudah.

Satu Cerita Albert Einstein (2)

Suatu ketika, Albert Einstein sedang dalam perjalanan untuk berbagi ilmu di sebuah universitas. Ditemani sang sopir yang setia, Einstein melakukan perjalanan ribuan kilometer dari kampus ke kampus, instansti, dll, untuk berbagi pengetahuan.
Suatu ketika, Einstein merasa sangat kelelahan untuk mengajar di sebuah universitas. Namun, ia sudah terlanjur meng"iya"kan kedatangannya. Ditemani sang sopir yang setia, berangkatlah Einstein ke tempat dimana universitas itu berada. Karena tak tega, sang sopir pun berkata:Sopir: "Pak, apa tidak sebaiknya kita batalkan saja kunjungan ini?"
Einstein: "Jangan, mereka sudah berbulan-bulan menunggu kedatangan saya"
Sopir: "Tapi kalau kondisi bapak seperti ini, apa bapak sanggup berdiri berjam-jam untuk mengajar?" (dengan nada khawatir)
Einstein: " Tenang saja, aku ada ide (tersenyum). Kamu kan sudah hafal materi yang selalu aku ajarkan, nah kamu saja yang mengajar mereka" (Sang sopir sudah ratusan kali mendampingi Einstein saat mengajar di kelas)
Jadi, Einstein bertukar peran dengan sang sopir. Karena saat itu belum ada internet, nama Einstein memang sudah terkenal, namun tidak banyak yang mengetahui wajahnya.
Disambut dengan meriah oleh ribuan mahasiswa, masuklah Einstein (sopir) dan sang sopir (Einstein) yang membawakan tasnya. Dengan bermodalkan "MENIRU", sang sopir beraksi dan membuat takjub ribuan mahasiswa. Setiap kata yang terucap disambut tepuk tangan meriah. Sang sopir tidak menyangka, bahwa dia mampu memberikan manfaat yang hampir sama dengan apa yang dilakukan majikannya, Albert Einstein.
Di tengah-tengah rasa bangganya, tiba-tiba ada interupsi dari seorang mahasiswa yang terlihat sangat kritis dan pintar. Dia mengajukan sebuah pertanyaan yang sangat rumit, sang sopir hampir tidak pernah mendengar pertanyaan seperti ini. Ruangan pun hening, para mahasiswa pun merasa ini adalah pertanyaan yang sangat sulit, dan berharap "Einstein" mampu menjawabnya.
Kemudian, si "Einstein" (sang sopir) tertawa terbahak-bahak sambil berkata, "Pertanyaanmu itu terlalu mudah buat saya, ya sudah, biarkan sopir saya yang menjawabnya". Hanya dengan beberapa kalimat saja, sang sopir (Einstein) menjawab dengan mudah pertanyaan itu dan disambut tepuk tangan meriah dari ribuan mahasiswa. Orang-orang semakin takjub dengan Albert Einstein, sopirnya saja hebatnya luar biasa.
Kemudian si "Einstein" memperkenalkan siapa sopirnya yang sebenarnya. Riuh dan terharu, mendengarkan alasan sang sopir menggantikan sang majikan. Tepuk tangan dan pujian tak henti-henti diberikan kepada sang sopir.

Kesetiaan, kasih sayang, mau belajar, merupakan energi luar biasa yang bisa menciptakan manusia-manusia luar biasa.
Sang sopir memberi pelajaran kepada kita tentang sebuah kehebatan: Jika ingin hebat, "TIRU"lah orang-orang hebat.
Albert Einstein memberi kita pelajaran bahwa IDE KREATIF bisa muncul kapan saja bahkan di saat kita sedang sakit. STOP mencari-cari alasan. Jika anda ingin berbagi, ribuan SOLUSI dan IDE KREATIF ada di depan mata anda.

-Sekian-

Satu Cerita Albert Einstein (1)

Albert Einstein adalah seorang ilmuwan besar, mungkin salah satu yang terbesar sepanjang masa. Sudah sering ia mendapatkan penghargaan. Namun dia terkenal acuh terhadap penghargaan-penghargaannya tersebut. Jika tidak diingatkan berulang kali oleh istrinya, Einsten mungkin sudah lupa mengambil dua buah medali yang dianugerahkan oleh British Royal Society dan Royal Astronomical Society. Setelah mengambilnya, Einsten merasa tidak ada yang istimewa. Hal yang disukainya adalah pergi menonton film bersama istrinya di bioskop. Suatu kali setelah menikmati sebuah film, dalam perjalan pulang istrinya bertanya seperti apa bentuk medali tersebut. Namun, Einsten menjawab tidak tahu karena belum membukanya sama sekali! Hahaha...

Suatu hari, Einsten membaca surat kabar dan melihat artikel Niels Bohr yang mendapatkan medali American Banard Medal. Di artikel itu juga mencantumkan namanya sebagai penerima medali pada periode sebelumnya (note: Penghargaan itu diberikan 4 tahun sekali). Setelah membaca artikel itu, Einsten menunjukkannya pada sang istri, dan menanyakan apakah itu benar karena ia tidak ingat sama sekali pernah menerimanya. Itulah Einsten, sosok yang "tak mengenal tanda penghargaan".

Pada saat menghadiri sebuah acara di Prussian Academy, Seorang tokoh penting bernama Walter Nernst (Penemu persamaan Nernst ada di buku kimia, bab Sel Volta) menghampiri Einstein. Ia tertarik dengan pakaian Einstein yang tidak menempelkan medali Pour Le Merit. "Apakah istri anda lupa memasangkannya pada baju Anda?" Kata Walter. "Tidak, dia ingat. Aku saja yang tidak mau memakainya" jawab Einstein. Begitulah Einstein. Dia senang pekerjaanya dihargai, tapi bukan itu tujuan akhir hidupnya. Ia bekerja bukan untuk mendapatkan medali / piala. Dia bekerja untuk memecahkan masalah yang ia temukan.

"Tidak semua hal yang penting dapat dihitung, dan tidak semua yang dapat dihitung itu penting...."
-Albert Einstein-

Sekian.

Kisah Cinta Dipa Nusantara Aidit

Gaya orasi dan wawasan Aidit memikat hati seorang calon dokter. Sangat antipoligami.
Suatu siang di awal 1946. Kantor majalah dua bulanan Bintang Merah di Jalan Purnosari, Solo, yang biasanya lengang lengau, kedatangan tamu tak diundang. Dua gadis berdiri di depan pintu. Mereka kemudian dijamu dua redaktur, Hasan Raid dan Dipa Nusantara Aidit.

Dua gadis itu mengaku mahasiswi tingkat tiga Perguruan Tinggi Kedokteran di Klaten, Yogyakarta. Yang agak gemuk dan berpipi bulat memperkenalkan diri sebagai Soetanti. ”Seingat saya, mereka datang untuk silaturahmi saja,” kata Hasan, kini 85 tahun, tahun 2007.

Soetanti—yang disapa ”Bolletje” (sebuah kata Belanda yang berarti bundar) oleh teman-temannya—datang lagi beberapa hari kemudian, dengan kawan lain yang lebih banyak. Kali ini atas nama Sarekat Mahasiswa Indonesia. Mereka mengundang Aidit sebagai Ketua Departemen Agitasi dan Propaganda Partai Komunis Indonesia Solo untuk memberikan ”kuliah” soal politik dan keorganisasian.

Karena urusan organisasi itulah Soetanti kerap bolak-balik Klaten-Solo. Kunjungan berikutnya tak lagi ke kantor Bintang Merah, tapi ke kantor PKI di Jalan Boemi 29. Dari pertemuan-pertemuan itulah, kata Hasan, hubungan Aidit-Soetanti kian akrab. Padahal keduanya punya watak bertolak belakang.

Sebagai seorang ningrat Mangkunegaran (kakeknya seorang Bupati Tuban), Tanti punya banyak teman dari pelbagai golongan. Predikat mahasiswi kedokteran membuatnya kian dihormati dalam organisasi dan dalam kehidupan sehari-hari. Itu disokong sifat dasarnya yang periang, gampang akrab, dan suka bicara ceplas-ceplos.

Beda dengan Aidit. Anak seorang mantri kehutanan dari Belitung itu seorang pemuda serius, tak pandai berkelakar, dan suka musik klasik. Yang dipikirkannya hanyalah bagaimana memajukan partai. Mengobrol dengannya, seperti dikenang Hasan, tak akan lepas dari soal-soal politik, revolusi, dan patriotisme.

Tapi justru inilah yang membuat Soetanti kesengsem. Dalam ceramahnya, Aidit fasih mengutip filsafat Marxisme, mengurai revolusi Prancis dan Rusia, juga soal-soal politik mutakhir. Setiap kali Aidit berpidato, si bolle senantiasa menyimak di bangku paling depan.

Meski akrab, Aidit-Tanti tak pernah terlihat berduaan. Hasan Raid, yang kemudian diangkat anak oleh Siti Aminah—ibu Tanti—karena sama-sama dari Minang, tak pernah melihat Aidit ngapel ke asrama atau ke rumah Tanti laiknya orang pacaran. Pertemuan keduanya pun selalu dalam acara organisasi. ”Kalau menginap di kantor PKI, Tanti datang beramai-ramai,” katanya.

Suatu ketika, seusai pidato, Aidit menghampiri Tanti, lalu menyerahkan sepucuk surat yang ditujukan kepada Bapak Moedigdo, ayah Tanti, seorang kepala polisi Semarang yang aktif di Partai Sosialis Indonesia. Surat itu ternyata surat lamaran. Aidit menyampaikan niat meminang Soetanti. Moedigdo langsung setuju.

Maka, awal 1948, Aidit, 25 tahun, dan Soetanti, 24 tahun, menikah secara Islam tanpa pesta, di rumah KH Raden Dasuki, sesepuh PKI Solo, yang bertindak sebagai penghulu. Moedigdo, Aminah, dan empat adik Soetanti datang. Hanya Murad dan Sobron—dua adik Aidit—yang mewakili keluarga Belitung.

Setelah menikah, aktivitas Aidit di partai dan pergerakan tak surut. Ia bahkan sering meninggalkan Soetanti, yang buka praktek dokter, untuk turne ke kampung-kampung memperkenalkan dan menggalakkan program-program PKI. Ketika pada September 1948 ”Peristiwa Madiun” meletus, Aidit ditangkap, lalu ”buron” ke Jakarta. Tanti kian sedih karena ayahnya, yang mendukung Amir Syarifuddin, tewas ditembak.

Di Jakarta pun, Aidit jarang ada di rumah. Soetanti hanya ditemani adik-adik Aidit ketika melahirkan Ibarruri Putri Alam, putri sulung mereka, pada 23 November 1949. Suami-istri ini jarang terlihat jalan bareng, kecuali dalam acara-acara resmi partai atau kenegaraan.

Aidit lalu menjadi Ketua Politbiro—eksekutif dalam partai—PKI pada 1951. Ia kian sibuk dengan bepergian ke luar negeri, mengunjungi dan menghadiri rapat-rapat internasional komunis di Vietnam, Tiongkok, dan Rusia. ”Tak ada mesra-mesraan seperti pasangan muda lain.” Itu kesaksian Fransisca Fanggidaej, wartawan Harian Rakjat dan radio Gelora Pemuda Indonesia yang kemudian menjadi anggota parlemen dari PKI pada 1957-1959.

Fransisca, kini 82 tahun dan tinggal di Utrecht, Belanda, adalah satu-satunya perempuan yang akrab dengan Aidit. Selain di kantor partai, keduanya sering bertemu di parlemen.

Ciri paling menonjol dari keluarga Aidit, kata Fransisca, selain sederhana, juga egaliter. Sementara anak-anak memanggil dengan sebutan borjuis ”Papa”, Tanti memanggil suaminya cukup dengan ”Dit”. ”Padahal semua orang menyapa Aidit dengan panggilan hormat ’Bung’,” katanya. Ketika Fransisca menanyakan ihwal panggilan itu, Tanti menjawab, ”Suka-suka saya, dong. Wong dia suami saya. Kalau tidak mau, dia pasti menyampaikan keberatan.”

Selama perkawanan itu, tak sekali pun Aidit curhat soal pribadi kepadanya. Apalagi tentang hasrat kepada perempuan lain. Padahal Aidit dikagumi banyak perempuan di partai dan di gedung DPR. ”Selain ganteng, berwawasan luas, ia pandai menyenangkan dan menghargai orang,” kata Fransisca.

Hanya sekali, pada 1950-an, Aidit dengan guyon menyatakan kagum pada kecantikan seorang perempuan anggota konstituante. Ismiyati, gadis itu, kata Fransisca, menjadi kembang parlemen dan disukai banyak laki-laki. Mendengar guyonan Aidit itu, Utuy Tatang Sontani—sastrawan kiri kondang di zaman itu—menyatakan kekaguman yang sama. Bisik-bisik, keduanya bersaing menggapai hati Ismiyati.

Tapi agaknya ”persaingan” itu tak serius. Ketika Ismiyati menikah dengan pemuda lain, Utuy dan Aidit cuma ketawa-ketawa. ”Keduanya sebatas mengagumi kecantikan. Tapi tidak tahu kalau Utuy, karena dia suka mengejar perempuan,” kata Fransisca, tergelak.

Selain cerita ini, tak pernah terdengar Aidit berhubungan dengan perempuan lain, baik sebelum maupun setelah bertemu dengan Soetanti. Apalagi Aidit orang yang sangat antipoligami. Ia pernah memarahi Njoto, Wakil Ketua II Comite Central PKI, yang akan menikah lagi dengan seorang penerjemah asal Rusia.

Semasa kepemimpinan Aidit, sikap antipoligami dan antiperselingkuhan ini hampir menjadi ”garis partai”. Oey Hay Djoen, bekas anggota parlemen dan Dewan Pakar Ekonomi PKI, bercerita, pada masa jayanya banyak anggota PKI yang diskors karena ketahuan memacari istri orang.

sumber: lupa, sudah lama.

Goresan Untuk Wanita Karier

Status: Thinking - Sensing - Introvert

Fakta di negara barat tentang dampak negatif emansipasi wanita
Fenomena wanita berkarier sebenarnya bukanlah fenomena yang baru muncul kemarin sore, melainkan sejak zaman awal diciptakannya manusia. Hanya cara dan istilahnya yang berbeda pada masing masing zaman. Dan hal yang perlu diperhatikan oleh kita semua khususnya para Muslimah terkait fenomena tersebut adalah tentang bagaimana cara wanita berkarier dalam pandangan Islam. Apa–apa saja yang diperbolehkan dan dilarang dalam Islam terkait wanita berkarier. Gejolak tentang karier wanita dan wanita karier dewasa ini semakin hangat, juga di negara Indonesia yang kita cintai ini.
Banyak kalangan yang serius mencurahkan perhatiannya akan masalah ini, termasuk juga komunitas yang menamakan diri mereka kaum Feminis dan pemerhati wanita. Mereka sering mengusung tema “pengungkungan” Islam terhadap wanita dan mempromosikan motto emansipasi dan persamaan hak di segala bidang tanpa terkecuali atau lebih dikenal dengan sebutan kesetaraan gender. Banyak wanita muslimah terkecoh olehnya, terutama mereka yang tidak memiliki basic ilmu pemahaman keagamaan yang kuat dan memadai.
Semoga tulisan ini menggugah wanita-wanita muslimah untuk kembali kepada fitrah mereka dan memahami hak dan kewajiban Allah atas dirinya. Amîn.

Kondisi Wanita di Dunia Barat
Dari sisi historis, terjunnya kaum wanita ke lapangan untuk bekerja dan berkarir semata-mata karena unsur keterpaksaan. Ada dua hal penting yang melatarbelakanginya:
  • Pertama, terjadinya revolusi industri yang mengundang arus urbanisasi kaum petani pedesaan, tergiur untuk mengadu nasib di perkotaan, karena himpitan sistem kapitalis yang melahirkan tuan-tuan tanah yang rakus. Berangkat ke perkotaan mereka berharap mendapatkan kehidupan yang lebih layak namun realitanya, justru semakin sengsara terpuruk dan menghinakan diri dengan menjadi budak pemilik harta. Mereka mendapat upah yang rendah, dan kadang diperlakukan dengan semena-mena layaknya budak dan tuan.
  • Kedua, kaum kapitalis dan tuan-tuan tanah yang rakus sengaja menggunakan momen terjunnya kaum wanita dan anak-anak, dengan lebih memberikan porsi kepada mereka di lapangan pekerjaan, karena mau diupah lebih murah daripada kaum lelaki, meskipun dalam jam kerja yang panjang dan melelahkan. Kehidupan yang dialami oleh wanita di Barat yang demikian mengenaskan, sehingga menggerakkan nurani sekelompok pakar untuk membentuk sebuah organisasi kewanitaan yang diberi nama Humanitarian Movement yang bertujuan untuk membatasi eksploitasi kaum kapitalis terhadap para buruh, khususnya dari kalangan anak-anak.
Organisasi ini berhasil mengupayakan undang-undang perlindungan anak, akan tetapi tidak demikian halnya dengan kaum wanita. Mereka tetap saja dihisap darahnya oleh kaum kapitalis tersebut. Laksana lintah menghisap mangsa yang tidak akan dilepas hingga tidak ada tempat diperutnya.
  • Hingga saat ini pun, kedudukan wanita karier di Barat belum terangkat dan masih saja mengenaskan, meskipun sudah mendapatkan sebagian hak mereka.
Di antara indikasinya, mendapatkan upah lebih kecil daripada kaum laki-laki, keharusan membayar mahar kepada laki-laki bila ingin menikah, keharusan menanggung beban penghidupan keluarga bersama sang suami, dan lain sebagainya yang jelas keluar dari fitrah wanita.

Beberapa Dampak Negatif dari Terjunnya Wanita untuk Berkarier
Di antara dampak-dampak negatif tersebut adalah:
Penelitian kedokteran di lapangan (dunia Barat) menunjukkan telah terjadi perubahan yang amat signifikan terhadap bentuk tubuh wanita karier secara biologis, sehingga menyebabkannya kehilangan naluri kewanitaan. Meskipun jenis kelamin mereka tidak berubah menjadi laki-laki, namun jenis wanita semacam ini dijuluki sebagai jenis kelamin ke tiga.

Menurut data statistik, kebanyakan penyebab kemandulan para istri yang merupakan wanita karier tersebut bukan karena penyakit yang biasa dialami oleh anggota badan, tetapi lebih diakibatkan oleh ulah wanita di masyarakat Eropa yang secara total, baik dari aspek materiil, pemikiran maupun biologis lari dari fitrahnya (yakni sifat keibuan).
Penyebab lainnya adalah upaya mereka untuk mendapatkan persamaan hak dengan kaum laki-laki dalam segala bidang. Hal inilah yang secara perlahan melenyapkan sifat keibuan mereka, banyaknya terjadi kemandulan serta mandegnya air susu ibu (ASI) sebagai akibat perbauran dengan kaum laki-laki.

Di barat, muncul fenomena yang mengkhawatirkan sekali akibat terjunnya kaum wanita sebagai wanita karier, yaitu terjadinya tindak kekerasan terhadap anak-anak kecil berupa pukulan yang keras, sehingga dapat mengakibatkan mereka meninggal dunia, gila atau cacat fisik. Majalah-majalah yang beredar di sana menyebutkan nama penyakit baru ini dengan sebutan Battered Baby Syn (penyakit anak akibat dipukul). Majalah Hexagon dalam volume No. 5 tahun 1978 menyebutkan bahwa banyak sekali rumah – rumah sakit di Eropa dan Amerika yang menampung anak-anak kecil yang dipukul secara keras oleh ibu-ibu mereka atau terkadang oleh bapak-bapak mereka.
DR. Ahmad Al-Barr mengatakan, “Pada tahun 1967, lebih dari 6500 anak kecil yang dirawat di beberapa rumah sakit di Inggris, dan sekitar 20% dari mereka berakhir dengan meninggal, sedangkan sisanya mengalami cacat fisik dan  mental secara akut. Ada lagi, sekitar ratusan orang yang mengalami kebutaan dan lainnya ketulian setiap tahunnya, ada yang mengalami cacat fisik, idiot dan lumpuh akibat pukulan keras.”
Para wanita karier yang menjadi ibu rumah tangga tidak dapat memberikan pelayanan secara berkesinambungan terhadap anak-anak mereka yang masih kecil, karena hampir seluruh waktunya dicurahkan untuk karier mereka. Sehingga anak-anak mereka hanya mendapatkan jatah sisa waktu dalam keadaan cape dan loyo.
Berkurangnya angka kelahiran, sehingga pemerintah negara tersebut saat ini menggalakkan kampanye memperbanyak anak dan memberikan penghargaan bagi keluarga yang memiliki banyak anak. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan kondisi yang ada di dunia Islam saat ini.
Saksi: Mereka Berbicara Seorang Filosof bidang ekonomi, Joel Simon berkata, “Mereka (para wanita) telah direkrut oleh pemerintah untuk bekerja di pabrik-pabrik dan mendapatkan sejumlah uang sebagai imbalannya, akan tetapi hal itu harus mereka bayar mahal, yaitu dengan rontoknya sendi-sendi rumah tangga mereka.”
Sebuah lembaga pengkajian strategis di Amerika telah mengadakan ‘polling’ seputar pendapat para wanita karir tentang karir seorang wanita. Dari hasil ‘polling’ tersebut didapat kesimpulan:

“Bahwa sesungguhnya wanita saat ini sangat keletihan dan 65% dari mereka lebih mengutamakan untuk kembali ke rumah mereka.”

Karier Wanita dalam Perspektif Islam

Allah Ta’ala menciptakan laki-laki dan wanita dengan karakteristik yang berbeda. Secara alami (sunnatullah), laki-laki memiliki otot-otot yang kekar, kemampuan untuk melakukan pekerjaan yang berat, pantang menyerah, sabar dan lain-lain. Cocok dengan pekerjaan yang melelahkan dan sesuai dengan tugasnya yaitu menghidupi keluarga secara layak. Sedangkan bentuk kesulitan yang dialami wanita yaitu:
Mengandung, melahirkan, menyusui, mengasuh mendidik anak, serta menstruasi yang mengakibatkan kondisinya labil, selera makan berkurang, pusing-pusing, rasa sakit di perut serta melemahnya daya pikir, sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an:
 “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang, Ibu Bapaknya; Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyusuinya dalam dua tahun.” (Q.S. Luqman: 14)
Ketika dia melahirkan bayinya, dia harus beristirahat, menunggu hingga 40 hari atau 60 hari dalam kondisi sakit dan merasakan keluhan yang demikian banyak. Ditambah lagi masa menyusui dan mengasuh yang menghabiskan waktu selama dua tahun. Selama masa tersebut, si bayi menikmati makanan dan gizi yang dimakan oleh sang ibu, sehingga mengurangi staminanya.
Oleh karena itu, Agama Islam menghendaki agar wanita melakukan  pekerjaan/karier yang tidak bertentangan dengan kodrat kewanitaannya dan tidak mengungkung haknya di dalam bekerja, kecuali pada aspek-aspek yang dapat menjaga kehormatan dirinya, kemuliaannya dan ketenangannya serta menjaganya dari pelecehan dan pencampakkan. Agama Islam telah menjamin kehidupan yang bahagia dan damai bagi wanita dan tidak membuatnya perlu untuk bekerja di luar rumah dalam kondisi normal. Islam membebankan ke atas pundak laki- laki untuk bekerja dengan giat dan bersusah payah demi menghidupi keluarganya. Maka, selagi si wanita tidak atau belum bersuami dan tidak di dalam masa menunggu (‘iddah) karena diceraikan oleh suami atau ditinggal mati, maka nafkahnya dibebankan ke atas pundak orang tuanya atau anak-anaknya yang lain, berdasarkan perincian yang disebutkan oleh para ulama fiqih kita. Bila si wanita ini menikah, maka sang suamilah yang mengambil alih beban dan tanggung jawab terhadap semua urusannya. Dan bila dia diceraikan, maka selama masa ‘iddah (menunggu) sang suami masih berkewajiban memberikan nafkah, membayar mahar yang tertunda, memberikan nafkah anak-anaknya serta membayar biaya pengasuhan dan penyusuan mereka, sedangkan si wanita tadi tidak sedikit pun dituntut dari hal tersebut. Bila si wanita tidak memiliki orang yang bertanggung jawab terhadap kebutuhannya, maka negara Islam yang berkewajiban atas nafkahnya dari Baitul Mal kaum Muslimin.

Solusi Islam Terhadap Fenomena Karier Wanita

Ada kondisi yang teramat mendesak yang menyebabkan seorang wanita terpaksa diperbolehkan bekerja ke luar rumah, namun tetap dengan persyaratan sebagai berikut:
  • Disetujui oleh kedua orangtuanya atau wakilnya atau suaminya, sebab persetujuannya adalah wajib secara agama dan qadla’ (hukum).
  • Pekerjaan tersebut terhindar dari ikhtilath (berbaur dengan bukan mahram), khalwat (bersunyi-sunyi,menyendiri) dengan laki-laki asing.
Sebab ada dampak negatif yang besar jika hal tersebut sampai terjadi,. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:Artinya:

“Tidaklah seorang lak-laki berdua-duaan dengan seorang wanita (yang bukan mahramnya) kecuali setan menjadi yang ketiganya.” (H.R. At-Tirmidzi dalam Al-Fitan 2165, Ahmad 115)
“Tidaklah seorang laki-laki berkhalwat (menyendiri) dengan seorang wanita, kecuali bila bersama laki-laki (yang merupakan) mahramnya"  (HR. Bukhari)
  • Menutupi seluruh tubuhnya di hadapan laki-laki asing dan menjauhi semua hal yang memicu timbulnya fitnah, baik di dalam berpakaian,berhias atau pun berwangi-wangian (menggunakan parfum).
  • Komitmen dengan akhlaq Islami dan hendaknya menampakkan keseriusan dan sungguh-sungguh di dalam berbicara, alias tidak dibuat-buat dan sengaja melunak-lunakkan suara.
Firman Allah: “Maka janganlah sekali-kali kalian melunak-lunakan ucapan sehingga membuat condong orang yang di dalam hatinya terdapat penyakit dan berkata-katalah dengan perkataan yang ma’ruf/baik.” (Qs. Al-Ahzab:32)
  • Hendaknya pekerjaan tersebut sesuai dengan tabi’at dan kodratnya seperti dalam bidang pengajaran,kebidanan, menjahit dan lain-lain.
Beberapa fatwa ulama berkenaan dengan masalah ini.
Pertanyaan: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya:
Apa lahan pekerjaan yang diperbolehkan bagi perempuan muslimah yang mana ia bisa bekerja di dalamnya tanpa bertentangan dengan ajaran-ajaran agamanya? Jawaban: Lahan pekerjaan seorang wanita adalah pekerjaan yang dikhususkan untuknya seperti pekerjaan mengajar anak-anak perempuan baik secara administratif ataupun secara pribadi, pekerjaan menjahit pakaian wanita di rumahnya dan sebagainya. Adapun pekerjaan dalam lahan yang dikhususkan untuk orang laki-laki maka tidaklah diperbolehkan baginya.
Karena bekerja pada lahan tersebut akan mengundang ikhtilath sedangkan hal tersebut adalah fitnah yang besar yang harus dihindari.

Perlu diketahui bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda: Artinya: “Saya tidak meninggalkan fitnah (godaan) yang lebih berbahaya bagi seorang laki-laki daripada fitnah perempuan”  Maka seorang laki-laki harus
menjauhkan keluarganya dari tempat-tempat fitnah dan sebab-sebabnya dalam segala kondisi. (Fatawa Mar’ah, 1/103)
Pertanyaan: Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya:

Apa hukum wanita yang bekerja? Dan lapangan pekerjaan apa saja yang diperbolehkan bagi seorang wanita untuk bekerja di dalamnya?
Jawaban:
Tidak seorang pun yang berselisih bahwa wanita berhak bekerja, akan tetapi pembicaraan hanya berkisar tentang lapangan pekerjaan apa yang layak bagi seorang wanita, dan penjelasannya sebagai berikut:
Ia berhak mengerjakan apa saja yang biasa dikerjakan oleh seorang wanita biasa lainnya dirumah suaminya dan keluarganya seperti memasak, membuat adonan kue, membuat roti, menyapu, mencuci pakaian, dan bermacam-macam pelayanan lainnya serta pekerjaan bersama yang sesuai dengannya dalam rumah tangga. Ia juga berhak mengajar, berjual beli, menenun kain, membuat batik, memintal, menjahit dan semisalnya apabila tidak mendorong pada perbuatan-perbuatan yang diharamkan oleh syara seperti berduaan dengan selain mahram atau bercampur dengan laki-laki lain, yang mengakibatkan fitnah atau menyebabkan ia meninggalkan hal-hal yang harus dilakukannya terhadap keluarganya, atau menyebabkan ia tidak mematuhi perintah orang yang harus dipatuhinya dan tanpa ridha mereka.

Penutup
Sudah waktunya kita memahami betapa agungnya dien Islam di dalam setiap produk hukumnya, berpegang teguh dengannya, menjadikannya sebagai hukum yang berlaku terhadap semua aturan di dalam kehidupan kita serta berkeyakinan secara penuh, bahwa ia akan selalu cocok dan sesuai di dalam setiap masa dan tempat.

sumber: lupa, sudah lama.